I Serahen Ku Guru; Memaksimalkan Kerja Sama Pendidikan

oleh

Oleh Johansyah*

PROSES penyerahan peserta didik (i serahen ku guru) oleh orangtua kepada pihak sekolah, sebagaimana yang telah dilaksanakan di pesantren Maqamam Mahmuda pada hari senin (Lintasgayo.co, 18/07) adalah sebuah awal yang baik bagi pendidikan di Gayo. Penyerahan peserta didik secara adat Gayo ini sudah lama tenggelam seiring dengan muncul dan berkembangnya sistem pendidikan nasional. Menurut ceritanya, dulu para pendahulu kita tetap mengadakan akad secara resmi ketika mengantarkan anak mereka pada seorang Tengku atau guru untuk dididik.

Sekilas tidak ada yang istimewa dengan cara ini. Ketika orangtua mendaftarkan anaknya ke lembaga pendidikan tertentu, sebenarnya mereka telah menyerahkan si anak ke lembaga tersebut untuk di gembleng dan dididik. Apalagi biasanya, sekolah-sekolah yang sudah berkembang dan maju, meminta orangtua atau wali peserta didik untuk membaca terlebih dahulu beberapa ketetapan dan tata tertib sekolah yang harus dipatuhi. Jika orangtua keberatan, mereka dipersilahkan untuk memikirkan kembali dan dapat membatalkan pendaftaran anaknya ke sekolah tersebut.

Lalu apa istimewanya proses penyerahan peserta didik dengan akad yang jelas antara orangtua dan guru? Tentu istimewa. Keterikatan emosional dapat terjadi lebih dari sekedar hubungan antara sekolah dan keluarga, atau antara guru dan orangtua serta peserta didik. Ketika peserta didik diserahkan secara akad pada pihak sekolah, itu merupakan penyerahan tanggung jawab penuh orangtua kepada pihak sekolah. Guru dianggap bukan sekedar guru oleh peserta didik, tapi sama dengan orangtua dalam keluarga. Makanya, di samping penyerahan peserta didik kepada guru, orangtua sebelum dan sesudahnya harus menegaskan bahwa si anak harus mematuhi, menghormati, dan menganggap guru sama dengan orangtua mereka. Hal ini penting karena sangat berpengaruh pada cara berkomunikasi serta pembentukan karakter peserta didik.

Beberapa tahun terakhir, hubungan keluarga-sekolah dirasakan semakin renggang. Bahkan terkesan berlawanan. Tidak ada kerja sama yang harmonis antara keluarga dan sekolah. Salah satu penyebabnya adalah ketika tidak ada penyerahan tanggung jawab secara resmi dari keluarga ke sekolah. Celakanya, ketika ada sanksi di sekolah, banyak yang dianggap perilaku dan tindak kekerasan. Apalagi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Entah mungkin salah interpretasi, UU ini menjadi tembok penghalang yang menjauhkan keluarga dengan sekolah. Dalam banyak kasus pula UU ini dijadikan sebagai ‘ranjau’ untuk menjerat guru yang dianggap telah melakukan kekerasan terhadap anak. Dalam perkembangannya, terkesan ada perlindungan yang berlebihan terhadap anak. Anak yang salah tidak boleh disalahkan, bahkan dibela. Akibatnya, si anak bukan semakin berakhlak baik, tapi makin kurang ajar terhadap gurunya sendiri.

UU perlindungan anak sebagai produk nasional tentu sulit untuk dimansukh, tapi memungkinkan untuk dijinakkan. Salah satunya adalah dengan konsep pendidikan berbasis kearifan lokal seperti konsep i serahen ku guru. Hal paling penting dari konsep ini adalah adanya penyerahan tanggung jawab penuh kepada sekolah, dan tidak mencurigai guru sebagai pelaku kekerasan. Ketika (mungkin) ada tindakan berlebihan dari guru dalam menerapkan hukuman kepada peserta didik, maka langkah penyelesaiannya bukan ke ranah hukum, tapi ditempuh dengan cara kekeluargaan. Kecuali perilaku guru tersebut benar-benar melampaui batas kepatutan.

