Pesantren Nurul Islam, Tempat Nyaman Untuk Menempa Iman

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Aktivitas Santri Ponpes Nurul Islam
Aktivitas Santri Ponpes Nurul Islam

Pondok pesantren sebagai lembga pendidikan agama, sudah sangat lama sekali berkembang di Indonesia, menurut berbagai catatan, pondok pesantren mulai tumbuh dan berkembang sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara pada abad ke 8 Masehi. Pada waktu itu pendirian pesantren bertujuan untuk mendidik para mubaligh yang akan kemudian diberi tugas untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai daerah. Itulah sebabnya materi pembelajaran di pesantren dititik beratkan pada pembelajaran akidah dan pengenalan agama Islam. Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian pesantren mulai berkembang di berbagai daerah baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa, namun demikian perkembangan pesantren di pulau Jawa relative lebih pesat karena para penyebar agama Islam yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, memang mesusatkan penyebaran ajaran Islam di pulau yang terbanyak penduduknya ini.

Dari awalnya sebagai tempat menggembleng para mubaligh, kemudian pola pendidikan pesantren mulai bergeser menjadi pusat pembelajaran seluruh aspek agama Islam, dan kitab-kitab yang memuat berbagai hal tentang Islam yang ditulis para ulama pada awal-awal berkembangnya Agama Islam atau yang kemudian dikenal dengan sebutan Kitab Kuning, kemudian menjadi kurikulum utama pada pondok pesantren. Pesantren dengan pola ini kemudian dikenal sebagai pesantren tradisional, karena memang masih mempertahankan pola klasik dalam proses belajar mengajarnya. Kurikulum yang hanya berisi pelajaran agama dari kitab kuning, memang mampu melahirkan santri-santri yang kemudian pada masa dewasanya dikenal sebagai kyai atau ulama yang mengusai hampir seluruh aspek ajaran islam. Pondok pesantren pulalah yang akhirnya melahirkan ulama-ulama kharismatik yang disegani dan dikenang sepanjang sejarah.

Pada masa penjajahan kolonila Belanda, Ummat Islam nyaris tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal, namun keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan tetap diakui keberadaannya, bahkan pada waktu itu, lembaga pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang nyaris “steril” dari pengaruh bangsa penjajah, karena para penjajah tidak berani masuk terlalu jauh untuk mencampuri urusan internal pesantren.Kebutuhan akan pendidikan umum, mulai dirasakan oleh ummat Islam di negeri ini, sementara peluang untuk memperoleh pendidikan umum sangat kecil. Inilah yang kemudian menjadi “embryo” lahirnya pondok pesantren modern pertama di Indonesia.

Pondok pesantren Darussalam yang berlokasi di Desa Gontor, Ponorogo, awalnya juga merupakan pesantren tradisional yang sudah berdiri sejak tahun 1760. Tapi kemudian dikembangkan sebagai lembaga pendidikan dengan konsep modern, yaitu memadukan pendidikan agama dengan pendidikan umum, untuk mensyiasati agar generasi muda Islam juga punya kesempatan memperoleh pendidikan umum meski mereka hanya belajar di pesantren. Para pengasuh pesantren yang terdiri dari KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie dan KH Imam Zarkasyi, akhirnya resmi menjadikan pondok pesantren Darussalam menjadi pesantren modern pertama di Indonesia pada tanggal 20 September 1926. Dan sejak saat itu Pondok Pesantren Gontor mulai melahirkan santri-santri yang tidak saja mengusai berbagai ilmu agama, tapi juga mengusai berbagai disiplin ilmu modern.

