Produksi Melimpah, Harga Cabe di Gayo Terjun Bebas

oleh
Cabe Bies

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq *)

Cabe Bies

“Booming” harga cabe sekitar 3 bulan yang lalu, telah membuat animo petani untuk menanam komoditi ini melonjak drastis. Prinsip “latah” dalam melakukan aktifitas usaha tani, masih saja melekat pada diri petani, dimana harga komoditi melonjak, disitu petani ramai-ramai menanam komoditi tersebut. Kondisi seperti ini juga terjadi di Kabupaten Aceh Tengah, harga cabe yang sangat fantastis beberapa waktu yang lalu, membuat para petani di Gayo juga seakan berlomba untuk menanam komoditi “pedas” ini. Berdasarkan data statistic pertanian yang penulis peroleh dari Koordinator Sattistik Pertanian pada Dinas Pertanian, Adam Kamil, SP, dalam tiga bulan terakhir telah terjadi lonjakan tajam luas tanam cabe di kabupaten Aceh Tengah. Kalau pada bulan Desember 2016 yang lalu, luas tanam cabe di kabupaten ini hanya hektar, tapi sampai dengan akhir bulan Maret 2017 ini, luas tanam cabe melonjak drastic menjadi 307 hektar.

Akibatnya, ketika memasuki masa panen pada bulan April ini, terjadi over product panen cabe di daerah ini. Kondisi tersebut langsung berdampak pada penurunan harga komoditi ini, bukan hanya turun harga, tapi langsung “terjun bebas”. Cabe merah yang pada bulan Desember 2016 sampai Januari 2017 masih bertahan pada kisaran 40 sampai 50 ribu per kilogram di tingkat petani, kini merosot tajam menjadi hanya 5 ribu rupiah per kilogram. Sementara cabe rawit atau caplak yang semula bertengger pada level 50 sampai 60 ribu per kilogram, sekarang juga ikut terdevisiasi harga yang sangat tajam menjadi hanya 5 ribu per kilogram. Yang lebih parah tentu saja cabe hijau, tiga bulan lalu harganya masih bertahan pada kisaran 20 ribu rupiah per kilogramnya, sekarang di tingkat petani hanya dihargai seribu sampai dua ribu rupiah saja per kilogram, itupun sangat sulit mencari pembeli.

Sebenarnya ini bukan hal yang aneh, karena sampai saat ini pasar tetap menganut hukum suplly and demand. Ketika produk berkurang, sementara permintaan meningkat, secara otomatis harga akan melonjak. Begitu juga sebaliknya, ketika produk berlimpah tapi permintaan justru menurun, harga juga akan terkoreksi dengan sendirinya. Dan kondisi seperti inilah yang sedang terjadi pada petani cabe di Dataran Tinggi Gayo, meningkatnya luas tanam tanam akibat tergiur harga tinggi beberapa waktu yang lalu, menyebabkan produksi saat ini mengalami kelebihan sehingga tidak mampu tertampung oleh pasar. Tentu saja ini langsung berdampak pada anjloknya harga komoditi ini.

Simalakama bagi penyuluh pertanian

Melonjaknya lauas tanam cabe yang berdampak terjadinya over product cabe, mulai dikeluhkan oleh para petani. Dengan harga jual seperti saat ini, para petani nyaris tidak mampu menutup modal atau biaya produksi yang sudah dikeluarkannya, karena untuk melakukan usaha tani cabe, modal yang dibutuhkan cukup besar, mulai dari biaya pengolahan lahan, pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan serta mulsa, biaya perawatan sampai pengendalian hama dan penyakit tanaman, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Tapi dengan kondisi harga seperti saat ini, jangankan berharap untung, untuk bisa kembali modal saja terasa sulit.

Kondisi seperti ini akhirnya menjadi beban psikologis bagi para penyuluh pertanian yang bertugas di daerah ini. Di satu sisi, mereka dituntut untuk membina petani agar dapat meningkatkan produksi, tapi disisi lain penyuluh selalu mendengar keluhan petani ketika harga cabe merosot seperti sekarang ini. Sesuai tugas dan fungsinya, para penyuluh memang dituntut untuk membina petani agar mampu meningkatkan produktivitas usaha tani mereka, apalagi komoditi cabe juga merupakan komoditi prioritas dari pemerintah melalui Kementerian Pertanian. Seperti diketahui, sejak awal tahun 2016 yang lalu, Kementerian Pertanian telah meluncurkan program peningkatan swasembada pangan melalui upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung, kedele, bawang merah, cabe, sapid an tebu (Upsus Pajale Babe Sate) dimana cabe merupakan salah satu dari 7 komodtiti pertanian priroritas dalam program pemerintah tersebut.

Seperti yang di ungkapkan oleh Ismail, SP, penyuluh pertanian yang bertugas di BPP Pegasing. Hampir setiap hari dia menerima keluhan petani yang mengeluhkan turunnya harga cabe, padahal saat ini sebagian dari lahan cabe mereka sedang memasuki masa panen. Ismail tidak mampu berbuat apa-apa, karena masalah harga komoditi, sampai dengan saat ini memang masih dikendalikan oleh pedagang.

“Hampir setiap hari, saya dan teman-teman penyuluh menerima keluhan petani, rata-rata mereka mengeluhkan harga cabe yang merosot drastis ini, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena harga memang ditentukan oleh pasar, sementara kami tidak punya kewenangan untuk mengintervensi pasar” ungkap Ismail “Dari segi produksi, kami telah berhasil memotivasi petani untuk meningkatkan produktivitas hasil cabe mereka, tapi ketika harga jatuh seperti saat ini, kami jadi serba salah, kondisi saat ini kami seperti sedang makan buah simalakama” lanjutnya.

