Cameron Di Mata, Gayo di Hati

oleh

Oleh : Ida Nusraini*

Disela-sela mengerjakan tugas akhir perkuliahan, alhamdulillah berkesempatan ikut “menumpang” dengan peserta pelatihan yang dikoordinatori seorang sahabat, untuk berwisata ke Cameron Highland, pusat peristirahatan di barat daya negeri Pahang, Malaysia.

Menggunakan bus wisata dari Tanjung Malem, Perak, perjalanan menuju Cameron Highland memakan waktu sekitar dua jam. Kondisi jalan berliku dengan hutan alami, dihiasi air terjun dan jurang kanan kiri, membuat perjalanan ini terasa demikian harmoni. Serasa pulang kekampung sendiri.

Pemberhentian pertama adalah Bharat Tea Plantations. Tea house untuk minum teh sekaligus membeli oleh-oleh. Pemandangan breathtaking dibelakangnya segera mengalihkan rasa penat perjalanan menjadi sensasi damai tiada tara. Hamparan kebun teh disekujur punggung gunung ditata rapi hingga mata enggan berpaling biar sedetik jua. Ketinggian 1.829 mdpl dengan suhu antara 10-20 derajat Celcius juga membuatnya “nyaman pake banget” buat orang Gayo seperti penulis. Sulit untuk menahan diri untuk tidak mengabadikan keberadaan ini dengan beberapa jepretan kamera sebagai tanda sudah pernah berkunjung kemari.

Perjalanan dilanjutkan mengunjungi Taman Agroteknologi Mardi Cameron Highlands. Apa yang kita dapat disini? . Taman strawberri, kebun dan pabrik teh, petak fertilasi dan taman Inggris, taman bunga penyejuk mata yang menjadi syurga dunia bagi kami para ibu-ibu.

Tiket masuk seharga 3 ringgit per orang dewasa terlupakan begitu saja dengan hamparan tatanan bunga yang sangat menggoda untuk dijepret kamera. Seperti menemukan “habitat”nya, rombongan wisata ini langsung “berhamburan” mengambil posisi selfie, wefie di bawah, disamping, di tengah-tengah aneka jenis bunga yang memang terkesan ‘memaksa” siapapun yang hadir untuk berfoto bersamanya.

Jangan lupa, pastikan baterai mencukupi dan memori memadai untuk dapat mengambil foto bersama semua jenis bunga dan tanaman disini. Taman strawberri, aneka bunga beserta bibitnya, boleh dibawa pulang (setelah dibeli tentunya).

Penulis haqqul yaqin emak-emak mesti kalap ingin memborong semua. Namun karena rombongan ini adalah peserta pelatihan dari Indonesia yang notebene tidak diizinkan membawa tanaman dalam barang bawaannya, maka harus puas hati dengan jeprat-jepret fotonya saja.

And than, lunch time. Mata boleh puas dengan bunga, tapi perut juga menuntut haknya. Tidak sulit menemukan tempat makan di daerah wisata tertata ini. Menunya lumayan bersahabat di lidah. Perpaduan ras Melayu, Hindia dan banyak lagi, menghilangkan khawatir saat harus menyalurkan naluri kelaparan kita. Kalau belum juga merasakan yang maknyus menggugah selera, penulis berikan smart tips based on true story.

Sertakan selalu saos cabe dan saos tomat sachet dalam berbagai varian rasa dikantong anda. Kalau perlu dari level pedas biasa sampai level gila, maka selera anda akan terselamatkan dinegeri orang yang terkadang lidah “kampung” kita sedikit bingung menerjemahkan rasa. Jika makanan sudah terhidang tapi rasanya belum terdefenisikan dengan sempurna, gampang, bubuhkan saos secukupnya, dan makanlah seperti biasa. Simpel ‘kan?.

Selanjutnya Cactus Point, rumah kaktus. Kalau tetiba suami anda dengan wajah tanpa dosa mengatakan “Dekā€¦kamu cantik seperti kaktus,” jangan buru-buru naik tensi. Bisa jadi beliau terinspirasi dengan tempat ini. Itu artinya : ” Kecantikanmu sungguh tidak biasa,”. Kalau frasa ” katakan dengan bunga” kedengaran terlalu mainstream, mungkin frasa ” Katakan dengan kaktus” tepat menggantikannya. Tempat ini mengubah mindset kaktus sebagai tanaman berduri yang lebih dominan kesan menyakiti dari pada menyenangkan hati, menjadi tanaman bernilai seni tinggi dengan warna dan ukuran yang tidak biasa.