Memasuki masa kemerdekaan, pertumbuhan pondok pesantren modern semakin pesat, hampir di semua daerah mulai berdiri pesantren modern, namun demikian keberadaan pesantren tradisional juga masih terus dipertahankan. Kementerian Agama yang lahir pada 3 Januari 1946, kemudian melegitimasi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan resmi yang para alumninya memiliki kesetaraan dengan lulusan sekolah umum. Kurikulum madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah (dasar), Tsanawiyah (menengah pertama) dan Aliyah (menengah atas) kemudian menjadi kurikulum pendidikan umum yang diadopsi oleh pesantren modern atau pesantren terpadu. Sementara pendidikan agama dengan fokus pembelajaran pada kitab kuning, juga tetap dipertahankan sebagai cirri khas pendidikan di pesantren. Dengan pola tersebut para santri akan memperoleh dua keuntungan sekaligus, yaitu pengetahuan umum yang diakui legalitasnya oleh pemerintah dan pengetahuan agama yang mumpuni, sebagai bekal terjun ke masyarakat untuk menyiarkan agama.

Pesentren Nurul IslamBelakangan terbukti, bahwa keberadaan pesantren terpadu sebagai lembaga pendidikan semakin diakui eksistensinya di tengah masyarakat. Apalagi ditengah maraknya dampak global dari perkembangan teknologi informasi saat ini juga mempengaruhi moral dari generasi muda. Dan lembaga pendidikan berbasis agama seperti pesantren ini bisa menjadi “filter” terhadap pengaruh negatif perkembangan zaman. Sistim pendidikan yang menekakankan pemahaman akidah dan pembentukan akhlak yang diterapkan di pesantren, benar-benar dapat menjadi “tameng” untuk menangkis pengaruh negatif dari luar. Bahkan menyekolahkan anak di pesantren, kini nyaris sudah menjadi tren di kalangan para orang tua.

Pesantren Terpadu Nurul Islam

Aceh sebagai wilayah di nusantara yang pertama kali menerima kehadiran agama Islam, juga tidak dapat dilepaskan dengan sejarah perkembangan pesantren di Indonesia. Bahkan beberapa orang wali dari Sembilan wali penyebar agama Islam di nusantara juga berasal dari derah ini. Sebelum mereka berangkat ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam, terlebih dahulu mereka digembleng di pesantren yang ada di Aceh yang waktu itu masih bernama kesultanan Pasai. Pesantren-pesantren yang ada di sepanjang pesisir utara dan selatan Aceh, merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren yang saat ini nyaris sudah berdiri di setiap penjuru provinsi yang kini sudah menerapkan syariat Islam tersebut.

Namun demikian, pertumbuhan pesantren modern atau pesantren terpadu di Aceh, boleh dibilang agak terlambat dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini terkait erat dengan prinsip para ulama Aceh atau yang dikenal dengan sebutan Tengku yang masih bersikukuh untuk mempertahankan keberadaan pesantren tradisonal atau yang dikenal dengan sebutan Dayah, karena sebagian dari mereka berpendapat bahwa urusan agama tidak boleh dicampur adukkan dengan urusan dunia. Namun kebutuhan akan lembaga pendidikan pesantren yang memiliki legalitas bagi para alumninya, membuat sebagian besar pengelola pesantren di Aceh mulai merombak kurikulum pesantren menjadi lembaga pendidikan modern tanpa menghilangkan identitas agama.

Dampak negatif dari perkembangan tekn0logi juga tidak luput mempengaruhi anak-anak usia sekolah yang ada di bumi Serambi Mekkah ini, karena arus informasi memang tidak bisa dibendung oleh siapapun. Kekhawatiran para orang tua akan perkembangan akhlak putra putri mereka, membuat banyak kalangan orang tua yang kemudian memilih lembaga pesantren sebagai tempat pendidikan bagi putra putri mereka, karena mereka yakin bahwa pola pendidikan di pesantren mampu menangkal pengaruh negatif pada anak-anak mereka.

Dataran Tinggi Gayo merupakan bagian dari provinsi Aceh yang memiliki karakteristik dan kultur yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat Aceh yang tinggal di daerah pesisir. Namun demikian nuansa Islami di daerah ini tetap terlihat kental karena ditopang oleh budaya, adat dan kearifan lokal yang memang bersumber dari ajaran Islam. Tapi dibandingkan dengan daerah pesisir, pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan pesantren di daerah ini, masih tergolong tertinggal. Akibatnya banyak putra-putri Gayo yang ingin menimba pendidikan ala pesantren, terpaksa harus keluar dari daerah.

