SMP Merdeka yang Belum “Merdeka”

oleh

Catatan Ismail Baihaqi

SEPEKAN lagi, negeri ini merayakan kemerdekaannya ke 72. Tentunya, ini satu kebanggaan yang tiada tara. Usia 72 bukanlah usia belia lagi, namun dalamhitungannya sudah dalam jenjang usia matang bahkan bisa dikatakan memasuki usia uzur bila dilihat dari usia manusia.

Namun, tahukan kita di Kecamatan Simpang Jernih yang berada dalam wilayah administrasi Kabupaten Aceh Timur, bila kita ingin menuju daerah ini, harus melalui dua daerah, yakni Kabupaten Aceh Tamiang dan Kota Langsa.

Simpang Jernih yang sebagian besar penduduknya atau bisa dikatakan 90 persen masyarakat Gayo, merupakan salah satu daerah tertinggal di Aceh Timur dan Aceh secara umum. Daerah ini jauh tertinggal di antara daerah kecamatan lainnya yang ada di Aceh Timur, kondisi dan fasilitas yang serba terbatas, baik sarana maupun prasana.

Tidak terkecuali dunia pendidikan. Daerah ini memiliki satu sekolah jenjang menengah pertama, yakni SMP Merdeka, yang terletak di Kampung Tampur Paloh, Kecamatan Simpang Jernih. Sekolah ini memiliki siswa/siswi 75 orang dan satu sekolah menengah atas yakni SMA 20 Aceh Timur. Para pelajar yang bersekolah disini berasal dari empat kampung, yaitu Kampung Tampur Bur, Tampur Paluh, Melidi dan Trans HTI.

Meskipun SMP disini diberi nama SMP Merdeka, namun kehidupan masyarakat dan para pelajar termasuk sarana pendidikannya belumlah “merdeka”. Buktinya, para warga di empat kampung ini, harus menempuh waktu selama 1 jam naik boat untuk bisa bersekolah ke Ibu Kota Kecamatan Simpang Jernih.

Sekolah tersebut hanya memiliki guru tetap 2 orang, dan 4 orang pengurus sekolah. Sekolah itu hanya memiliki satu ruangan yang digunakan untuk SMP, sedangkan bagi pelajar SMA harus berlajar di balai-balai yang dimiliki sekolah tersebut.

Nur Malinda adalah salah seorang tenaga pengajar yang bertugas di SMP Merdeka tersebut mengaku, saat ini ada 4 balai-balai yang digunakan para pelajar SMA. Ke empat balai-balai itu setelah adanya bantuan Pertamina Ranto.

“Banyak kisah pahit dan sulit serta suka duka selama mengajar di SMP Merdeka ini,” ujar Nur Malinda saat ditemui penulis disela-sela waktu istirahat proses belajar mengajar.

Dikisahkannya, kejadian mengerikan kadang membuat dirinya trauma. Rasanya, tak betah di sana karena lingkungan yang asing. “Cuma saya tetap semangat mengajar dan mengabdi, demi masa depan anak anak dan masyarakat Simpang Jernih,” ujar Nur.

Menurut Nur, anak didiknya selain harus menempuh waktu hingga satu jam untuk menuju sekolah setelah mengarungi sungai. Ada juga anak-anak yang harus berjalan kaki dari kampung mereka menuju sekolahnya yang berjarak sekitar 1 km.

Belajar dengan Alam

Nur Malinda yang sudah 1 tahun lebih mengajar di sana. Semangat dan niat belajar anak anak pedalam yang sangat antusias belajar, membuatnya tetap berkeras hati untuk betah mengajar mengabdi disana.

“Kalau belajar mereka mau, tapi mereka lebih suka belajar dengan alamya yaitu belajar di luar ruangan seperti kemping gitu,” sebut Nur.

Nur bukanlah seorang guru pegawai tetap atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Ia adalah guru relawan yang rela bertugas disana, demi memajukan dunia pendidikan di daerah tertinggal tersebut. Bahkan, untuk bisa mengajar, ia harus rela menguras uang pribadinya.

Untuk setiap hari ke sekolah, Nur harus merogoh kocek Rp100 ribu per hari. Sebab, biaya transportasi dari pelabuhan Kuala Simpang ketempat bertugas Rp50 ribu, dengan menggunakan boat.

“Per hari Rp100 ribu pulang pergi (PP) di tambah lagi perjalanan yang sulit,” kisah Nur sambil menambahkan, kepada murid-muridnya, Ia selalu menekankan semangat untuk terus giat belajar.

Belajarlah, miskipun serba terbatas agar suatu saat nanti, kalian merasakan manfaatnya, demi keluarga dan kampung halaman. Tunjukan, bahwa kalian bisa menjadi orang yang sangat berguna bagi agama, daerah dan bangsa, meskipun belajar dengan serba kekurangan, itulah kalimat pemacu semangat yang selalu disampaikan Nur Malinda pada murid-muridnya.

“Bersemangatlah dalam meraih cita-cita, InsyaAllah akan memberikan kesuksesan suatu saat nanti,” ucapan motivasi ini selalu menjadi ingatan bagi murid-murid SMP Mereka tersebut.

Nurmas salah satu murid SMP Merdeka pada LintasGAYo.co mengatakan sangat senang dengan kehadiran ibu Nurmalinda dan Pak Risky yang selalu sabar mendidik anak anak di SMP Merdeka.

“Meskipun status meraka hanya relawan kami belajar tak hanya di sekolah saja sebutnya bahkan ketika pulang sekolah kami datang ke mess guru untuk belajar,” ungkapnya.

Nurmalida dan Risky merupakan Guru Relawan yang di gaji melalui sumbangan Donatur di Facebook (fb), yang di garap oleh Edi Fadil. Mereka menerma upah sebesar Rp1,9 Juta/bulan dan ini telah berlangsung hampir dua tahun.

Memang, jika hitungan penghasilan Rp1,9 Juta itu lumayan besar. Namun, jika kita bayangkan, apakah uang sebesar ini cukup, sedangkan Nur dan Risky harus merogoh kocek Rp100/hari untuk bolak-balik Kuala Simpang-Simpang Jernih?

Hanya doa yang bisa kita panjatkan, semoga donatur fb terus bersedia menyumbangkan sedikit rezekinya supaya pendidikan Di SMP dan SMA merdeka tak terputus. Semoga!

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.