Mante Dalam Perspektif Arkeologi

oleh
Gua Umang di Lau Ganut, Tanah Karo. (Foto Ilustrasi)

Oleh : Ketut Wiradnyana

Ketut Wiradnyana. (Foto : LGco_Khalis)

MENGIKUTI berita yang menghebohkan di dunia maya berkaitan dengan tertangkapnya gambar dari kamera video berupa sosok mante yang berlari dan dikejar oleh sekelompok pencinta motor menjadikan diskusi yang tak henti-hentinya antara kelompok yang pro dan kontra terhadap keberadaan mahluk itu. Ingatan masyarakat akan keberadaan sosok mahluk tersebut kembali terkuak, dan kembali tokoh-tokoh yang dianggap pernah berjumpa dengan mahluk tersebut menjadi buah bibir. Mengingat begitu gencarnya pemberitaan itu menjadikan pemerintah daerah dan pemerintah pusat (mensos) menjadi ikut menanggapi permasalahan ini. Bahkan tidak jarang percakapan di media televisi menampilkan diskusi-diskusi yang khusu membahasa keberadaan mahluk mante tersebut.

Mante dalam masyarakat Aceh Tengah (Gayo) adalah sosok mahluk dengan tubuh kerdil yang memiliki telapak kaki yang terbalik, sehingga kalau berjalan akan terbalik jadi antara mata dan arah jalan berlawanan. Mante juga atau kerap disebut denga manti atau juga disebut dengan umang atau bunian oleh masyarakat Batak Toba atau Karo dengan ciri yang serupa. Keberadaan mahluk itu selalu diceritakan orang, dan kerap juga cerita ini bersumber dari cerita orang lain yang diceritakan kembali. Sangat jarang yang menceritakan itu adalah orang yang melihat langsung sosok mahluk tersebut.

Keberadaan mante atau umang dalam dunia arkeologi ditemukan pada pahatan Gua Umang di Sembahe, di Wilayah Budaya Karo. Gua Umang merupakan pahatan batuan padas yang dibentuk limasan, dengan bagian terpanjang 350 cm, lebar 550- 650 cm dan tinggi banguna limasan ini 275 cm. Pintu masuknya  persegi dengan ukuran 65 x 65 cm dengan hiasan pelipit. Pada bagian dalam ruangannya di pahatkan pelipit di setiap sudutnya, sehingga berkesan sebuah ruangan dari bangunan. Pada salah satu bagian dinding sisi luar limasan ini dipahatkan sosok manusia  dalam posisi tegak mengangkang. Seluruh tubuh dipahatkan lengkap dengan anggota badan.

Pahatan orang umang di Gua Umang, Sembahe

Keberadaan Gua Umang di Tanah Karo juga ditemukan di Desa Sarinembah Kecamatan Munte. Letaknya 10 meter dari permukaan tanah. Pintu masuknya berukuran 45 x 50 cm dan berhiaskan pelipit di selurh sisinya. Di bagian dalamnya dipahat berbentuk ruang yang agak lonjong. Panjang ruangan ini 230 cm dan bagian terlebar 150 cm dengan tinggi 85 cm.

Gua Umang di Sarinembah, Munte

Di Lau Ganut, Kampung Tanjung, Deli Serdang yang masih dalam wiayah budaya Karo juga ditemukan Gua Umang yang pada bagian depannya dipahatkan dua buah perahu yang mengapit pintu masuknya.

Gua Umang di Lau Ganut, Tanah Karo

Model pahatan yang membentuk sebuah gua itu di tempat lainnya dijumpai di Toraja, di Kalimantan Selatan jenis bangunan itu disebut tabela, Kalimantan Timur disebut lungun dan di Kalimantan Tengah disebut sandong. Keseluruhan bangunan dengan letak dan bentuk seperti Gua Umang itu fungsinya berkaitan dengan penguburan.

