Catatan Reflektif Seorang Ayah untuk “Diktator Kecil” di Balik Tembok Pendidikan

oleh

Oleh : Muhamad Hamka*

Bagi pasangan yang sudah menikah, puncak kebahagian adalah ketika keluarga itu diamanahi buah hati oleh Sang khalik. Kehadirannya, mendatangkan perasaan suka cita yang tak terdefenisikan oleh bahasa apapun. Anak adalah simpul keberlanjutan sebuah keluarga, sebuah bangsa dan sebuah peradaban.

Kami sungguh pernah merasakan bagaimana kebahagian itu hadir mengaliri saraf-saraf, menelusup ke dalam jantung, hingga membuncah dalam perasaan suka cita yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, tatkala putri kami Naurah Afifah Putrinesia lahir menjadi warga dunia pada 20 November 2013.

Kelahiran Naurah sungguh istimewa. Betapa tidak, sejak menikah di penghujung 2009 silam di Kota Takengen, harapan kami untuk menimang seorang buah hati selalu tertunda, tiga kali istri saya keguguran, bahkan yang ke empat, putra kami lahir, namun hanya sejenak merasakan menghirup udara dunia, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, pulang menemui Sang Penciptanya.

Namun kami sungguh yakin, bahwa tidak ada yang kebetulan dengan ujian yang hadir dalam keluarga kami, melainkan berjalan di atas kehendak terbaik Allah swt. Karena itu kami tak pernah kendur dalam berikhtiar dan berdoa, hingga pada 20 November 2013, Tuhan memeluk ikhtiar, doa dan harapan kami dengan manis.

Sehinga tak heran kalau putri kami adalah seluruh definisi kami tentang cinta, Naurah juga adalah seluruh defenisi kami tentang kemanusiaan. Pendeknya, Naurah adalah seluruh defenisi kami tentang kehidupan. Kehadiranya dalam keluarga kecil kami mengalirkan harmoni, cinta kasih, dan energi yang produktif.

Oleh karena itu, seluruh energi cinta, kami curahkan untuk Naurah. Agar ia tumbuh menjadi generasi yang memiliki akhlak yang baik, Naurah kami sekolahkan di sebuah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang fokus pada hafalan Al. Quran. Alhamdulillah, perkembangnya sangat menggembirakan untuk anak seusia Naurah. Namun, sekitar satu bulan yang lalu, ia pulang sekolah dengan wajah yang dipenuhi cakaran. Batin kami sungguh terluka melihat wajah putri kami kala itu. Esoknya, ia tidak mau berangkat sekolah. Ine (ibunda) Naurah memberitahukan kejadian yang menimpa Naurah kepada kepala PAUD. Sehingga saya bersama Ine-nya Naurah pada hari berikutnya menjumpai ibu kepala PAUD tersebut. Pada pertemuan itu, beliau minta maaf dengan kejadian yang di alami putri kami.

Sejak pertemuan tersebut, terselip harapan pada benak kami agar kejadian serupa tidak terulang kembali, karena kami yakin gurunya pasti mengevaluasi kejadian tersebut. Namun, kami sekali lagi harus menelan kesedihan, manakala esoknya saat pulang sekolah, wajah putri kami kembali di ‘hiasi’ oleh cakaran temanya. Istri saya yang bukan kebetulan mengajar di SD yang yayasanya sama dengan PAUD tersebut, mengadu kepada kepala PAUD-nya. Namun, tak ada jawaban yang bisa memupuskan kekhawatiran kami. Bahkan, esoknya lagi putri kami kembali pulang sekolah dengan muka yang di cakar.

Mirisnya, sang kepala PAUD bukanya mencari solusi yang terbaik, justru mengirim video lewat pesan WA kepada istri saya. Videonya sangat tidak mendidik, jauh dari muatan pendidikan yang manusiawi. Putri saya (maaf) tanpa memakai celana, mungkin habis pipis/ngompol, di ‘paksain’ saling bermaafan dengan kawanya di depan teman-temanya yang lain. Putri saya nampak tertekan dari raut wajahnya, bahkan kawanya tersebut terlihat memaksa putri kami untuk berjabat tangan dengan menekan paha Naurah memakai tanganya. Naurah cukup lama memberikan tanganya untuk saling bermaafan. Padahal Naurah termasuk tipikal anak yang suka minta maaf, sekalipun ia di usil kawanya.

Melihat video tersebut, batin saya sungguh terkoyak. Apalagi, kepala PAUD membangun apologi, bahwa Naurah yang memulai mengusil kawanya. Saya menginterupsi batin saya sendiri, bagaimana mungkin seorang pendidik manusia justru sibuk mencari sisi negatif seorang anak didiknya, daripapada mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan yang menimpa putri kami. Apakah kalau putri kami yang duluan mengusil kawanya, lalu ia patut di cakar dan tak perlu dicarikan solusinya? Sungguh, sejak saat itu, saya melihat kepala PAUD ini telah menjadi ‘diktator kecil’ yang mengamputasi makna pendidikan yang sejatinya sebagai taman kemanusiaan.

Dan terbukti, esoknya lagi, saat pulang sekolah, Naurah kembali pulang dengan wajah yang dicakar. Waktu itu, saya tidak bisa menahan emosi lagi. Saya telepon kepala PAUD tersebut. Setelah panjang lebar berbicara, ujungnya saya katakan ‘kalau besok putri kami masih kena cakar lagi, saya akan lapor ke polisi, karena ini sudah masuk pada penganiayaan akibat pembiaran oleh gurunya.’

