Jejak si ‘Renul’ Pegawai Rendahan Meraih Mimpi

oleh
Penulis bersama peserta Diklat

Catatan: Fathan Muhammad Taufiq

DENGAN bermodal Ijazah SMA, perjalanan ini dimulai. Tahun1990 adalah awal memasuki ‘dunia baru’ denga diterimanya diriku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah.

Berdasarkan SK CPNS, aku ditempatkan pada instansi yang mengurusi pertanian. Sejak saat itu, hari-hari ku dilalui dengan dunia penyuluhan, khususnya di bidang yag usdah lama ku minati.

Diam-diam aku mulai belajar secara tidak langsung dengan cara ‘mendompleng’ teman-teman sewaktu mereka melakukan pembinaan ke lapangan. Ketertarikan ku dengan dengan dunia peyuluhan semakin tinggu, ketika melihat teman-teman penyuluh secara periodik dikirim untuk mengikuti berbagai pelatihan teknis maupun pelatihan fungsional ke Balai Pendidikan dan Latihan (Diklat).

Balai Diklat Pertanian Aceh yang berlokasi di Saree, Aceh Besar yang waktu itu masih bernama Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) adalah salah satu balai pelatihan yang paling sering menggelar pelatihan bagi para penyuluh pertanian. Aku berharap, suatu saat bisa ‘menyelip’ diantara para penyuluh yang dikirim oleh instansiku untuk mengikuti berbagai pelatihan. Namun, aku harus ‘mengubur’ dalam-dalam mimpiku untuk bisa menginjakkan kaki di komplek balai pelatihan tersebut, karena tak kunjung terpilih.

Benar. Allah sudah punya rencana lain. Akhirnya pada 1993, kesempatan untuk mengikuti pelatihan akhirnya datang juga, yakni ke Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ini Balai Diklat pertama ku masuki.

Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar merupakan Balai Pelatihan Regional yang menaungi 3 provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Namun karena pelatihan yang kuikuti adalah pelatihan adminitrasi, aku masih memendam keinginan untuk bisa ikut dalam pelatihan yang sifatnya teknis pertanian. BLPP Aceh masih terus menjadi ‘mimpi’ bagiku untuk suatu saat bisa menginjakkan kaki disana.

Pasca mengikuti pendidikan di Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar, sejumlah pelatihan lain terus ku ikuti disejumlah daerah, seperti Jakarta, Bandung, Bogor dan Malang. Ini mengobati kekecewaanku tidak pernah dikirim mengikuti pelatihan di BLPP Aceh.

Selama 27 tahun mengabdi di dunia pertanian ini, aku mulai menapaki dunia menulis yang kemudian membawaku ke ‘dunia’ yang lebih luas, bahkan melebihi kapasitasku yang hanya berstatus pegawai ‘renul’ (pegawai rendah).

Aku jadi semakin asyik ‘self learning’ ketika kemudian aku mulai aktif menulis. Sebuah kebetulan, sudah ada media pertanian yang diterbitkan oleh Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian) yang setiap edisinya juga dikirim ke instansi tempatku bekerja. Aku mulai coba-coba mengirimkan artikel-artikel singkat atau rilis berita ke media itu, dan Alhamdulillah sebagian besar artikel yang kukirim kemudian dimuat di media itu.

Saat itu, dengan masih keterbatasan teknoligi, aku menulis masih menggunakan mesin ketik manual dan mengirimkan tulisanku melalui jasa pos. Aktifitas menulis itu aku jalani sampai beberapa tahun sebelum akhirnya, vakum menulis seiring dengan aktivitas rutinku yang semakin bertambah.

Ke vakuman itu tak berlangsung lama, sekitar lima tahun lalu, aku mulai menemukan kembali keasyikan menulis, apalagi teknologi informasi yang berkembang semakin memudahkan mengakses berbagai media, termasuk kemudahan untuk mengirim tulisan secara cepat. Terus belajar dan terus menyulis, itulah yang kemudian menjadi aktifitas selingan di sela-sela aktifitas rutinku, sampai akhirnya aku dianggap ‘eksis’ sebagai penulis artikel pertanian di beberapa media cetak dan media online.

Aktifitas menulis semakin intens ku jalani inilah yang akhirnya membuat aku banyak kenal dengan relasi dari berbagai kalangan baik di daerah maupun di pusat. Lewat aktifitas menulis ini pulalah yang akhirnya aku bisa berkenalan dekat dengan drh Ahdar MP, selaku Kepala Balai Diklat Pertanian Aceh.

Bermula dari perkenalan melalui media sosial, kemudian berlanjut melalui telepon dan pertemuan langsung saat beliau ‘turun’ ke daerah, akhirnya aku bisa menjalin pertemanan yang cukup akrab dengan beliau. ‘Kasta’ jenjang pendidikan yang begitu jauh antara aku dengan beliau, bukanlah kendala bagi pertemanan kami, karena beliau memang tidak pernah mempermasahkan itu, ini yang menyebabkan aku merasa ‘enjoy’ bersahabat dengan beliau, karena tidak ada batasan formal diantara kami yang sejatinya sangat jauh ‘berbeda kasta” ini.