Tidak percaya? Datang dan lihat sendiri. Saksikan dengan “mata kepala” dan mata uang sendiri. Tidak akan rugi, karena ditempat ini juga menyediakan bunga-bunga lain yang tidak kalah menarik hati.

Itulah sedikit tempat yang dapat dikunjungi dalam perjalanan singkat kali ini. Masih banyak tempat lain yang menarik dikunjungi jika waktu memungkinkan.

Hujan diperjalanan pulang, menitip rindu untuk kembali datang bertandang.

Lalu apa hubungannya dengan Gayo Highlands?

Harus ada. Hubungan yang pertama, penulis adalah orang Gayo yang kerinduannya pada tanah tembuni tak patut dipertanyakan lagi. Maka mengunjugi Cameron Highlands adalah secuil pengobat rindu kekampung sendiri.

Kedua, apa yang ada di Cameron Highlands hampir sama dan nyaris tak ada beda dengan Gayo Highlands. Tanamannya? Di Cameron ada teh kualitas tinggi, di Gayo ada kopi yang high quality. Buah-buahannya? Hanya nama saja yang berbeda. Terong Agur atau Terong Belanda di Cameron namanya Buah Cinta, atau buah-buahan lain yang rupanya sama dalam nama yang berbeda. Bunga-bunga? Saya yakin jenis dan kecantikan bunga di Gayo tidak akan mengkhianati kekaguman kita pada ribuan jenisnya.

So, apa bedanya?. Tata wilayah dan pengelolaan daerah yang membuat Cameron highland ciamik, berseri dan membuat siapapun ingin datang lagi. Ini yang belum penulis dapati di Gayo. Kebun kopi kurang banyak?. Melihat Bharat Tea Plantations persis seperti melihat perkebunan kopi di Bukit Menjangan, KM 92, Singah Mata atau daerah lain diseantero Gayo tercinta. Bedanya adalah tata kelola.

Tata kelola membuat sesuatu menjadi meningkat nilai seni apalagi nilai ekonominya. Besar harapan kebun kopi kita suatu saat rapi tertata. Belum lagi Danau Laut Tawar dengan pesona legenda disekelilingnya. Masih menjadi “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan bersama.

Buah-buah dan sayur kurang lengkap? Kita pasti bercanda, karena Gayo adalah daerah yang sesuai suhunya, subur tanahnya, luas lahannya bisa mendukung keperluan buah dan sayur se-Aceh sekalipun.

Masalahnya adalah PENGEMASAN. Pengemasan untuk buah dan sayur baik dijual dipasar lokal atau dijual keluar daerah untuk sekarang masih perlu ditingkatkan lagi. Menjual dengan kemasan lebih bagus sudah tentu meningkatkan nilai yang pasti menguntungkan para petani. Mungkin kemasan Buah Cinta ala Cameron Highland mudah-mudahan bisa menginspirasi kemasan Terong Agur ala Gayo, juga untuk pengemasan buah jenis lainnya.

Bunga-bunga kurang cantik?. Siapa yang bisa memungkiri pesona jelita ribuan jenis bunga yang tersembunyi dikedalaman hutan, terhampar disekeliling halaman, sampai “terdampar” dipinggir-pinggir jalan.

Mengapa penulis sebut terdampar? Karena keindahannya terbiarkan, diacuhkan, tidak dipedulikan. Lagi-lagi tata kelola.

Keindahan Gayo berpotensi menjadi taman bunga terbesar dan tercantik di Aceh kalau ada yang mau menata dan mengelolanya. Siapa? Ya kita, bersama-sama. Pemerintah selaku pembuat kebijakan, masyarakat selaku ujung tombak tindakan, investor kalau dana menjadi hambatan.

Kecewa? Tentu tidak. Kecintaan pada tanah leluhur ini jauh lebih besar dibandingkan rasa kecewa pada tata, kelola, kemasan wisata untuk saat ini. Penulis menyadari bahwa sekedar kecewa tidak akan mengubah apa-apa.

Melalui tulisan ini, penulis titipkan harapan pada siapapun yang berkenan membaca, untuk memikirkan, mengusulkan, mengerjakan sekecil apapun untuk sebuah perubahan. Sebagai bukti nyata cinta, pada sekeping tanah syurga yang ditakdirkan sebagai tanah kelahiran kita. For Gayo with Love.[]

*Ida Nusraini, Pelajar Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, Malaysia.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.