Kaum Perempuan: Habis Ditindas Lahirlah Pemikiran Nyeleneh

oleh

Oleh: Husaini Muzakir Algayoni*

Disatu sisi perempuan adalah makhluk istimewa dan itu telah tertera dalam al-Qur’an dan disisi lain dalam pandangan Barat perempuan adalah makhluk lemah dan tidak berdaya sehingga perempuan identik dengan penindasan. Ketika perempuan bersuara dengan menyuarakan hak-hak mereka dan melawan terhadap penindasan yang dilakukan oleh laki-laki, mereka bergerak dengan konsep sosial dan menyebarkan ide mereka ke dalam dunia akademik yang dinamakan dengan “Feminisme”. Sebuah Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “Islamia” dengan tema Problem Kesetaraan Gender dalam Studi Islam: Bias Paham Feminisme Barat yang berisikan materi tentang kesetaraan gender terdiri dari IX bab dan 144 halaman, disini penulis mencoba mengulas dengan singkat dan padat terhadap kondisi perempuan ditindas sehingga muncul gerakan feminis melawan penindasan terhadap perempuan.

Dalam pandangan budaya Barat perempuan di anggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Penurunan status perempuan di Eropa telah terjadi pada tahun 1560 dan 1648, pada tahun 1595 seorang Profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan status mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Doktrin gereja juga menganggap bahwa wanita sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat, wanitalah yang menjerumuskan laki-laki ke dalam dosa dan kejahatan dan menuntunnya ke neraka.

Begitu juga dengan filosof Barat seperti Thomas Aquinas, ia sepakat dengan Aristoteles bahwasannya perempuan adalah laki-laki yang cacat atau memiliki kekurangan. Immanuel Kant berpendapat bahwa perempuan mempunyai perasaan kuat tentang kecantikan, keanggunan dan sebagainya tetapi kurang dalam aspek kognitif dan tidak dapat memutuskan tindakan moral. Pemikir lainnya seperti Francis Bacon dalam esainya yang menulis kondisi perempuan Inggris saat itu mengalami kehidupan sulit dan keras.

Dari dua paragraf terakhir dapat digambarkan betapa sedihnya kondisi perempuan di Barat ketika itu, perempuan Barat menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat dari hampir seluruh aspek kehidupan. Ketika perempuan ditindas dan sejarah perempuan Barat yang kelam maka muncullah gerakan perempuan yang menuntut hak dan kesetaraan dengan kaum laki-laki, gerakan ini semakin gencar disuarakan ketika revolusi Perancis (1789), kaum perempuan memanfaatkan gejolak politik ditengah revolusi yang mengusung isu liberty, equality dan fratenity.

Gerakan feminis pada mulanya menggunakan isu “hak” dan “kesetaraan” perempuan sebagai landasan perjuangannya, tetapi feminisme akhir 1960-an menggunakan istilah “penindasan” dan “kebebasan” yang kemudian feminisme menyatakan dirinya sebagai “gerakan pembebasan perempuan.” Dalam gerakan tersebut lahir beberapa aliran dari feminisme ini, sebut saja aliran radikal, Marxis, gerakan feminisme liberal dan masih banyak aliran-aliran lainnya.

Salah satu aliran kontroversi dari feminisme ini adalah aliran radikal yang mendukung pasangan lesbi dan dapat menikah secara legal dan diakui oleh negara secara sah. Para feminis radikal berpendapat dominasi laki-laki berpusat dari seksualitas, karena dalam hubungan heteroseksual, perempuan menjadi pihak yang tersubordinasi tetapi dengan menjadi lesbi perempuan menjadi kontrol yang sama dan tidak ada dominasi dalam hubungan seksual diantara mereka. Ketika ajaran agama menentang dengan keras penyimpangan moral semacam itu, para aktivis feminis justru menyuarakan dengan lantang pembelaan terhadap praktik lesbian melalui tokoh-tokoh agama atas nama “kebebasan.”