Ungkapan serupa juga diungkapkan oleh Sadarmi, penyuluh yang juga Kepala BPP Celala. Kalau Ismail hanya menerima keluhan petani, Sadrami bahkan ikut merasakan dampak merosotnya harga cabe ini. Sambil melakukan kegiatan penyuluhan kepada petani, Sadarmi juga ikut menanam cabe di lahan miliknya, nggak tanggung-tanggung, dia menanam cabe sekitar setengah hektar pada pertengahan bulan Januari 2017 lalu. Tapi begitu memasuki masa panen pada pertengahan Maret lalu, harga cabe mulai turun secara drastic, bahkan sekarang semakin anjlok.

“Awalnya saya menanam cabe untuk memberikan contoh bagi petani binaan saya, tapi karena saya kurang meperhatikan aspek pasar, akhirnya saya ikut menderita kerugian seperti yang dirasakan oleh para petani” ungkapnya.

Tapi Sadarmi punya cara sendiri agar hasil panen cabenya tidak mubazir, dia mempersilahkan tetangga, teman atau saudara-saudara yang membutuhkan cabe untuk kebutuhan dapur mereka untuk mengambil secara Cuma-Cuma dikebunnya,

“Daripada mubazir, ya lebih baik saya bagi-bagikan kepada tetangga, teman dan saudar-saudara saya, kalau bapak mau, silahkan datang ke kebun saya,” lanjut Sadarmi.

Tapi Sadarmi juga tidak menampik apa yang disampaikan oleh temannya, Ismail, kondisi saat ini memang menjadi simalakama baginya dan teman-teman penyuluh lainnya. Dia hanya bisa berharap, pihak-pihak terkait seperti Dinas Perdagangan, bisa memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan krusial yang sedang dihadapi oleh para petani. Meski demikian dia juga tetap berfikir relistis, pasar komoditi hortikultura yang daya simpannya terbatas memang sangat rumit, harga pasar saat ini bukan semata-mata ulah para pedagang pasar, tapi juga terkait dengan pihak luar, dimana sebagian besar produk pertanian kita memang mengandalkan pasar di luar daerah, karena kalau hanya untuk lingkup lokal, tentu saja produk dari petani ini tidak akan mampu terserap oleh pasar.

Langkah antisipasif

Menyikapi anjloknya harga cabe, bukan hanya di Dataran Tinggi Gayo saja, tapi hampir merata di seluruh daerah di Indonesia, sebenarnya sejak beberapa waktu yang lalu pihak Kementerian Pertanian telah mengupayakan penyerapan cabai petani melalui kerja sama dengan pihak industri untuk mengantisipasi potensi turun atau anjloknya harga cabe menjelang musim panen.

“Kami akan melakukan kerja sama dengan pelaku usaha pengolahan sektor hortikultura sehingga cabai hasil petani dapat langsung diserap industri,” kata Sekjen Kementerian Pertanian Hari Priyono, beberapa waktu yang lalu.

Semetara Dirjen Hortikultura Spudnik Sudjono mengatakan penyerapan cabai petani oleh pelaku usaha akan disokong oleh konsep kemitraan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Melalui kemitraan ini, Kementerian Pertanian berharap dapat terwujud agribisnis cabai yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Selain mengawal penyerapan cabai, Kementan juga akan mengusulkan penetapan harga pokok penjualan (HPP) cabe. Menurut Spudnik, kepastian harga penting agar petani tidak merugi. Spudnik menjelaskan penentuan HPP cabai menjadi krusial dengan potensi kelebihan produksi pada saat musim panen. HPP cabai diharapkan dapat melindungi petani dari kemungkinan harga anjlok.

“HPP wajar secara nasional Rp17 ribu sesuai dengan Permendag No. 63 yang merupakan harga dasar cabai. Kami akan memperjuangkan pada saat rapat dengan Kementerian Perdagangan tentang harus adanya HPP Cabai, kepastian harga penting sehingga petani tidak merugi,” ungkapnya.

Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR, Andi Akmal Pasluddin mengusulkan pemerintah untuk menetapkan batas harga pembelian cabai di tingkat petani.

“Saat panen raya, cabai harus dibeli oleh Bulog atau siapa saja ditunjuk oleh pemerintah dengan harga yang menguntungkan petani sehingga mereka tetap semangat menjadi petani,” ujar Akmal.

Apapun yang telah dan akan dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pertanian maupun DPR RI, sepertinya para petani cabe di Gayo hanya bisa bersabar menunggu kepastian tentang prospek pemasaran produk yang telah mereka hasilkan.

Salah satu langkah bijak untuk mengatasi over product komoditi cabe yang berdampak pada anjloknya harga cabe adalah dengan pengaturan jadwal tanam atau pola tanam bergilir, dimana luas tanam dibatasi setiap bulannya, sehingga kontinuitas produksi tetap terjaga, tetapi tidak sampai terjadi “ledakan” produksi. Seperti yang telah dilakukan oleh petani bawang merah di daerah Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat atau petani kentang di daerah Berastagi, Sumatera Utara. Hanya yang jadi pertanyaan, sudah siapkan petani kita untuk menerima aturan demikian?, karena prinsip “unung-unung” alias latah, sampai saat ini masih belum bisa dihilangkan dari pola fikir sebagian petani kita.

*) Kasi Metoda dan Informasi Pertanian pada Dinas Pertanian Aceh Tengah, penulis dan kontributor berita/artikel pertanian di berbagai media cetak dan online.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.