Megang dalam Masyarakat Gayo

oleh
Prosesi Nos Lepat Gayo. Foto. Salman Yoga S

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA

MEGANG merupakan tradisi umum dalam masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Gayo.

Karena puasa Ramadhan merupakan merupakan ibadah yang paling berat dirasakan secara fisik, maka masyarakat muslim dalam menyambutnya  penuh dengan persiapan baik itu persiapan makanan, alat-alat yang dibutuhkan ketika akan melaksanakan ibadah tarawih pada malam hari atau kebutuhan lainnya. Karena pada bulan Ramadhan masyarakat tidak mau terbebani dengan pekerjaan-pekerjaan yang berat.

Kebun-kebun yang dimiliki masyarakat biasanya sudah terlebih dahulu dibersihkan ketika menjelang datangnya bulan ramadhan, sehingga para pemilik kebun pada saat bulan Ramadhan tidak lagi bekerja keras. Demikian  juga dengan waktu bekerja, masyarakat sering memanfaatkan waktu bekerja pada bulan ramadhan setengah hari mulai dari pagi sampai siang dan setengah hari lagi digunakan untuk beristirahat dan mepersiapkan makanan untuk berbukan.

Jingki di Jamat Linge. (LGco_Sertalia)

Kerja Sama untuk Persiapan Megang

Masyarakat Gayo ketika belum banyak tersentuh oleh teknologi mempersiapkan bahan-bahan untuk pembuatan kue dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti lesung (lusung) dan jingki. Lesung digunakan untuk menumbuk (menghaluskan beras) tepung dalam jumlah yang sedikit, namun bila jumlahnya lebih banyak masyarakat biasa menggunakan jingki untuk menghaluskan beras menjadi tepung.

Lesung bisa dilakukan oleh satu orang dengan tidak memerlukan bantuan dari orang lain,  dengan cara meletakkan beras kedalam lesung dan menumbuknya kemudian setelah beras menjadi tepung mengayaknya untuk selanjutnya dibuat untuk kue. Sedangkan membuat tepung dengan jingki tidak bisa dilakukan sendiri dan harus dengan bantuan orang lain.

Banyaknya jumlah bahan yang harus di tumbuk menjadi tepung dan dibuat untuk makanan dalam rangkan  menyambut bulan Ramadhan (megang), maka  secara skeseluruhan masyarakat pasti menggunakan jingki, sedangkan jumlah jingki dalam satu kampung hanya ada satu, karenanya dalam menggunakannya masyarakat harus antrian. Antrian biasanya dimulai sejak selesai shalat subuh dan siapa yang duluan sampai ketempat jingki maka dia yang duluan memnggunakannya, bagi mereka pasangan (suami-isteri) yang masih muda atau mereka yang mempunyai anak masih kecil dan belum bisa membantu maka suami membantu menginjak jingki dan isteri menjaga berasa yang akan jadi tepung,  seterusnya antrian dilakukan sesuai dengan jadwal kedatangan tanpa harus mengambil nomor antrian. Tidak jarang diantara  satu keluarga dengan keluarga lain saling membantu dengan cara suka rela.

Prosesi Nos Lepat Gayo. Foto. Salaman Yoga S

Do’a dan Makanan Megang

Tepung yang sudah diproses dengan menggunakan lusung dan jingki oleh ibu-ibu dan anak gadis yang ada di rumah dibuat menjadi makanan khas Gayo yakni lepat yang merupakan makanan khas yang biasa dibuat dan disajikan dalam momen-momen penting keagamaan, seperti maulid Nabi, megang dan lebaran. Tidak kita dapatkan makanan ini pada waktu selain dari hari-hari yang disebutkan, dikecualikan pada kenduri/do,a kematian atau acara sakral lain namun untuk acara selain hari besar jumlahnya sedikit, tidak sama sebagaimana halnya pada momen hari besar Agama.

Lepat yang dibuat dalam jumlah yang banyak terkadang baru habis dimakan setelah sebulan, caranya biar lebih tahan lama lepat digantung (runten) di perapian dan ketika pagi sambil menunggu sajian makan pagi biasanya disuguhkan lepat yang sudah dipanaskan dengan api sekaligus dengan kopi. Untuk masyarakat Gayo kenikmatan lepat yang, sudah digantung diperapian mempunyai kenikmatan tersendiri.

Ketika tepung, kelapa, gula merah (dulu tidak dikenal adanya inti lepat dari gula putih) diremas dengan air gula merah lalu dibungkus dengan daun ada kepercayaan mistis di sebagian masyarakat bahwa diantara sekian banyaknya lepat maka harus ada satu lepat yang ukurannya lebih besar dan ini diisbathkan sebagai sarana do’a kepada Allah untuk kebahagiaan ruh leluhur yang sudah meninggal, kalau ini tidak dilakukan maka ada pengalaman sebagian orang kalau lepat yang dimasak tidak bisa matang.

Kemudian lepat dijadikan sebagai bagian dari sarana berdo’a (kenduri) ketika megang. Kenduri ini biasa dilakukan menjelang shalat maghrib pada hari terakhir menjelang puasa ramadhan esoknya, dalam kenduri berdo’a ini biasanya yang dido’akan adalah keselamatan dalam menjalankan sebulah puasa, dan agar seluruh dosa para pendahulu diampuni Allah, kuburannya diluaskan dan dimasukkan kedalam surga kelak pada hari qiamat.

Lepat dan bahan-bahannya. (foto : ist)

Selain dari lepat sarana berdo’a yang digunakan adalah serabi (apam), telor ayam kampung, pisang (pisang nur =Gayo), pop corn padi (bertih) ditambah dengan hidangan untuk makan yang lengkap sesuai dengan yang tersedia. Kesemua ini dijadikan sebagai sarana untuk berdo’a.

Setelah membaca istighfar, surat al-Fatihah, al-ikhlash, al-Falaq dan an-Nas dan berdo’a kepada Allah, semua anggota keluarga menikmati makanan yang telah disediakan. Makanan yang dihidangkan biasanya lebih lengkap, lebih bergiI dan lebih enak dari makanan-makanan di waktu yang lain. Karenanya untuk anak-anak acara seperti ini selalu ditunggu disamping sesuai selera anak-anak juga pada saat ini anak diberi kebebasan untuk menikmati makanan semaunya.

Setelah berdo’a dan makan bersama acara megang diakhiri dengan shalat maghrib berjamaah dengan posisi ayah sebagai imam dan ibu serta anak-anak menjadi jamaah, kemudian selanjutnya ayah memberi amanah kepada anggota keluarga supaya dalam menjalankan puasa Ramadhan dan shalat sunat tarawih harus betul-betul, karena hikmah yang dimiliki bulan Ramadhan melebihi bulan-bulan yang lain.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.