Fenomena Syaikh Fadhil

oleh

Oleh : Mirzan Marwazi* 

FENOMENA di dalam kamus bahasa Indonesia sering diartikan sebagai sebuah fakta atau realita; kejadian yang luar biasa; hal hal yang dapat disaksikan dengan pancaindra dan dapat dijelaskan secara ilmiah. Bagaimana kemudian kisah ini akan anda maknakan sebagai sebuah fenomana, saya kira itu kembali kepada subjektivitas anda sebagai pembaca. Bagi saya pribadi, tetaplah hal di bawah ini rasanya luar biasa, untuk dilihat secara kasat mata tentunya.

Saya tidak tahu, kapan Tgk. H. M. Fadhil Rahmi, Lc., mulai dipanggil Syaikh (baca:Syech). Namun menjelang Musyawarah Daerah KNPI akhir Juli 2017, panggilan ini seolah menjadi panggilan resmi ni. an khas bagi beliau, entah itu di forum resmi, atau bahkan di kedai kopi. Sebelumnya saya lebih senang memanggil beliau Bang Fadhil. Namun, biarlah ia mengalir apa adanya. Mungkin ini sebagai salah satu legitamasi atas beliau karena telah menjadi pucuk tertinggi Alumni Timur Tengah di Aceh dua periode terakhir.

Saya yakin, secara manusiawi Syaikh Fadhil bukan orang yang sempurna. Walaupun isteri beliau pernah mengatakan, “Jika terlahir sekali lagi dalam kehidupan selanjutnya, beliau tetap akan memilih Bang Fadhil sebagai suami.” Saya rasa di sinilah Syaikh Fadhil mampu mengambil profile kesempurnaan secara manusiawi; di dalam batas batas yang mampu ditampilkan seorang manusia.

Keluarga adalah lingkup terkecil, namun terpenting. Bagaimana Isteri Syaikh Fadhil kemudian harus mengarungi Negeri Dua Nil; Sudan, untuk menyelesaikan Disertasi doktoralnya, beliau turut membawa Mafaz, putera bungsu mereka sejauh ini. Syaikh Fadhil pun harus menjadi singgle parent bagi ketiga anaknya yang lain. Dengan segala beban orang tua yang anak anaknya masih kecil.

Di tengah kondisi seperti itu, muncul gagasan dari beberapa rekan-rekan aktivis, agar beliau mencalonkan diri menjadi salah satu kandidat Ketua KNPI Aceh. Sejauh yang saya ingat, kisah ini bermula tidak lebih 4 bulan sebelum MUSDA dilangsungkan. Tidak lebih.

Mulailah beliau menyusun strategi. Menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, baik organisasi kepemudaan dan perwakilan cabang. Beliau juga sowa  ke tokoh-tokoh penting di balik berbagai organisasi, mulai yang berwarna kuning, merah, hijau maupun biru. Saya sempat bertanya kepada beliau, apa modal yang membuat beliau pede ketika itu? Tegas beliau menjawab, “Komunikasi dan kedekatan emosional.” Saya menimpali, saat ini kita sudah masuk ke dalam realitas politik, bukan lagi retorika. Apa itu cukup? Saya ingat sekali dengan jawaban beliau, jawaban seorang yang sedang berjihad, bukan jawaban seorang “politikus,” “Setidaknya saya sudah mencoba mengambil peran ini dengan cara yang kita yakini benar.”

Suara demi suara dukungan secara lisan menghampiri Syaikh Fadhil. Bukan hanya dukungan, tetapi juga kesan yang mendalam, bahwa mereka seolah menemukan oase di tengah gurun sahara politik nan luas di negeri ini. Tidak ada jargon peu phep gop, semua beliau apresiasi. Artinya persaingan ini bukan hanya untuk menjadi nomor satu, tapi esensi yang lebih penting adalah sama sama membangun negeri.

Menjelang MUSDA, Syaikh Fadhil sama sekali tidak mengikat apapun dengan pemilik suara yang secara lisan mengucapkan dukungan. Walaupun ketika itu posisi beliau agak “oleng,” namun beliau teguh dengan jalan yang ditempuh. Komitmen keagamaan yang begitu kuat. Padahal beliau bukan orang yang rajin memakai peci, apalagi kain sarung. Di sini saya melihat sosok Syaikh Fadhil yang mau berjuang untuk Islam secara sutbtansial. Namun saya yakin beliau mengamini, bahwa simbol simbol kegamaan itu juga penting.

Pun begitu ketika beliau ditawari dana yang melimpah, sebagai bentuk sokongan modal dalam proses menuju KNPI 1. Beliau tetap menampik, beliau tidak ingin menorehkan dawat rupiah di jejak perjuangannya. Sekali lagi, bagi beliau ini adalah jihad politik. Sebuah proses sakral dalam membangun bangsa.

Menghadapi realitas ini, beliau hanya berujar, “Saya datang ke sini dengan niat memberikan rule mode politik yang benar. Bukan sekedar untuk menjadi orang nomor satu di KNPI. Kalaupun jalan ini masih terlalu terjal, kita bisa memilih jalan lain yang lebih landai. Artinya dakwah kita harus terus berjalan, dengan kapal apapun itu kita berlabuh.”

Maka pantas, ketika dinyatakan belum cukup suara untuk menjadi pemegang tampuk KNPI, ada beberapa senior yang bertanya, “Apakah Syaikh Fadhil masih yakin dengan jalan dakwah politik? Beliau menjawab, “Politik bukan satu satunya jalan dakwah. Tapi politik adalah salah satu jalan dakwah paling penting dan efesien. Membersihkan arena dakwah bukan hanya di mimbar ceramah, tapi bisa juga melalui kursi politik. Namun kita harus ingat, politik dakwah itu punya kualifikasi yang cukup berat, dan kita harus berjuang untuk itu. Kalau tidak, maka tidak disebut sebagai JIHAD.”

Sekarang saya kira Syaikh Fadhil sudah menjadi fenomena baru. Berbicara secara retorik tentang politik bersih, serta menerapkannya secara realitas. Duh, Andai saja saya punya satu hak suara, saya tentu akan memilih beliau. Bukan untuk pribadi Syaikh Fadhil, tapi agar politik bersih semakin hidup di sekitar kita. Mari tepuk dada, tanya nurani![]

*Mahasiswa Pascasarjana Universitas Malaysia

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.