Vote Film “Kutukan tak Bertuan” Minim, ada apa dengan Gayo?

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Kutukan tak BertuanPARA pengguna media sosial Facebook, khususnya yang berada di Dataran Tinggi Gayo yang sudah lama eksis di dunia maya, mungkin sering mengalami hal-hal menggelikan tapi juga mengesalkan, misalnya ketika kita menautkan sebuah artikel atau berita tentang sebuah peristiwa atau topik aktual dalam status di media sosial tersebut, tentu kita berharap teman-teman Facebook kita membuka dan membaca tautan tersebut sehingga “pesan” yang kita sampaikan lewat tautan tersebut, sampai ke teman-teman.

Terkadang juga kita sering dibuat geli atau bahkan kemudian berubah menjadi kesal dengan komentar-komentar pada status kita itu, ketika ada yang kemudian berkomentar “Yoh belangi di geh, isihen oya pak (Bagus sekali, dimana itu pak?)”, mau dijawab kok sepertinya mubazir, tidak dijawab juga dianggap meremehkan si empunya komentar.

Artinya si pengomentar sama sekali tidak membuka apalagi membaca tautan tersebut, hanya melihat judul dan gambar dalam tautan, langsung memberi komentar, padahal dalam tautan tersebut sudah tertera tentang apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana (5 W + 1 H) peristiwa aktual tersebut.

Begitu juga ketika kita menautkan artikel tentang sosok-sosok inspiratif, kemudian muncul komentar “Sahan oya pak? (Siapa itu pak?)”, lagi-lagi mungkin kita merasa terganggu dengan pertanyaan seperti itu, karena dalam tautan tersebut sudah dijelaskan panjang lebar tentang sosok dalam artikel tersebut.

Ketika kita menautkan artikel tentang kuliner, reaksi sebagian facebooker juga kurang lebih sama, sering kita temui komentar “Sedep di oya geh, kune cara nose pak? (Sedap sekali ya, bagaimana cara membuatnya pak?)”, tentu agak kesal juga dengan pertanyaan seperti itu, karena dalam tautan tersebut juga sudah dijelaskan bagaimana proses membuat kuliner tersebut.

Itu artinya sebagian facebooker sama sekali tidak pernah membuka dan membaca tautan tersebut. Dan komentar-komentar seperti itu sering muncul bukan saja dari masyarakat awam yang mungkin baru sekedar mengenal media social ini, tapi juga dari kalangan pejabat dan tokoh-tokoh penting, tentu ini sangat memprihatinkan.

Ada juga sebagian yang seolah-olah menunjukkan kepedulian mereka dengan cara me “like” tautan tersebut, padahal tidak pernah membaca tautan tersebut.

Bukan sekedar analisa atau dugaan semata, hal seperti itu sudah sering saya alami, ketika saya menautkan artikel-artikel saya yang sudah dimuat di media, responnya juga sangat minim, bahkan dari kalangan lingkungan kerja saya sendiri, padahal tema atau topik yang saya angkat, kebanyakan merupakan representasi dari aktifitas di lingkungan tempat kerja saya (lingkup pertanian, penyuluhan dan ketahanan pangan).

Respon bagus justru terkadang saya dapatkan dari “luar”, tapi mau bagaimana lagi, itulah kondisi riil kita pada saat ini, meski sudah banyak yang tau dan bisa menggunakan IT, namun masih banyak yang belum faham bagaimana memanfaatkannya.

Fenomena seperti itu yang kemudian saya tengarai terjadi pada Film Dokumenter “Kutukan Tak Bertuan”, sebuah karya fenomenal anak muda Gayo kreatif yang saat ini sedang bersaing dengan 4 film dokumenter lainnya untuk memperebutkan penghargaan “Eagle Award”.

Sebagai warga Gayo, kita tentu bangga dengan apa yang telah dicapai oleh Ariza Saputra dan Rahmi Rizqi yang sudah mampu menunjukkan kreativitas mereka dengan meloloskan karya mereka sebagai salah satu nominator dalam even bergengsi tersebut.

Tapi Ariza dan Rahmi tidak hanya butuh rasa simpati, tapi juga perlu dukungan kita semua untuk bisa meraih penghargaan yang tentu saja akan membewa nama harum Gayo ini.