Dimaksimalkan

Proses i serahen ku guru diharapkan bukan sekedar penyerahan simbolis, namun dapat dimanfaatkan untuk membangun kerja sama pendidikan yang lebih berkualitas. Untuk itu, ada beberapa aspek yang menjadi catatan penting untuk dipertimbangkan. Pertama, pihak sekolah dan orangtua harus merumuskan secara bersama dan menyepakati tata tertib sekolah. Hal ini penting, sebab dalam proses perjalanannya nanti akan dihadapkan pada berbagai persoalan. Maka sebagai langkah antisipatif, harus ada kesepakatan bersama terutama terkait dengan sanksi pelanggaran tata tertib oleh peserta didik.

Hal yang dirumuskan adalah jenis pelanggaran dari tingkat kecil, sedang, dan berat, serta penetapan sanksinya. Mulai dari tahap, proses, dan bentuk sanksi, sampai keputusan bersama jika pelanggarannya sangat berat. Tata tertib untuk guru juga penting dirumuskan agar ada keseragaman dalam menjalankan dan menegakkan tata tertib sekolah. Jangan sampai sikap dan tindakan antara satu guru dengan guru lainnya berbeda. Tujuannya agar peserta didik tidak mengklasifikasi guru; ini guru kejam, itu guru baik.

Kesepakatan bersama ini sangat penting. Kalau tata tertib sekolah sudah dirumukan dan disepakati bersama, maka peluang untuk saling menyalahkan sangat kecil dan nyaris tidak ada celah sejauh ada komitmen yang kuat dari semua pihak. Sebelumnya, inilah yang banyak menjadi kendala. Tata tertib sekolah kebanyakan dibuat sepihak tanpa standar yang jelas, tidak ada proses sosialisasi kepada orangtua, dan minimnya komunikasi antara pihak sekolah dan keluarga. Akibatnya, banyak dari pola hukuman yang diterapkan sekolah kemudian berujung pada sikap kurang menerima dari orangtua, hingga di bawa ke ranah hukum dengan memanfaatkan UU perlindungan anak tadi.

Agar berjalan lebih maksimal lagi, maka langkah kedua yang ditempuh adalah membangun komunikasi yang rutin antara sekolah dan orangtua. Minimal sebulan sekali, dan bila memungkinkan seminggu sekali orangtua harus hadir  ke sekolah untuk membincangkan perkembangan anak mereka dari berbagai aspeknya. I serahen ku guru bukan berarti melimpahkan tanggung jawab pendidikan ke sekolah secara penuh tanpa keterlibatan orangtua sama sekali. Justru ini dimaksimalkan untuk membangun komunikasi dan kerja sama pendidikan yang lebih berkualitas. Maka salah satu item yang harus disepakati adalah bahwa orangtua bersedia hadir setiap bulannya guna membicarakan perkembangan anak mereka. Jadi, kehadiran orangtua ke sekolah bukan hanya di saat mengambil raport atau ketika anak membuat ulah.

Agar lebih kuat lagi, maka langkah ketiga yang harus ditempuh adalah pemerintah daerah (khusus Aceh Tengan dan Bener Meriah) perlu mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) terkait persoalan ini. Artinya proses i serahan ku guru dituangkan dalam bentuk peraturan resmi untuk dilaksanakan oleh semua lembaga dan jenjang pendidikan. Pesantren Maqamam Mahmuda telah mengawalinya, yang lain diharapkan bisa mengikutinya secara bertahap.

Konsep i serahen ku guru merupakan pendidikan kontekstual yang didasarkan atas nilai-nilai kearifan lokal. Saya yakin jika program ini dirumuskan dan diimplementasikan dengan baik, kelihatannya lebih memungkinkan dan maksimal dalam membentuk akhlak peserta didik. Karena apa? Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekeluargaan yang dilandasi nilai-nilai kearifan lokal, bukan pendekatan hukum yang terkadang selalu terkesan mencari kesalahan. Semoga ini menjadi awal yang baik dan menjadi salah satu alternatif pemecahan masalah pendidikan, terutama terkait dengan pembentukan akhlak peserta didik. Amin.[]

*Johansyah, Ketua STIT Al-Washliyah Aceh Tengah. Email: johan.arka@yahoo.co.id.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.