Nahma Gayo dalam Gelombang Alpha

oleh

Features oleh Zuhra Ruhmi*

Aku mulai merebahkan tubuh tepat dipergantian hari antara Sabtu (2/9/2017) dan Minggu (3/9/2017). Kurasakan empuknya kasur dan hangatnya selimut. Otakku mulai mengatur gelombangnya membawaku tertidur. Kini gelombang otakku telah berada pada gelombang alpha peralihan antara sadar dan hampir terlelap. Sayup kudengar perbincangan dengan kata pencuri. Mata tak bisa diajak kompromi sinyal otak menuntut perubahan dari alpha menuju theta hampir terlelap. Biasanyapun Ine (Ibu-Red) akan membangunkan jika sesuatu terjadi.

Otakku telah berada pada gelombang delta, tertidur lelap, tiba-tiba tubuhku digerakkan Ine sembari berkata terjadi pencurian.

Ho ara jema nusuh so, wet nye,” kata Ine mengatakan telah terjadi pencurian. Kulihat jam menunjukkan pukul 00.20 dini hari. Sontak aku terbangun dan keluar rumah menuju gardu yang terletak dipersimpangan jalan yang tak jauh dari rumah.

Sambil berjalan kupandangi rembulan yang bercahaya agak kemerahan. Menahan amarah layaknya para bebujang (pemuda-red) menahan amarah ketika kampungnya dimasuki maling. Aku angkat topi untuk para pemuda kampungku yang menjaga prinsip bela mutan yang bermakna harga diri yang terusik karena ada kelompoknya yang tersakiti dan terganggu. (Zainal Abidin (2002:28)). Tak hanya menjalankan prinsip adat masyarakat Gayo, tapi juga menjalankan fungsinya sebagai pegerni kampung (penjaga kampung).

Kejadian ini bukan yang pertama kalinya, beberapa kali kejadian pencurian dan kejadian yang merusak nama kampung Asir-asir maka pemudalah yang menjalankan perannya sebagai pegerni kampung.
***
Buru-buru aku menuju kerumunan warga. Telah ada dua orang pemuda yang tertunduk diintrogasi oleh bebujang dan aparat kampung Asir-asir.

“Mukune bang? (ada apa bang?),” kataku pada sepupu
“Nusuh,” mencuri jawabnya.
Kulihat Reje kampung, bang Pera begitu kami memanggilnya sedang menginterogasi kedua pelaku yang dikerumungi oleh para pemuda kampung dan masyarakat sekitar.

Pelaku Pencurian Sedang diinterogasi oleh Aparatur Kampung Asir-Asir pada Minggu (2/9/2017) Dini Hari (Zuhra Ruhmi)

Tak lama sepeda motor berhenti tepat didepan gardu. Seorang ibu muda dan lelaki tiba. Memarkirkan sepeda motor dan melihat anaknya yang menjadi tersangka. Seorang pemuda membukakan pintu gardu untuk menjadi tempat musyawarah malam itu.
Anakku beta hek ke aku bebuet bangunen ken ko, dabuh ini buetmu (anakku lelah ayah bekerja bangunan untukmu, mengapa ini yang kanu lakukan)?,” teriak ayaknya dengan nada kecewa melihat anaknya menjadi tersangka. Merah padam wajah ayah dan ibunya tergambar jelas. Reje kampung dan aparat desa lainnya menjelaskan kejadian dengan memanggil saksi atas kejadian pencurian malam itu.

Aku seoah bisa merasakan perasaan ayah dan ibu ketika melihat anaknya yang menjadi tersangka. Wajah memerah menahan malu. Menjemput anak menjadi pelaku pencurian menjadi tanggung jawab yang tak pernah diinginkan oleh siapapun.

Ini masih pengadilan dunia yang bisa diselesaikan dengan cara manusia. Mengambil tanggung jawab atas perlakuan kurang baik seorang anak, menjemputnya dari keramaian orang membawanya pulang. Dan entah apa lagi yang dilakukan ayah dan ibu pada anaknya.

Pikiranku menerawang membayangkan bagaimana memerah padamnya wajah seorang ayah, saudara laki-laki atau suami ketika telah berada di pengadilan Allah atas seorang perempuan yang bernama istri, anak atau adik perempuan yang menjadi tanggung jawanya.

Ketika seorang ayah akan diminta pertanggung jawaban atas anak gadisnya tentang menutup auratkah dia, melaksanakan shalatkah ia dan penjalanan syari’at lainnya. Juga menjadi pertanggung jawaban saudara lelaki atas adik perempuan juga seorang suami yang harus mempertanggung jawabkan istrinya.

Tidakkah ayah, saudara laki-laki atau suami yang akan mengemban tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh seorang anak, adik atau istri? Selain dirinya sendiri? Relakah kita membuat ayah, saudara laki-laki dan suami dengan muka merah menahan malu dihadapan Allah yang hukumannya tak mengenal kompromi?

Karena bukankah seorang perempuan menjadi tanggung jawab ayahnya, suaminya, anaknya dan saudara laki-lakinya? Maka masih relakah kita para kaum hawa menyaksikan mereka disiksa dipengadilan Allah karena perbuatan kita?

Merah padam wajah kita didunia bisa sirna dengan pergantian waktu, namun merah padam wajah kita menahan malu diakhirat siapa yang tau waktu?

Modernisasi dengan kemajuan teknologi turut mempengaruhi interaksi dan gaya hidup yang kian melunturkan kearifan budaya lokal dalam kehidupan sosial.  Kemajuan itu juga turut memicu tingkat kebutuhan primer dan sekunder menjadi meningkat dibandingkan dengan kehidupan diera teknologi yang masih sederhana. Hal ini pula yang menjadikan lunturnya nilai-nilai tradisi masyarakat Gayo.

sebagaimana peralihan antara gelombang alpha dan theha yang seolah memposisikan setiap individu  antara sadar dan tidak sadar dalam hegemoni teknologi.

*Salah seorang warga kampung Asir-asir

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.