Cerita Meja

oleh

[Cerpen]

Oleh; Sarami Naku

SETIAP meja punya ceritanya sendiri. Kusebut meja saja, rasa-rasanya tak harus kujelaskan detail meja yang kumaksud adalah meja yang terdiri dari beberapa bangku beraneka rupa. Bangku kayu dan meja kayu, akan kusebut meja bernomor. Begitupun untuk meja dengan tempat lesehan. Jadi, kiranya kau jangan terkecoh dengan meja bernomor yang kusebut-sebut nanti.

Perlu pula kujelaskan setiap pengunjung bebas memilih tempat untuk mereka duduki, ya layaknya cafe biasa. Memilih tempat duduk tanpa syarat apapun. Aku yakin yang terpenting bagi mereka adalah kapasitas dan kenyamanan. Mari ikut aku nak, akan kuceritakan sedikit tentang kejadian di meja-meja ini. Karena setiap meja punya cerita tersendiri.

Seperti meja ini, sambil pak Wen menunjukkan meja 34 ada cerita tentang kebahagiaan keluarga kecil. Memiliki 2 orang anak, si sulung perempuan dan bungsu laki-laki. Si bungsu dua kali lebih muda dari sulung, jumlah umur mereka 24 tahun. Dengan usia demikian, sang kakak harusnya sudah lebih mandiri untuk semua urusan. Namun tak demikian kenyataanya sang kakak bersikap hampir sama dengan sang adik. Kerapkali mereka bermain bersama. Tidak kenal permainan laki-laki dan perempuan. Si sulung yang mengikuti permainan adik atau adik yang mengikuti permainan sulung. Karena hanya mereka berdualah anak dari kedua orang tuanya.

Bagi mereka bermain bersama kadang menjadi suatu karunia kadang juga dianggap sebagai musibah. Si sulung sangat menginginkan seorang anggota keluarga baru yang juga perempuan. Begitupun sang adik mengidamkan anggota baru yang juga laki-laki. Asumsi mereka kehidupan akan lebih menyenangkan jika saja mereka memiliki anggota keluarga baru yang bisa menjadi teman bermain.

Lain lagi dengan cerita meja 22, meja ini seringnya di duduki oleh keluarga kecil yang punya 4 orang putri. Setiap kali duduk disini, mereka bercerita tentang peralatan make-up baru, resep baru, tentang setumpuk tugas kampus atau hasil ulangan yang kurang memuaskan. Semua cerita tertumpahkan di meja ini.Meski punya hobi yang berbeda, menurut cerita yang kudengar baik-baik saja. Namun kedua orang tua mereka sangat menginginkan anak lelaki sebagai pewaris keluarga.

Meja 33 punya cerita tentang keluarga yang di karuniai 3 orang anak, ketiganya laki-laki. Ibu seringkali dibuat pusing dengan ulah mereka. Si sulung pemerhati politik hingga acara yang ia sukai berkaitan dengan kekinian politik negri. Si tengah menyukai acara olahraga dan bungsu menyukai kartun. Televisi  satu-satunya yang dimiliki keluarga ini tak bisa mengabulkan keinginan mereka dalam satu waktu yang bersamaan ditambah keinginan ibu menonton acara kuliner dan resep makanan. Ayah seringkali hanya diam mengalah. Meja dan kursi nomor 33 ini menjadi saksi bisu cerita-cerita mereka. Satu hal yang seringkali dikeluhkan ibu harus selalu membereskan ruangan setelah mereka menonton, karena seringkali acara menonton ditutup dengan tumpukan sampah makanan atau peralatan yang berserakan. Tentu, keinginan sang ibu agar memiliki anak perempuan yang bisa menjadi teman berbagi.

Lain meja lain cerita. Meja yang ini, sambil pak Wen menunjuk satu angka yang bertuliskan 9. Meja ini punya cerita tentang anak muda yang sedang  dalam proses mengenal. Ada 3 orang duduk di meja ini suatu hari. Seorang anak muda dan 2 lainnya perempuan.Memang, dipintu masuk paling depan bapak tulis peringatan untuk tidak berduaan. Tak hanya tulisan, ternyata pelanggan paham benar dengan apa yang tertulis di depan sana.Sampai dimana cerita kita?

“Tentang seorang anak muda dan 2 anak perempuan pak” jawabku sambil menatap pak Wen.