Dukungan yang diminta Ariza pun nggak muluk-muluk, dia tidak butuh bantuan dana dari pemerintah atau para donatur, yang dia butuhkan hanya dukungan berupa “vote” pada link tentang film dokumenter itu.

Caranyapun sangat mudah, cukup “klik” tautan tersebut, kemudian setelah tautan terbuka tingggal klik kotak kecil bertuliskan “VOTE”, nggak butuh waktu lama, mungkin hanya beberapa detik saja. Dan supaya bisa lolos sebagai jawara, Ariza butuh vote sebanyak-banyaknya.

Sudah banyak teman-teman yang kemudian ikut menautkan link film dokumenter “Kutukan Tak Bertuan” tersebut di akun Facebook mereka, namun hasilnya masih cukup memprihatinkan, vote untuk Ariza dan Rahmi masih belum beranjak dari rangking 4 atau 3.

Keprihaianan ini pernah diungkapkan oleh Pak Muhammad Syukri melalui akun facebooknya beberapa waktu yang lalu, demikian juga Khalisuddin yang juga menutkan link ini melalui laman “GAYO”nya, meski sudah “nyinyir” lewat status di medsos, respon yang diharapkan juga masih relatif minim, baru pada kisaran 2 ribu sampai 3 ribuan vote. Padahal pengguna facebook di Dataran Tinggi Gayo yang diharapkan bisa menyumbang vote itu sudah mencapai puluhan ribu orang, begitu juga laman “GAYO” juga sudah memilki “Liker” lebih dari 10 ribu orang, tapi kenapa vote untuk Ariza masih minim dan belum signifikan?.

Saya kemudian berfikir tentang fenomena seperti di awal tulisan ini, ada dugaan saya, bahwa facebooker Gayo masih terpaku kepada kebiasaan “lama” yaitu sekedar melihat judul dan gambar tautan, tanpa pernah berkeinginan untuk meng “klik”nya. Bagaimana mungkin bisa menyumbang “vote” kali membuka link nya saja tidak mau.

Tapi itu hanya praduga saya, untuk membuktikannya tentu masih perlu investigasi atau interview lapangan lebih lanjut. Tapi meski hanya praduga (yang mungkin saja tidak benar), tetap saja butuh upaya lain agar vote untuk “Kutukan Tak Bertuan” terus melejit ke rangking pertama, misalnya dengan sosialisasi person to person, melalui kampus atau sekolah-sekolah atau melalui komunitas kita, tidak cukup dengan menautkan link ini lewat facebook, karena kalau hanya mengandalkan medsos ini, sudah kita lihat bersama, hasilnya masih minim, sepertinya cara-cara “manual” masih lebih efektif untuk kondisi saat ini, karena belum semua kita siap memasuki era “digital”.

“Memaksa” facebooker agar berlaku “cerdas” dalam berinternet juga bukan hal mudah, karena tingkat pemahaman orang terhadap IT sangat beragam, mulai dari yang baru sekedar mengenal, bisa menggunakan sampai yang benar-benar bisa memanfaatkan.

Untuk ketegori terakhir inilah yang jumlahnya saat ini masih minim, itulah yang kemudian saya tengarai sebagai salah satu penyebab minimnya dukungan vote untuk Ariza dari tanah kelahirannya sendiri, padahal bagi yang sudah faham, bisa mengirimkan vote berkali-kali, karena vote ini bisa di ulang setiap 24 jam sekali.

Hanya sekedar himbauan mungkin, seperti yang telah dilakukan teman teman lain, Ayo dukung film dokumenter “Kutukan Tak Bertuan” dengan vote kita, kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?. Inilah karya anak negeri Antara yang bakal mengharumkan nama Gayo, rasanya sangat naif kalau kita tidak mendukungnya, terlebih efek kemanusiaannya sangat kental, ada pesan miris dari para penyandang Kusta yang kehidupan sosialnya diasingkan.

Ayo dukung terus film karya anak Gayo Kutukan tak Bertuan dengan cara memberi vote di link ini : http://mobile.eagleinstitute.id/vote/detail/1

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.