Pada masyarakat Karo dikenal juga wadah kubur yang disebut dengan Geriten. Geriten itu sendiri adalah kelanjutan dari sistem punguburan dinding batu (gua Umang). Bangunan ini dibuat dari kayu dan anyaman bambu dan dibentuk seperti halnya sebuah rumah adat dan pada bagian atasnya difungsikan sebagai tempat menyimpan tulang-belulang kerabat yang merupakan bentuk penguburan sekunder. Penguburan sekunder yaitu adanya penguburan kembali setelah si mati dikuburkan di dalam tanah. Penguburan kembali itu dapat berupa mengambil tulang-tulang si mati setelah dikubur dalam prosesi penguburan primer beberapa saat. Kemudian tulang dikumpulkan untuk dikubur kembali setelah adanya prosesi religi menyertainya. Atau dapat juga adanya pembongkaran kuburan primer untuk kemudian dilakukan prosesi religi. Hal itu mengisyaratkan bahwa tulang tidak diambil seluruhnya hanya saja bagian bagian yang dianggap penting saja. Atas analogi yang dilakukan pada masyarakat Karo dan Batak Toba di Sumatera Utara menunjukkan bahwa tulang yang dianggap penting adalah tulang anggota badan dan tengkorak (Wiradnyana 2011a,251). Konsep yang serupa seperti ini juga dilakukan masyarakat Gayo sebelum menganut  Agama Islam yang melakukan pembongkaran kuburan setelah mayat dikuburkan selama 7 hari dan ada anggapan bahwa setelah 44 hari roh itu barulah dianggap keluar dari perkampungan (Wiradnyana & Setiawan 2011,140; Bowen 1998,60). Hal ini dilakukan sebagai bagian dari religi yang dicoba untuk diterapkan yaitu dalam kaitannya dengan kepercayaan bahwa sebelum dilakukan penguburan kedua roh dianggap berada di sekitar tempat tinggal dan setelah dilakukan penguburan kedua maka roh dianggap keluar dari lingkungan orang yang masih hidup. untuk itu maka akan di bongkar kuburan tersebut untuk dilihat apakah mayat yang dikubur itu telah mulai membusuk atau hancur. Dengan membusuknya atau hancurnya mayat tersebut maka dianggap bahwa roh telah benar-benar meninggalkan tubuh si mati atau bahkan telah meninggalkan perkampungan.

Uraian tersebut jelas menggambarkan bahwa Orang Umang itu sendiri memiliki ciri yang sama dengan penyebutan masyarakat atas mahluk mante, manti atau juga  orang bunian. Bangunan (Gua Umang) yang dikaitkan dengan keberadaan orang umang itu memiliki kaitan dengan penguburan fungsi gua seperti itu juga ditemukan di banyak tempat di Indonesia.  Mengingat bangunan itu digunakan sebagai wadah penguburan sekunder maka didalam konsepsi religi prasejarah (megalitik) maka mahluk yang mendiami tubuh itu telah keluar dari perkampungan dan tinggal di luar perkampungan. Mengingat  konsepsi tersebut telah terkikis pada masyarakat Sumatera, maka diinterpretasikan mahluk tersebut sebagai sebuah mahluk yang sama dengan manusia, hidup dihutan, tidak bersosialisasi layaknya sifat manusia yang hakiki. Namun bagi masyarakat yang masih kental pengaruh religi prasejarah (megalitik) maka akan menganggap mahluk itu adalah sosok roh yang tinggal di dalam hutan. Jadi dalam ranah sosial masyarakat memandang sebuah fenomena mante itu akan berbeda. Arkeologi mengganggap mante itu adalah bagian dari tradisi megalitik yang berkaitan dengan konsepsi atas keberadaan roh dan dunia roh. Selain itu hingga kini belum ada bukti yang dapat dipertanggungjawabkan menyangkut keberadaan mahluk mante dengan segenap aktivitasnya yang ditemukan dalam ranah arkeologis.[]

Daftar Pustaka
Bowen, John, R.1998. Religions in Ptractice,an  Approach to The Anthropoloy of Religion.Wasington: Allyn & Bacon

Wiradnyana, Ketut. 2005.Gua Umang Kubur Dinding Batu di Tanah Karo, Indikasi Tradisi Megalitik. Dalam Berkala Arkeologi Sangkhakala No 16/ 2005. Medan: Balai Arkeologi Medan. Hal. 20-30

Wiradnyana, Ketut. 2011.Sistem Penguburan di Tanah Karo Dari Masa Prasejarah Hingga Kini”. Dalam Forum Arkeologi TH.XXIV No 3 November 2011. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar. Hal. 247-262

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.