Hal inilah yang kemudian menjadi keprihatinan sekaligus bahan pemikiran bagi seorang tokoh Gayo yang pernah menduduki beberapa jabatan strategis di pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. H. Wahab Rahmatsyah, nama tokoh tersebut, kemudian menggagas pendirian sebuah pesantren terpadu dengan manajemen modern di Dataran Tinggi Gayo. Daerah Blang Rakal yang merupakan lintasan utama jalur dari Bireuen menuju Datran Tinggi Gayo yang masih menyediakan banyak lahan yang memadai, kemudian menjadi pilihan Pak Wahab untuk merealisasikan “mimpi”nya. Tahun 1999, dimana situasi di Aceh mulai “memanas”, Pak Wahab mulai mewujudkan keinginannya membangun sebuah pesantren modern di daerah ini. Meski tantangan pada masa konflik cukup berat, seperti adanya ancaman, gangguan dan intimidasi kelompok-kelompok tertentu, namun itu semua tidak menyurutkan tekad beliau, Dengan dana yang dikeluarkan dari kantong pribadinya, hanya dalam tempo kurang dari satu tahun, beberapa bangunan cikal bakal pesantren termasuk sebuah masjid yang tergolong megah pada saat itu, telah berdiri di lahan bekas areal hutan pinus tersebut. Tidak kurang dari 2 Milyar rupiah dana yang dirogoh dari kantongnya untuk membangun sarana prasarana awal ini.

Tahun 2000, sebuah pesantren dengan bangunan yang nyaris lengkap berupa ruang kelas, asaraa putra dan putrid, perumahan guru/ustadz, aula dan sebuah masjid, resmi beroperasi. Tidak hanya menyediakan sarana dan prasarana saja, Pak Wahab juga sudah memikirkan para pengelola pesantren yang kemudian diberinya nama “Nurul Islam” itu. Menyadari bahwa beliau belum punya pengalaman mengelola pesantren, H Wahab kemudian “menggandeng” Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta untuk bekerjasama mengelola pesantren yang baru didirikannya itu. Pihak pesantren Darunnajah pun kemudian merelakan puluhan alumninya untuk bergabung dengan pesantren Nurul Islam baik sebagai tenaga pengajar maupun pengelola pesantren. Manajemen pengelolaan pesantren Darunnajah pun kemudian diadopsi di pesantren ini, karena beliau melihat manajemen di pesantren Darunnajah sudah sangat baik.

Pengalaman mengelola manajemen ketika beliau masih berkiprah di birokrasi, kemudian juga beliau aplikasikan dalam pengelolaan pesantren Nurul Islam. Dengan prinsip manajemen modern dan terbuka, kemudian beliau menyerahkan pengelolaan pesantren kepada Yayasan Pengembangan Sumber Daya Insani (YPSDI) yang dibentuknya pada tahun yang sama. Terobosan H Wahab mendapat antusias dari seluruh masyarakat Dataran Tinggi Gayo. Tahun 2000 yang merupakan tahun perdana penerimaan santri, langsung “dibanjiri” oleh ratusan peminat. Ini yang membuat H Wahab semakin optimis bahwa pesantren yang didirikannya akan segera maju dan berkembang. Prediksi beliau tidak meleset, dari tahun ke tahun, jumlah santri yang “mondok” di tempat ini nyaris tidak pernah surut jumlahnya.

