Oleh: Muhammad Syukri *)
Sebelum dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, setiap meter wilayah nusantara ini diperintah dan dikuasai oleh para raja (sultan). Mulai dari raja yang cukup berkuasa (biasanya bergelar sultan), sampai raja-raja kecil yang tersebar mulai dari pesisir sampai ke pedalaman.
Raja yang cukup berkuasa itu (biasanya) bergelar sultan, mendiami sebuah istana (kraton) megah. Dia memiliki tanda kebesaran, armada dan pasukan bersenjata lengkap. Menguasai wilayah yang cukup luas, baik karena penaklukan atau ketundukan raja-raja kecil disana.
Raja-raja kecil yang berada dalam wilayah kekuasaan sultan harus memperlihatkan loyalitas. Bentuknya dimasa itu berupa penyerahan upeti (persembahan). Setelah itu, mereka meminta pengakuan dan pengesahan dari sultan.
Gambaran semacam itu pernah dan sudah dialami raja-raja kecil dari seluruh Aceh, termasuk raja-raja dari Dataran Tinggi Gayo. Peristiwa itu diduga berlangsung antara tahun 1550-1650 M, dimasa kejayaan Sultan Alaidin Riayatsyah Al Kahhar yang kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda.
Seperti diutarakan C. Snouck Hurgronje dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903) yang diterjemahkan Hatta Hasan Aman Asnah (1996:59):
“Orang sudah merasa puas bila sewaktu-waktu dapat hadir dalam suatu pertemuan tertentu disusul dapat menyerahkan sedikit persembahan dari negerinya untuk dihadiahkan kepada raja. Kemudian, bagi raja-raja kecil ini merupakan satu kebanggaan kalau bisa hadir bersama turunannya melakukan satu audiensi menghadap kepada Sultan Aceh, apalagi kalau dia bisa menerima tanda kebesaran untuk dibawa pulang.”
Apa tanda kebesaran yang diberikan Sultan Aceh untuk raja-raja kecil di seluruh Aceh pada waktu itu? Ditambahkan oleh C. Snouck Hurgronje dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903) yang diterjemahkan Hatta Hasan Aman Asnah (1996:60):
“Raja Aceh memberikan pangkat sama dengan pangkat yang diberikan kepada pimpinan di daerah pesisir. Kalau pada pimpinan di pesisir Aceh diberikan sarakata atau akta penetap, maka kepada kejurun di Gayo mungkin waktu itu dianggap masih belum memiliki pengetahuan tulis baca, maka masing-masing diberikan bawar, sejenis keris sebagai tanda kebesaran. Para kejurun ini sebagaimana di pesisir Aceh, juga pada setiap upacara resmi tetap memakainya sebagai simbol sekaligus sebagai pakaian kebesaran terselip dalam satu sarung yang panjang.”
Di Gayo, bawar itu diberikan Sultan Aceh kepada kejurun yang empat, yaitu: Reje Bukit dan Siah Utama di daerah danau, Reje Linge di daerah deret, Reje Patiambang di daerah Gayo Lues.
Lalu, apa fungsi kejurun yang empat itu? Dijelaskan C. Snouck Hurgronje dalam buku Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903) yang diterjemahkan Hatta Hasan Aman Asnah (1996:61):
“Menyelesaikan sesuatu yang oleh reje-reje sendiri tidak mampu melaksanakannya, terutama untuk mewakili Tanah Gayo di forum luar yaitu menghadap kepada daulat. Maka kejurunlah yang melakukan hal ini sebagaimana seorang presiden dari satu persekutuan diantara kerajaan-kerajaan mini yang ada di Tanah Gayo. Demikian juga untuk bertindak kedalam, kejurun harus dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara para reje yang ada di daerahnya…”
Kembali ke tanda kebesaran yang bernama bawar. Dijelaskan C. Snouck Hurgronje bahwa bawar sejenis keris. Penggunaan kata “sejenis” mempertegas bahwa tanda kebesaran itu sama sekali bukan keris.
Memang bawar bukan keris. Dokumentasi yang ada di Tropenmuseum Belanda, memperlihatkan sebuah benda yang mirip bawar sebagaimana deskripsi para petua di Tanoh Gayo. Museum ini memberi nama benda itu Sierkris.
Benda itu mirip pisau (belati), panjangnya 38 x 5 cm. Gagangnya bulat, diantara gagang dan bilah pisau ada logam kuning dengan ukiran. Sarungnya juga diukir diatas logam berwarna kuning, ciri khasnya ada satu “telinga” diatas sarungnya.
Bawar juga bukan Siwah (Sewah bahasa Gayo), tetapi bentuk dan ukirannya mirip. Diterangkan oleh AR Hakim Aman Pinan dalam buku Pesona Tanoh Gayo (2003:682) bahwa “Sewah bentuknya lebih panjang dari bawar. Sewah selalu dipakai oleh guru didong….”
Apa pengaruh pemegang tanda kebesaran tersebut terhadap rakyat di masa itu? Disebutkan oleh Denys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 (2008: 117) tentang “keampuhan” benda itu:
Pada tahun 1599 Davis sudah memerikan kebiasaan itu: “Keris itu semacam badik yang mata dan pegangannya (tak ada bagian khusus untuk melindungi tangan) terbuat dari suatu logam yang oleh raja dinilai lebih berharga dari emas dan yang bertatahkan batu-batu delima… memakai keris dilarang dengan ancaman mati (“it is death to weare this cryse”) tetapi kalau raja yang memberikan keris itu, cukuplah memegangnya, maka berhaklah si pemegang mengambil makanan tanpa membayar dan memerintahkan orang lain seakan-akan budak (“to command the rest as slaves”). “Semua penjelajah atau hampir semuanya, memberi gambaran yang sama dari kekuasaan yang berkat keris itu melekat pada si pemakai.”
Begitulah sekilas tentang bawar, memang tidak sempurna. Tetapi, setidak-tidaknya tulisan singkat ini dapat memperkaya khazanah pembaca terhadap benda yang bernama bawar. Dan, tulisan ini akan mendorong para pembaca untuk mengulas persoalan bawar secara lebih mendalam lagi.
*) Pemerhati sejarah dan budaya tinggal di Takengon