Keinginan lamaku untuk bisa menginjakkan kaki di komplek Balai Diklat Pertanian Aceh di Saree, Aceh Besar itu, akhirnya terwujud juga pada 2015 silam. Tapi kehadiranku disini bukan dalam rangka mengikuti sebuah Diklat, tapi mendampingi Kepala Bidang untuk memngikuti rapat teknis tingkat provinsi.

Usai mengikuti acara pembukaan, Pak Ahdar langsung ‘menarik’ ku dari ruang pertemuan, beliau mengajakku ke sebuah kafe yang berada di komplek balai Diklat itu. Sambil menikmati kopi Gayo yang menjadi sajian utama di kafe itu, aku mulai terlibat perbincangan dengan kepala balai diklat tersebut.

Dari banyak hal yang kami bicarakan, akhirnya Pak Ahdar mengungkapkan keprihatinanya melihat begitu banyaknya penyuluh pertanian yang ada di Aceh ini, namun tidak satupun yang mampu eksis menulis di media. Padahal menurut belaiu, aktifitas menulis sangatlah penting bagi para penyuluh pertanian untuk mengembangkan profesi dan menunjang karir mereka. Menurut analisis beliau, ketidak eksisan penyuluh dalam menulis, salah satunya karena mereka belum pernah mendapatkan pelatihan tentang menulis secara komprehensif.

Dari perbincangan itu juga, akhirnya tercetus ide untuk membuat sebuah Diklat menulis yang diperuntukkan bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di Provinsi Aceh. Pelatihan serupa sebenarnya pernah digelar di tingkat Kementerian Pertanian, namun belum ada satupun penyuluh dari Aceh yang berkesempatan mengikuti pelatihan tersebut dengan berbagai sebab.

“Kamu menjadi nara sumber atau pemateri, kalau rencana itu bisa terealisasi nantinya,” ujar Ahdar kala itu.

Agak jengah juga aku mendapat tawaran mengejutkan seperti itu, karena menjadi nara sumber pada balai Diklat berskala provinsi tentu bukanlah hal yang mudah, butuh persyaratan teknis dan administrasi tertentu yang semuanya tidak aku punyai. Jadinya aku hanya menanggapi tawaran itu sebagai sebuah candaan saja, sekedar bentuk apresiasi beliau terhadap apa yang telah aku lakukan selama ini.

Jelang akhir 2016, Balai Diklat Pertanian Aceh menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Angka Kredit Bagi Penyuluh Pertanian. Dalam Bimtek yang diikuti peserta dari seluruh Aceh. Salah satu materinya tentang teknis menulis bagi penyuluh. Akupun diminta menjadi nara sumber mengampu materi penulisan karya ilmiah bagi penyuluh.

Penulis bersama peserta Diklat

Tentu saja itu membuat aku sedikit kelabakan, bagaiman mungkin seorang lulusan SMA harus tampil sebagai nara sumber bimtek yang diikuti peserta yang rata-rata berpendikan sarjana S-1 bahkan seagian sudah bergelar S-2. Tapi dengan niat untuk berbagi pengalaman, bukan untuk mengajari atau menggurui, akhirnya ‘tantangan’ perdana itu bisa aku lewati dengan mulus.

Alhamdulillah, beberapa peserta bimtek kemudian mulai bisa muncul tulisannya di media, meskipun belum bisa dibilang eksis. Tapi itu sudah cukup bagi Pak Ahdar untuk menganggap ku berhasil dalam ‘ujian pertama’.

Dinilai sukses dalam ‘ujian pertama’, pada 2017 tawaran datang lagi dalam ‘frame’ Diklat Peningkatan Kompetensi Penyuluh bagi para penyuluh pertanian se provinsi Aceh. Kali ini, aku diberi ‘porsi’ dua materi sekaligus dan diberikan alokasi waktu 12 jam pelajaran atau nyaris satu setengah hari penuh.

Tentu tidak lagi ajang ‘uji coba’, tapi bagiku sudah kuanggap sebagai ajang ‘uji kredibilitas’. Itulah sebabnya aku berusaha menyiapkan materi sebaik mungkin, selain supaya beliau tidak kecewa dengan kepercayaan yang sudah diberikan. Dengan modal pengalaman menulis di berbagai media, angkatan pertama pada awal Agustus 2017 mampu terlewati dengan mulus hingga angkatan ke empat yang berakhir pada 17 Oktober 2017.

Antusias peserta terhadap materi yang kusampaikan, bukan saja sebatas di kelas, tapi juga pasca pelaksanaan Diklat. Banyak diantara peserta punya keinginan kuat untuk menulis, akhirnya melanjutkan konsultasi melaui email, telepon maupun WA. Ini yang membuatku merasakan sebuah kebahagiaan dan kepuasan batin, karena sedikit banyak apa yang sudah kulakukan bisa memberi manfaat bagi orang lain.

Pengalaman yang bagiku sesuatu yang ‘luar biasa’ dan di luar dugaan ini semakin menyadarkanku betapa Maha Besar dan Maha Adil-Nya, Sang Pemilik Kehendak. Campur tangan Allah jualah yang akhirnya membuat kenyataan yang kualami ternyata jauh lebih indah dari mimpiku.[editor:aZa]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.