Perubahan Struktur SKPK Tidak Merubah Tugas dan Fungsi Penyuluh Pertanian

oleh
ilustrasi penyuluhan pertanian di lapangan

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq.

AKTIFITAS penyuluhan pertanian sudah mulai diakui sebagai sebuah profesi sejak tahun 1905, ditandai dengan berdirinya Departemen Pertanian pada pemerintahan Hindia Belanda. Namun demikian pada saat itu peran penyuluh pertanian tidak lebih sebagai “alat” untuk membantu program tanam paksa yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sementara eksistensi penyuluh pertanian sebagai bagian penting dalam pembangunan pertanian di Indonesia dimulai pada tahun 1960, seiring dibukanya program study Penyuluhan Pertanian di beberapa Perguruan tinggi ternama seperti IPB dan UGM serta mulai didirikannya Sekolah Penyuluhan Pertanian Menegah Atas (SPPMA) di beberapa daerah di Indonesia.

ilustrasi penyuluhan pertanian di lapangan
ilustrasi penyuluhan pertanian di lapangan

Sementara di lingkungan Departemen Pertanian sendiri, pengakuan penyuluh pertanian sebagai sebuah profesi, baru terwujud pada tahun 1967 pada saat dibentuknya lembaga Bimas (Bimbingan Massal) yang mewadahi para penyuluh pertanian, dan sejak saat itu rekruitmen tenaga penyuluh pertanian dilakukan secara besar-besaran, karena keberadaan penyuluh pertanian mulai dibutuhkan untuk mendukung program pertanian di Indonesia. Berbeda dengan pegawai fungional lainnya seperti guru, dokter atau bidan yang sudah terlebih dahulu diakui eksistensinya, profesi penyuluh pertanian baru dimasukkan sebagai jabatan fungsional pada tahun 1976 (Totok Mardikanto, 2009). Pengelolaan manajemen dan administrasi kepegawaian bagi para penyuluh pertanian kemudian dikelola oleh Sekretariat Harian Bimas baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Namun demikian kelembagaan penyuluh pada saat itu belum berdiri sendiri, karena masih “menempel” pada instansi vertikal Departemen Pertanian, di tingkat provinsi Sekretariat Bimas menjadi bagian dari Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Pertanian dan di tingkat kebupaten/kota, Sekretariat Bimas merupakan bagian dari Dinas Pertanian.

Eksistensi penyuluh pertanian sebagai sebuah profesi dan jabatan fungsional yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian, kemudian di”kukuh”kan dengan lahirnya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistim Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dan sejak diimplementasikannya Undang Undang tersebut, para penyuluh pertanian seperti punya “rumah” sendiri, karena Undang Undang tersebut mengamanatkan adanya kelembagaan penyuluh mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai tingkat kecamatan. Namun demikian belum ada keseragaman dalam pembentukkan kelembagaan penyuluh di tiap daerah, ada yang berdiri sendiri sebagai Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) di tingkat provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan (Bappeluh) di tingkat kabupaten/kota, tapi banyak juga yang masih digabungkan dengan Badan atau Dinas lain seperti Badan Ketahanan Pangan dan Dinas Pertanian, tergantung dengan kondisi daerah, karena di era otonomi ini, kewenangan untuk membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjadi kewenangan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Untuk menyeragamkan kelembagaan penyuluh di daerah, kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 154 Tahun 2014 tentang Kelembagaan Penyuluh Pertanian. Namun demikian Perpres tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di semua daerah. Factor kebutuhan dan kondisi serta anggaran, kemudian mejadi alasan utamanya.Meski berada dalam wadah kelembagaan yang berbeda-beda, namun tugas dan fungsi penyuluh pertanian di semua daerah tetap mengacu kepada Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 yaitu, sebagai pendamping dan pembina petani. Demikian juga dengan hak kepegawaian penyuluh pertanian, tetap mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/7/2009 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Jadi sebenarnya perbedaan bentuk lembaga penyuluhan yang ada di daerah tidak mempengaruhi hak dan kewajiban penyuluh pertanian. Hanya saja dengan adanya kelembagaan penyuluh yang berdiri sendiri, akan lebih memudahkan koordinasi dalam pelaksanaan tugas mereka. Namun demikian, dimanapun para penyuluh itu bernaung, tugas dan fungsi mereka tidak akan berubah, artinya tugas kepenyuluhan itu tidak semata-mata tergantung kepada lembaga yang menaunginya tapi lebih kepada peran dan fungsi mereka.

