Simbiosis Mutualisme Antara Dayah dan Pemerintah

oleh
Dr. Almuhajir, MA (Ist)

 

Oleh: Dr. Almuhajir, MA*

Dilihat dari sejarah dan peranannya, dayah mengambil peran yang sangat signifikan dalam membangun Aceh, bahkan negara ini. Betapa tidak, perjuangan bangsa ini dalam memerdekakan negara pada umumnya dimulai dari Dayah (Khusus Aceh), dari sanalah semangat perjuangan berkobar untuk mengusir penjajah. Maka sangatlah wajar jika pemerintah sekarang baik pusat maupun daerah memperhatikan secara spesial pendidikan Dayah.

Pada bagian lain, eksistensi dayah menjadi istimewa karena menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Dayah menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.

Kini perkembangan dayah dengan sistem pendidikannya mampu menyejajarkan diri dengan pendidikan lain pada umumnya. Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan dayah maupun pendidikan Aceh bahkan nasional pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.

Pendidikan pada dasarnya selalu bersinggungan dengan kekuasaan dalam hal ini kekuasaan bisa dipahami sebagai salah satu aspek kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan persaingan antar kelompok dalam memperebutkan pengaruh baik di luar maupun di dalam kawasan pendidikan itu sendiri, serta bisa dimengerti sebagai kekuasaan negara yang wilayah jangkauannya mencakup banyak bidang termasuk kekuasaan negara dalam pendidikan.

Persinggungan antara keduanya tersebut menurut Edward Steven dan George H Wood, sebernarnya bersumber dari adanya system of beliefs yang sama. Dengan system of beliefs ini suatu cita-cita yang ideal masyarakat dan pendidikan hendak dibangun, dalam pengertian sederhana system of beliefs ini disebut dengan ideologi.

Setiap Dayah di dalamnya ada Teungku atau Ulama, jelas posisi mereka sebagai pusat pertumbuhan dan pengetahuan Islam. Tapi bagaimanapun, lembaga dayah juga merupakan tempat komunikasi sosial bahkan kadang kala juga menjadi lembaga kontrol sosial terhadap kekuasaan.

Dalam menjalankan operasionalnya, dayah mengalami berbagai problematika, mulai dari kepemimpinan dayah, santri, Teungku (tenaga pendidik), kurikulum, keuangan, sarana dan prasarana, sampai dengan masalah kelulusan santrinya. Dayah sebagai lembaga pendidikan tradisional memiliki asumsi miring dalam sebahagian pola pikir masyarakat Aceh, asumsi miring itu adalah adanya anggapan bahwa jak beut hana masa depan (menuntut ilmu di dayah tidak memiliki prospek masa depan). Asumsi ini bermakna bahwa dayah sebagai lembaga pendidikan belum mampu memberikan jaminan masa depan yang cerah kepada para alumninya, seperti halnya lembaga pendidikan lain semisal Perguruan Tinggi (PT).

Pada bagian lain, dayah dijadikan bengkel moral anak-anak yang memiliki akhlak yang tidak baik. Sehingga asumsi sebagian masyarakat jika ada orang tua yang mengantarkan anaknya ke dayah, berarti anaknya bermasalah (akhlak). Di tambah lagi kesenjangan bantuan dana pendidikan yang hanya diperuntukan kepada lembaga formal saja. Dayah dengan kemandirian financialnya, dilapangan (penulis menyebutkan) akan kita dapatkan dayah bonafit, dayah stagnan, dan dayah hidup segan mati tak mau.

Berangkat dari fenomena ini, berawal dari era reformasi, era Gerakan Aceh Merdeka (GAM, dan pasca UUPA, para perangkat dayah angkat bicara tentang kondisi pendidikan di Aceh. Mengapa ketika berbicara tanggung jawab moral generasi Aceh diberikan beban kepada dayah, sedangkan ketika menikmati pembangunan daerah, dayah tidak diikut sertakan, sehingga terjadi anak tiri dalam kebijakan pendidikan di Aceh.

Atas sikap yang ditunjukkan oleh para perangkat dayah tersebut, akhirnya Pemerintah Aceh mengakomodir keinginan dayah untuk dimasukkan dalam berbagai kebijakan pendidikan (dengan berbagai syarat), diantaranya adalah alumni dayah boleh melanjutkan ke lembaga formal berikutnya (PTAI), dimasukkannya bantuan pendidikan untuk dayah dengan dibentuknya sebuah lembaga yang khusus menangani dayah yaitu Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Aceh (BPPDA), serta dibolehkannya alumni dayah untuk masuk menjadi anggota militer (Polri /TNI).