“Oh ya,” sambil pak Wen menatapku berwibawa. Pertemuan sepasang anak muda yang akan menempuh hidup baru. Namun sebelum menaiki tangga baru mereka perlu mengenal antara satu dan lainnya. Karena menurut mereka menjalankan sesuatu yang suci harus menjankan proses yang suci pula. Mereka bercerita tentang kondisi keluarga dan kepribadi. Pertemuan mereka selesai ketika keduanya bersepakat menanyakan hal yang lebih lanjut kepada keluarga masing-masing. Tak lama berselang, kami telah terima undangan pernikahan mereka.Alhamdulillah.

Meja 7. Meja ini punya cerita menarik didatangi oleh 3 orang, seorang pemuda dan dua orang lainnya wanita. Cerita mereka hampir seperti meja 9. Gerak gerik  mereka tampak kaku dan malu-malu. Berharap akan ada undangan dari mereka. Enam bulan berlalu tak ada kabar. Kami sudah bisa memutuskan apa yang terjadi pada mereka.

Meja 3 lain ceritanya. Seorang laki-laki paruh baya duduk sendiri, sepertinya sedang menunggu seseorang. Berjalan 14 menit ia dihampiri seorang pemuda dengan kaos hitam bergambar telapak kaki. Pria paruh baya itu tersenyum. Sang lelaki yang baru datang tampak kaku, menyalami dengan takzim dan menggeser bangku persis si sebelah pria paruh baya itu. Duduk dengan hati-hati. Pria paruh baya itu bercerita tentang seorang wanita kepada sang lelaki yang baru tiba tadi, ia ceritakan detail tentang segalanya. Tentang kebiasaan sang gadis, sifat-sifatnya dan cara berkomuniksinya. Sang lelaki hanya diam mengangguk. Sesekali ditanyai pendapat hanya menjawab

“ya pak, ya pak”, dengan takzim.

Saya tidak pernah bertanya tentang cerita disetiap meja. Namun entah mengapa setiap kali akan meninggalkan tempat ini, mereka akan kemeja yang di samping kasir dan menitipkan kertas yang berisi cerita mereka. Ini bukan tradisi yang kubentuk, tak pula kusadari dimulai sejak kapan dan siapa yang memulai.

Angka disini tak beraturan sengaja disusun sedemikian rupa hanya ingin menjadikan tempat ini berbeda. Jika ingin menemukan nomor meja yang tepat dengan waktu yang cepat, setiap pengunjung harus memecahkan teka-teki penempatan angka-angka disetiap meja. Gunakan pola angka saja saranku. Setiap harinya kami akan menggratiskan pesanan untuk meja yang beruntung. Terang pak Wen menjelaskan konsep-konsep cafenya bersemangat.

Pernah suatu hari ada yang mengusulkan agar aku menambah beberapa meja kedepan sana yang persis di tepi danau Lut Tawar. Tapi perlu juga kupikirkan keuntungan dan kerugiannya dulu. Untuk kemajuan bisnis juga untuk keasrian danau ini.

Dengarkan sedikit nasehat dari orng tua ini nak, kita tidak seharusnya menyalahkan takdir orang lain yang Allah tentukan. Bukan karena Allah tidak adil, tapi mungkin usaha kita yang kurang maksimal. Bukankah usaha berbanding lurus dengan takdir yang Allah tetapkan? Jikapun tidak, sungguh Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita hambanya.

Kutahu sosok pak Wen selalu saja punya kesyukuran yang luas. Sebenarnya disetiap malam atau ketika subuh hampir tiba seringkali pak Wen duduk merenung di meja 7, 3 atau 9. Menduduki mejanya bergantian. Jika malam ini duduk di meja 3, subuh atau malam esoknya pak Wen akan duduk di meja 7 atau 9. Karena di ketiga meja itu ia akan bernostalgia dengan cerita-ceritanya. Berkenalan dengan seseorang di meja 7 hingga belum menemukan takdir yang diinginkan. Bulan berikutnya pak Wen menjalani cerita di meja 3 kemudian menemukan akhir cerita di meja 9. Sebulan berselang dari pertemuannya dengan seorang gadis itu, pak Wen melangsungkan pernikahan.

Hari-hari bahagia dijalani pak Wen setelah pernikahannya, siapa yang tidak bahagia dengan kehidupan baru, memiliki istri yang cantik akhlaknya dan  menyejukkan hati.

Namun hal ini tak berlangsung lama hingga kejadian memilukan itu terjadi. Kecelakaan hebat yang merenggut nyawa istri dan calon anaknya membuat pak Wen kehilangan senyum. Pak Wen kini hidup sendiri. Berpuluh tahun telah berlalu. Pak Wen masih saja hidup sendiri. Pernah kutanya tidakkah ada keinginan pak Wen untuk memulai kehidupan baru.

“Aku ingin memiliki cinta layaknya batang pisang yang hanya akan berbuah sekali saja” kata Pak Wen.[SY]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.