Melawan Korupsi

oleh
Slogan Perangi Narkoba dan Stop Korupsi.(Ilustrasi foto: www.satbrimobpoldasumut.com)

Saradi Wantona*

PRAKTEK korupsi semakin masif dan terstruktur dalam tata pemerintahan kita. Tidak ada yang  bebas dari korupsi, bahkan institusi seagung mahkamah konstitusi pun harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika itu dijabat oleh Akil Mohktar 2008-2013. Akil dinyatakan bersalah atas jual beli kasus perkara pilkada yang ditanganinya dan dijatuhi vonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi Jakarta (Kompas /2014/06/30). Meskipun, Tahun 2015 Akil mengajukan permohonan kasasi dan ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Penolakan tersebut didasari Akil sebagai Pejabat negara di level tertinggi di lembaga penegak hukum di Indonesia. Kasus Akil juga adalah yang pertama kali dalam sejarah konstitusi di Indonesia sejak dibentuk tahun 2003.

Jika Akil tersohor karena kasus jual beli pilkadanya di berbagai  provinsi di Indonesia. Aceh menjadi pembeda karena melahirkan program populis dan tokoh populer. Bahkan, provinsi ini menyumbang angka termiskin di Sumatera. Praktek korupsi juga tidak kalah populer karena termasuk provinsi terkorup di Sumatera tahun 2014. Ini menjadi preseden buruk bagi bumi Serambi Mekkah. Aceh jatuh miskin bukan karena tidak adanya terobosan dalam perbaikan ekonomi, melainkan praktek korupsinya yang menggurita.

Maraknya praktek korupsi dianggap sebagai faktor yang menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran. Hal ini bisa dilihat dari data Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Pada tahun 2014 yang menempatkan Aceh sebagai provinsi terkorup se-Sumatera. Dirilis berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dari tahun 2009-2013 yang merugikan negara sebesar Rp 10,3 triliun dari 2.399 kasus (aceh.tribunnews.com/2014/03/01/f). Tahun 2015 Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh merilis laporannya sebanyak 27 kasus dugaan korupsi dengan nilai kerugian mencapai Rp 885,8 miliar yang meningkat dibandingkan tahun 2014 sebesar Rp 500 miliar (aceh.tribunnews.com/2016/01/04/). Sebanding dengan proses penyidikannya sejumlah kasus dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi sejak 2007-2015 yang dirilis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), sebanyak 29 kasus mangkrak yang belum juga ada perkembangan status (aceh.tribunnews.com/2016/05/12/).

Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011-2015 Abraham Samad pernah mengatakan, jika tidak ada lagi prilaku korupsi di negara ini pendapatan masyarakat bisa mencapai Rp 30 juta/bulan  atau setara dengan Rp 15 triliun pertahun dari hasil pembayaran royalti Minyak dan Gas Bumi (m.tempo.co /2013/10/21/). Dan hasil pendapatan ini masih pada sektor energi saja. Tentu jika sektor – sektor lain yang bebas dari praktek korupsi kemungkinan besar bisa bertambah lagi.

Kembali ke Aceh. Lantas masih adakah harapan untuk membebaskan diri dari belenggu praktek korupsi di institusi pemerintahan? meskipun sulit, harapan masih tetap ada dengan menyatakan “perang melawan korupsi” yang berkutat pada hati nurani, kejujuran, keadilan dan kebenaran. Karena jelas praktek korupsi berdampak pada semua sendi – sendi kehidupan kita. Jadi tidak ada pembenaran terhadap korupsi yang tidak lagi dianggap sebagai kejahatan biasa melainkan menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Korupsi adalah penyakit akut yang akan menggilas dan melahap apa yang kita punya. Prilaku korup tidak hanya melembaga pada tatanan institusi pemerintahan saja  melainkan sudah mengakar rumput dalam kehidupan sehari – hari. Jadi praktek korupsi itu sudah membudaya pada nilai – nilai kehidupan kita.

Jika demikian, korupsi memang malapetaka dan ancaman yang harus dilawan dengan segala bentuk apapun. Jika dalam sebuah negara masih berlangsungnya praktek korupsi, sebenarnya itu adalah representasi dari wajah masyarakatnya sendiri. Kita belum bergerak membangun kesadaran untuk benar – benar menolak semua tindakan korupsi, baik itu suap, membangun dinasti politik  dan lain sebagainya dengan tujuan memperkaya diri sendiri, golongan dan kelompok. Membangun integritas adalah prinsip yang tidak bisa ditawar. Integritas akan terwujud jika dalam diri seseorang sudah ditanamkan nilai – nilai kejujuran dari sejak dini, baik dalam keluarga, lembaga pendidikan dan di manapun.

Sederhananya, bagaimana mengukur dan menentukan hakikat kepribadian seorang, kelompok, dan bangsa dari nilai kejujurannya, keadilannya, dan kebenarannya, yang hakiki dipertahankan, dipelihara, menjadi contoh dalam kehidupan nyata. Dimulai dari diri sendiri dengan menolak dan berperang melawan korupsi. Hal tersebut sudah menjadi bagian dari perjuangan. Penolakan terhadap korupsi menjadi keharusan, yang tidak bisa dikompromikan.

Momentum Pilkada Aceh

Menjelang pemilihan kepala daerah 2017, berbagai atribut telah tersaji di media massa. Baliho dan Foto calon kandidat terpampang di mana – mana untuk memproleh kepercayaan, dukungan publik, dan dipilih saat pencoblosan. Inilah momentum dalam bersikap dan menentukan pilihan terhadap pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota di saat hari pencoblosan. Nasib 5 juta masyarakat Aceh secara politik-ekonomi (baca: pemerintah dan rakyat) akan ditentukan oleh pasangan calon yang akan terpilih. Kepekaan masyarakat adalah kunci dalam melihat jejak rekam para calon kandidat. Melalui program kerja yang ditawarkan selama lima tahun yang akan datang. Hampir dipastikan para kandidat mencantumkan visi dan misinya “mewujudkan pemerintahan yang transparan dan bersih (good governance). Meskipun, pola visi – misi anti korupsi terus berulang diwacanakan, korupsi pun masih berlanjut dan tetap eksis.

Iklim politik dalam menentukan pemerintahan yang sehat justru agak terlambat dalam merespon maraknya praktek korupsi. Lebih – lebih ketika Aceh sudah ditetapkan daerah binaan KPK dalam upaya preventif penanggulangan tindak pidana korupsi.  Ini menjadi ironi, yang telah membuktikan kenyataaan buruknya tata kelola pemerintahan di Aceh melalui beberapa laporan kasus yang timbul tenggelam saat diproses di lembaga penegak hukum.

Publik tentu menaruh harapan besar pada helatan pemilu tahun depan. Mencari kepala daerah yang komitmen dan mampu mewujudkan pemerintahan yang bersih dari segala bentuk praktek korupsi. Tidak hanya sebatas retorika saat kampanye. Tetapi juga, harus merekonstruksi ulang sistem pemerintahan dengan melahirkan kebijakan yang visoner. Menyelasaikan masalah korupsi, dan merawat perdamaian yang telah kita lalui ini.!

*Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi -Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi dan Manusia Institut Pertanian Bogor.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.