Terbitnya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang merupakan penyempurnaan dari Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Pemerintah Daerah, secara subtansi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kinerja para penyuluh pertanian. Apalagi setelah “rekan” mereka yaitu penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan, kemudian “ditarik” ke pusat dan provinsi, otomatis penyuluh yang kini menjadi kewenangan daerah hanya penyuluh pertanian. Hanya saja polivalensi tugas penyuluh pertanian masih ditafsirkan berbeda-beda, misalnya dengan memisahkan penyuluh pertanian dengan penyuluh perkebunan dan penyuluh peternakan, padahal ketiganya dalam nomenklatur Kementerian Pertanian tetap disebut sebagai penyuluh pertanian. Kalau mengacu kepada UU Nomor 23 Tahun 2014 dan PP Nomor 18 Tahun 2016, sebenarnya masalah penyuluh pertanian masih masuk dalam satu urusan yaitu urusan pertanian, artinya ketika kemudian terjadi perampingan SKPD/SKPA/SKPK sebagai implementasi dari peraturan tersebut yang mengharuskan satu urusan (pertanian) cukup ditangani oleh satu instansi, maka secara otomatis, para penyuluh pertanian ini akan tunduk pada Dinas Pertanian.

Demikian juga dengan sub sektor perkebunan dan peternakan, karena masih merupakan bagian dari urusan pertanian, juga akan bernaung dalam satu dinas yaitu Dinas Pertanian. Dari sisi kepenyuluhan, tidak akan ada lagi perbedaan antara penyuluh pertanian, penyuluh perkebunan dan penyuluh peternakan, karena ketiganya masih berada dalam satu sektor yaitu pertanian, berbeda dengan penyuluh perikanan yang memang berinduk kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan serta penyuluh kehutanan yang yang secara struktural tunduk kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

ilustrasi pembinaan petani oleh penyuluh
ilustrasi pembinaan petani oleh penyuluh

Kalau kemudian muncul asumsi bahwa penyuluh pertanian akan kehilangan “rumah” dan urusan kepegawaian mereka akan sulit, tentu saja itu adalah asumsi yang salah. Penyuluh pertanian sama sekali tidak akan kehilangan lembaga tempat bernaung, hanya saja penyederhanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah sesuai amanat UU Nomor 23/2016 dan PP Nomor 18/2016, menyebabkan pengelolaan administrasi kepegawaian dan koordinasi pelaksanaan tugas mereka akan beralih dari Badan Penyuluhan ke Dinas Pertanian. Tidak ada yang berubah sebenarnya, karena penyuluh pertanian itu jabatan fungsional, hak kepangkatan dan kepegawaian mereka tetap mengacu kepada peraturan tentang jabatan fungsional yang sudah berlaku sebelumnya, hanya pengelolaannya saja yang berpindah tempat. Begitu juga dengan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) yang selama ini berada dibawah Badan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten, nantinya akan menjadi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya akan ditetapkan melalui Peraturan Daerah atau Qanun. Jadi ini hanya masalah administrasi saja, bukan masalah teknis, sehingga perubahan struktur SKPD sama sekali tidak akan menggangu tugas dan fungsi penyuluh pertanian sebagai pendamping dan pembina petani.

Ini penting untuk dijelaskan, supaya tidak terjadi “kegalauan” di kalangan penyuluh pertanian tentang nasib dan status kepegawaian mereka. Pengalaman sebelumnya sudah membuktikan, bahwa ketika mereka “diurus” oleh Seretariat Bimas, kemudian beralih ke Dinas lingkup Pertanian lalu bergabung dalam Badan Penyuluhan, status kepegawaian serta hak-hak kepegawaian mereka tidak berubah. Perubahan struktur SKPK yang akan terjadi pada tahun 2017 yang akan datang inipun  sama sekali tidak akan mengurangi hak dan kewajiban mereka, yang berubah hanya pusat koordinasi mereka saja. Jadi para penyuluh pertanian harus tetap fokus pada tugas pokok dan fungsi mereka, masalah perampingan struktur SKPK bukanlah urusan penyuluh. Undang Undang Nomor 23 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 sama sekali tidak menganulir Undang Undang Nomor 16 Tahun 206 yang selama ini menjadi payung hukum bagi para penyuluh pertanian, karena yang berubah hanya struktur kelembagaannya saja, bukan sistem penyuluhannya. Jadi para penyuluh tidak perlu berfikir dan berasumsi macam-macam, yang perlu menjadi prioritas kedepan adalah bagaimana para penyuluh pertanian, dengan peran mereka bisa mempercepat tercapainya peningkatan kesejahteraan petani, karena itulah tuga utama penyuluh pertanian.[]

*PNS di Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.