Bahkan, saking frustrasi dan khawatirnya Ine Naurah, esoknya saat berangkat ke sekolah ia tak berani lagi mengantar putri kami ke PAUD tersebut, tapi di ajak ke kelas tempat ia mengajar. Bahkan pada hari berikutnya, Ine Naurah turut datang dan masuk ke dalam kelas PAUD. Dalam observasinya, beliau menemukan problem soal kurangnya pengawasan guru terhadap siswa PAUD. Pada hari itu, Naurah pulang sekolah dengan wajah tanpa cakar, mungkin karena Ine-nya ikut masuk ke dalam kelasnya. Namun, esok harinya, Naurah kembali pulang sekolah dengan wajah yang di cakar.

Kami sungguh frustrasi, melihat putri kami di usia emasnya mengalami penganiayaan fisik dan psikis, dan celakanya justru terjadi di lembaga pendidikan. Delapan kali ia di cakar, tanpa ada ikhtiar mengakhirinya. Sejak kejadian pencakaran itu, kami mengantar Naurah ke sekolah dengan harap-harap cemas. Seperti mengantar anak ke medan perang. Ini sungguh ujian yang maha berat bagi kami, mengingat kehadiran Naurah di dunia ini melalui perjuangan yang maha berat pula. Namun, karena kealpaan pendidik, usia emasnya menjadi tercemar.

Guru yang sejatinya menjadi fasilitator yang bisa menggali minat dan potensi kemanusiaanya, justru berkontribusi dalam tindakan dehumanisasi tersebut. Bahkan, yang paling ironisnya lagi, konsultan pendidikan dari PAUD tersebut, bukanya menghadirkan solusi yang baik dan harmoni, tapi justru menyalahkan istri saya (dalam kapasitasnya sebagai tenaga pengajar di SD), yang tidak mensuport PAUD tersebut. Sang konsultan menyalahkan istri saya atas ancaman yang saya sampaikan.

Sungguh saya heran dengan konsultan pendidikan tersebut. Dalam benak saya ia pasti seorang yang arif dan cerdas, apalagi ia tinggal di ibukota negara, tentu ilmunya luas. Tapi nyatanya, nalarnya tak lebih dari sekadar kapitalis kecil yang memburu rente dalam luhurnya taman pendidikan. Bagaimana mungkin ia mengharapkan istri saya mensuport PAUD tersebut, sementara batinya tersayat melihat kondisi putrinya. Istri saya yang sudah frustrasi dengan kondisi putrinya, justru makin di perpaparah lagi dengan sikap pongah orang-orang terdidik ini. Lagi-lagi, batin saya menginterupsi, bagaimana mungkin para ‘diktator kecil’ ini mengurus pendidikan yang memanusiakan manusia dengan memakai paradigma robot?

Persoalan putri kami, akhirnya berujung tanpa solusi yang manusiawi. Bahkan pihak sekolah menyarankan agar putri kami istrahat di rumah selama sebulan. Kami tak pernah di ajak diskusi, bagaimana langkah dan solusi yang baik. Kala itu saya sangat geram dengan nalar pragmatis orang-orang ini, namun istri saya yang sudah mulai tenang pikiranya setelah dua malam matanya sembab karena menangis, menenangkan saya agar tak perlu mengambil langkah yang radikal. Anda bisa bayangkan, bagaimana terlukanya batin seorang ayah melihat putrinya yang tertekan psikisnya. Pada hari pertama dan kedua ia di cakar oleh temanya, Naurah masih memberitahukan kepada kami. Tapi pada hari berikutnya, ia hanya diam saja, menangis dan marah ketika kami menanyakan kenapa wajahnya terluka.

Dugaan saya waktu itu, Naurah boleh jadi menganggap cakaran itu sebagai hal biasa, karena gurunya membiarkanya saja. Sehingga dalam benaknya, boleh jadi ia menganggap hal itu sesuatu yang wajar-wajar saja. Atau ia mengalami kondisi traumatik. Dan memang sejak kejadian itu, Naurah suka mukul dan cubit. Ketika hal itu saya konsultasikan ke Ai Maryati Solihah, komisioner Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), beliau menyarankan agar Naurah di rehabilitasi karena ia sudah terpapar dengan kekerasan.

Setelah saya diskusi dengan istri, kami sepakat bahwa biarkan cinta ayah dan ibunya yang akan mengembalikan fitrah Naurah sebagai anak yang hanif. Alhamdulillah, asupan cinta dan kasih sayang kami, secara perlahan mulai mengembalikan kondisi psikis Naurah pada orbit yang semestinya. Dan sekarang ia mulai menemukan keceriaanya kembali sebagai seorang anak yang merdeka di sekolah barunya.

Tulisan ini kami hadirkan sebagai catatan reflektif, bahwa pendidikan adalah taman bagi kemanusiaan. Maka sudah seyogianya seorang pendidik harus menjadi guru manusia yang bekerja sebagai fasilitator; dalam menggali, membimbing dan melejitkan potensi kemanusiaan anak didiknya.

*ayah seorang putri, tinggal di Takengon, Aceh Tengah

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.