Suasana nyaman dengan asrama dan tempat belajar yang cukup representatif, ditengah areal yang dikelilingi hijaunya hutan pinus yang melahirkan pemandangan indah, membuat para santri merasa betah untuk “nyantri” disini. Begitu juga dengan pola dan sistim pembelajaran yang terus meng update perkembangan zaman, membuat para santri yang mondok disini mampu menunjukkan prestasi terbaik mereka. Sudah tidak terhitung catatan prestasi para santri Nurul Islam di tingkat kabupaten, provinsi bahkan tingkat nasional baik di bidang akademis maupun dalam bidang seni dan olah raga. Pola pendidikan seimbang antara pendidikan umum dengan pendidikan agama, dan antara kegiatan akademis dengan kegiatan ekstra kulikuler, membuat para santri mampu mendulang berbagai prestasi, karena bakat dan kemampuan santri disini benar-benar diberikan ruang seluasnya untuk berkembang. Tidak mengherankan jika alumni dari pesantren ini kemudian mampu menembus erbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institus Pertanian Bogor, Universitas Sumatera Utara, Universitas Syiah Kuala, UIN Syarif Hidayatullah, UIN Sunan Kalijaga dan banyak lagi perguruan tinggi ternama lainnya.

Kini memasuki usianya yang ke 16, Pesantren Terpadu Nurul Islam, Blang Rakal yang kini masuk dalam wilayah kabupaten Bener Meriah, masih terus eksis mendidik para santri yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Ratusan alumni dari pesantren ini kini juga sudah berkiprah di berbagai profesi dan menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan beberapa diantranya kini berada di luar negeri seperti Mesir, Qatar dan Uni Emirat Arab. Namun yang lebih menggembirakan sang pendidiri pesantren, anyak diantara para alumni yang setelah menyelesaikan pendidikan tinggi mereka, kemudian kembali ke pesantren ini untuk ,mengabdikan diri bagi almamater mereka.

Berbagai fasilitas penunjang juga sudah banyak bertambah, baik yang berasal dari wakaf rutin H Wahab maupun bantuan pemerintah, membuat pesantren ini menjadi tempat yang nyaman untuk menggembleng keimanan dan akhlak generasi muda Islam di wilayah Dataran Tinggi Gayo ini. Satu hal yang juga membuat para orang tua santri merasa aman dan tenang menyekolahkan putra putri mereka disini, adalah pengolaan asrama maupun ruang belajar yang dari awal memang sudah di “setting” secara syar’i. Di pesantren ini antara santri putra dengan santri putri dipisahkan sedemikian rupa, baik asrama maupun ruang bejar mereka. Meski berada dalam satu komplek tapi nyaris tidak pernah terjadi interaksi individu antara santri putra dengan santri putri, ini tentu sangat baik untuk menjaga hal-hal negatif yang tidak diinginkan. Ketatnya peraturan di pesantren ini juga mampu melahirkan santri-santri yang meilki disiplin tinggi baik dalam belajar maupun dalam aktifitas ibadah. Jam belajar yang menyesuaikan dengan jadwal sholat, juga membuat para santri disini berlatih untuk menjalankan ibadah sholat tepat waktu. Menjelang adzan, kita dapat melihat ratusan santri dengan pakaian putih mereka, berduyun memasuki masjid dengan tertib, sungguh pemandangan yang sangat menyejukkan.

Lokasi pesantren yang tepat berada di pinggir jalan utama yang menghubungkan wilayah pesisir dengan bagian tengah Aceh, membuat pesantren ini mudah diakses dari berbagai penjuru. Suasana penuh kekeluargaan dengan setting lingkungan belajar dan asrama yang asri dengan latar belakang pemandangan khas pegunungan yang indah, benar-benar menjadikan pesantren Nurul Islam menjadi tempat yang nyaman untuk menempa akhlak dan keimanan para generasi muda di daerah ini. Beberapa ustadz dan utadzah alumni dari Pesantren Darunnajah dan beberapa pesantren di Jawa, juga merupakan jaminan bahwa pesantren ini adalah tempat yang tepat untuk menempa aqidah bagi para santri. Sementara keberadaan para guru alumni berbagai perguruan tinggi ternama, juga sekaligus menjadikan pesantren ini sebagai tempat yang representatif untuk menimba pengetahuan yang akan sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka kelak. Kehadiran pesantren Nurul Islam, tentu saja sebuah keuntungan luar biasa dan merupakan asset yang tidak ternilai bagi masyarakat Gayo. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.