Isu kesetaraan gender dan kebebasan telah membuat perempuan Barat mengingkari kodrat mereka sebagai perempuan. Melihat problematika sosial yang melanda masyarakat Barat saat ini terutama kaum perempuannya, sungguh naif jika masih ada saja orang-orang yang menganggap bahwa feminisme dapat memberikan solusi bagi permasalahan perempuan di dunia Islam. Dinar Dewi Kania, S.E, MM, mengatakan kita sepatutnya merasa iba kepada Barat karena tanpa sadar mereka telah menjadi korban ideologi yang merusak tatanan sosial kemasyarakatan dan mencabut nilai-nilai religius dari peradaban mereka.

Inilah penulis sebut pemikiran nyeleneh, pada awalnya gerakan feminis ini menuntut hak mereka untuk setara dengan laki-laki dan tidak ada lagi penindasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh laki-laki (kaum perempuan ditindas dan kaum laki-laki penindas). Namun apa yang terjadi selanjutnya konsep awal berubah menjadi konsep yang tak jelas karena kekuatan agama tak ada lagi sehingga yang ada hanya kebebasan, kebebasan yang salah kaprah.

Adian Husaini salah seorang penulis yang konsen mengkritisi pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat seperti liberalisme, pluralisme, sekularisme, relativisme, perennialisme dan lain sebagainya. Kali ini dalam tulisannya “Kesetaraan Gender: Konsep dan Dampaknya Terhadap Islam,” menyebutkan bahwa ide kesetaraan gender merupakan paham kebencian yang bersumber dari pengalaman Barat dengan pandangan hidup sekular-liberal.

Bukan hanya di dunia Barat yang melahirkan pemikiran-pemikiran nyeleneh akibat dari kesetaraan gender dengan isu penindasan terhadap kaum perempuan tapi merambah juga ke dunia Islam melalui tokoh-tokoh feminis dari kalangan Islam itu sendiri. Amina Wadud contohnya, ia adalah seorang feminis yang berusaha menerapkan konsep “kesetaraan gender” dengan mengubah konsep-konsep Islam tentang wanita untuk disesuaikan dengan nilai-nilai modern yang berlaku di dunia saat ini.

Amina Wadud merupakan feminis liberal yang menghebohkan dunia pada tahun 2005 saat ia memimpin shalat Jum’at di sebuah Gereja di New York, menjadi imam sekaligus khatib, shaf laki-laki dan wanita bercampur, sang muadzin pun wanita tanpa kerudung. Dalam penjelasan Adian Husaini menyebutkan bahwa Amina Wadud berusaha membongkar cara menafsirkan al-Qur’an ‘model klasik’ yang dinilainya menghasilkan tafsir yang bias gender alias menindas wanita.

Pemikiran-pemikiran Amina Wadud tersebut merupakan pemikiran nyeleneh akibat dari arus pemikiran Barat yang bebas alias liberal. Oleh karena itu penjelasan Dr. Khalif Muammar dalam tulisannya Wacana Kesetaraan Gender Islamis Versus Feminis Muslim, menurut hemat penulis dalam penjelasan Dr. Khalif Muammar tersebut ketika ada pemikiran seperti di atas maka kita harus berhati-hati, mengambil pendekatan yang sederhana dan seimbang antara dua pendekatan yang bertentangan yaitu konservatif dan liberal dan ini kita masuk pada yang Islamis sementara feminis muslim cenderung pada pemikir liberal seperti Amina Wadud diatas. Feminis Muslim liberal berpendapat bahwa pandangan ulama bersifat subjektif, menolak hadis shahih dan hanya memegang nash al-Qur’an dengan menggunakan tafsiran mereka sendiri.

Demikianlah pejelasan singkat dari Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam “Islamia” yang mengangkat isu kesetaraan gender akibat dari penindasan yang dirasakan oleh kaum perempuan dengan membawa suatu paham yang dinamakan dengan feminisme. Pemikiran feminis ini ada yang baik dan ada juga yang nyeleneh, oleh karena itu kita harus berhati-hati terhadap pemikiran ini sehingga terbebas dari pemikiran-pemikiran yang nyeleneh.

*Penulis: Resiator Buku & Novel, Kolumnis LintasGAYO.co

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.