Ditengah keinginan berbagai pihak untuk melakukan legalisasi pendidikan dayah agar setara dengan pendidikan lainnya, gayung bersambut, pemerintah akhirnya mengeluarkan aturan yang menghapus diskriminasi dayah dalam sistem pendidikan nasional, adalah UU nomor 20 tahun 2003 sebagai cikal bakal payung hukum yang mengakui dayah sebagai salah satu lembaga pendidikan, ditambah lagi dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan yang semakin memperkuat posisi Dayah.

Pendidikan dayah harus diperkuat dari segi administrasi organisasi secara menyeluruh. Pelibatan masyarakat harus benar-benar didukung dalam upaya eksistensi pendidikan dayah di Aceh. Pendidikan dayah di Aceh memiliki peluang menjadi jalur pendidikan alternatif setelah pendidikan umum terbukti gagal dalam memproduksi manusia-manusia yang cerdas dalam segala hal. Namun, peluang menjadikan dayah sebagai pendidikan alternatif (lembaga formal di bawah Pemerintah) belum direspons secara bijak oleh pemerintah. Hal ini terbukti bahwa pendidikan dayah di Aceh tidak ada grand desain.

Program intervensi terhadap eksistensi pendidikan dayah, jika diteliti lebih jauh malah menjadikan pendidikan dayah sebagai pendidikan sub ordinat. Pada akhirnya menjadikan pendidikan dayah tidak jauh berbeda dengan pendidikan umum di Aceh. Sebagai bukti, bahwa tidak ada grand desain pendidikan dayah di Aceh, berikut penulis tampilkan beberapa catatan yang dikemukakan oleh Mukhlisuddin melalui media lokal Serambi Indonesia menyangkut program yang pernah dilakukan pemerintah Aceh terhadap pendidikan Dayah:

Tentang kebijakan klasifikasi dayah. Melalui serangkai keputusan gubernur (Pergub) pada 2003, periode Abdullah Puteh, kemudian diperbaharui oleh Irwandi Yusuf melalui intruksinya pada tahun 2008 dimana salah satu poinnya adalah untuk melakukan klasifikasi pendidikan dayah di Aceh secara komprehensif dan profesional melalui tipikal dayah bertipe A, B, C dan non-tipe. Fase inilah cikal bakal awal intervensi pendidikan dayah oleh Pemerintah Aceh.

Menyangkut dengan registrasi jumlah dayah. Kebijakan ini juga melalui Pergub No.451.2/474/2003. Poin yang utama adalah registrasi dayah dilakukan setiap tiga tahun sekali, melalui dana dari APBD. Pada 2008 juga hal serupa dilakukan untuk penggunaan anggaran kepada pembangunan sarana dan prasarana dayah melalui instruksi gubernur yang dijalankan oleh BPPD dengan kewajiban melakukan koordinasi dengan dinas-dinas teknis terkait.

Menyangkut kebijakan pemberian bantuan kepada Dayah. Pada 2003-2007 pemberian bantuan kepada dayah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi, melalui Subdin dayah. Pada 2008 wewenang itu menjadi milik BPPD Aceh berdasarkan Qanun No.5 Tahun 2007. Kemudian keluar instruksi Gubernur Irwandi Yusuf, No.03/INSTR/2008 yang ditujukan kepada BPPD Provinsi, tentang petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana dayah, menyebutkan bahwa pemberian bantuan dan pengembangan dengan sistem kerja sama dan mengutamakan kepentingan santri dan masyarakat sekitar Dayah. Jenis bantuan yang diberikan, meliputi pembangunan mushala, asrama, masjid, wc, dan bangunan utama pengajian.

Ada beberapa program jangka pendek yang dilakukan pemerintah seperti pelatihan komputer untuk santri dayah, pelatihan life skill santriwati (konveksi), pelatihan life skill satriwan (reparasi elektronik), bantuan untuk kegiatan ekstra kurikuler santri, musabaqah qirawatil kutub dan sayembara baca kita kuning, pelatihan jurnalistik santri serta pembinaan dan pengembangan kurikulum Dayah.

Program-program yang telah dirancang tersebut diharapkan dapat mendongkrak peningkatan kualitas pendidikan dayah di Aceh melalui BPPDA, baik sumber daya manusia guru (Teungku) juga santrinya, upaya ini ditempuh karena seiring dengan timbulnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya peranan pendidikan agama dalam membentuk prilaku manusia, terutama generasi muda. Disamping itu juga sekarang pihak dayah telah membuka diri untuk menerima perubahan dan perbaikan untuk kemajuan dari institusi dayah sendiri, banyak program yang digulirkan diikuti oleh pihak dayah dengan serius.

Gayung telah bersambut, kebijakan pemerintah yang menghapus diskriminasi dayah sudah diterbitkan, sementara dayah sendiri apakah sudah siap untuk mengembangkan diri, tinggal bagaimana mengisi peluang itu dengan kerja nyata demi kemajuan pendidikan Aceh di masa yang akan datang.

*Penulis adalah salah seorang dosen di IAIN Lhokseumawe

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.