Menggugat Pemuda

oleh

Oleh Sutama Muhammad*

rps20161028_001624_738JIKA kita dapat kembali ke masa lalu, delapan puluh delapan tahun silam, tahun 1928. Dimana Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, Sukiman dan kawan-kawan nya berkumpul bersama menggagas dan memperjuangkan “politik utopia” nya atau seperti yang dikatakan Ben Anderson “berimajinasi bersama akan bangsa”, mungkin kita tidak bisa membayangkan ikrar Sumpah Pemuda sangat dirayakan oleh generasi-generasi mendatang. Sehingga pada tahun-tahun berikutnya semua tentang pemuda akan berkaitan dengan kata ‘perubahan’ yang didorong lewat gagasan-gagasan, kritik-kritik, imajinasi-imajinasi untuk merubah sejarah.

Ironisnya, imajinasi pemuda masa kini ialah menjadi kaya lalu berkeluarga, kemudian pelan-pelan mati dengan penyakit yang mudah diduga. Benar-benar sebuah gambaran normal yang wajar. Sebagai orang yang mengklaim dirinya kaum terpelajar, intelek, namun masa kuliah dilakukan dengan normal, datang ke kampus kemudian duduk, mendengar lalu pulang. Kelas tidak dipadati oleh debat. Kuliah hanya sekedar absensi saja, mengejar angka-angka dalam IPK, pergi kuliah hanya sekedar ingin gelar saja.

Kita terlalu me-Nuhan-kan prosedural namun mengesampingkan hal-hal yang substansial. Kita sering duduk bersama namun tak saling menyapa, saling berdekatan namun tidak berteguran. Pemuda masa kini lebih memilih membahas tentang game, menunduk melihat gadgetnya, beradu argumen tentang wanita. Miris rasanya melihat hal demikian.

Kita seolah sepakat dalam diam, sepakat untuk mengubah pemuda post-reformasi yang jauh dari akar revolusi, terperangkap oleh sikap hedonis, apatis, dan lainnya. Rasanya sebelum berimaji bersama akan bangsa, atau mengubah jalannya sejarah. Ada baiknya kita melakukan autokritik terlebih dahulu. Autokritik adalah hal-hal mendesak yang harus dilakukan. 

Jadilah mahasiswa seperti Soekarno meskipun iya mahasiswa Teknik ia tidak hanya sekedar membangun gedung-gedung, namun ia membangun jiwa-jiwa orang yang tertindas. Jadilah seperti Hatta meskipun ia mahasiwa Ekonomi, ia tidak hanya memikirkan bagaimana menjadi kaya sendiri di usia muda, namun menjadi kaya bersama lewat koperasinya.  Indonesia dibangun oleh pemuda-pemuda seperti tadi, ketika hari ini berseberangan, banyak kalangan menilai ini menjadi salahnya kebijakan Floating Mass Orde Baru, rezim Neolib, kapitalisasi pendidikan, Globalisasi atau istilah lainnya. Namun, kita tidak boleh hanya berhenti pada analisa realita saja, kita harus bergerak dan berupaya untuk mengubahnya.

Apabila Oktober 1928, para pemuda berikrar lewat “Sumpah Pemuda”, maka sebagai bentuk autokritik, momen “Sumpah Pemuda” Oktober 2016 perlu kiranya kita isi dengan menundukkan kepala merenungkan sikap kita serta menggugat diri sendiri selaku pemuda. Apa yang menyebabkan kita menjadi generasi yang ogah bicara sosial-politik seolah-olah bicaraan berat dan bukan ranahnya? Mengapa tak ada lagi imaji bersama akan bangsa? Mengapa kelas tidak padat oleh debat? Mengapa kita lebih mengejar prosedural daripada substansial? Jawaban-jawaban ini perlu direnungkan, dan digugat secara kolektif.

Sebagai pemuda yang berada dalam era post-reformasi kita masih memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan gerakan pembaharuan tetap sangatlah diperlukan. Terutama sebagai controlling of state implementation, sehingga keseimbangan negara dan kepentingan rakyat dapat terlaksana.

Jangan sampai dalam momen sumpah pemuda ini pemuda-pemuda yang harusnya menjadi  katalisator perubahan serta pembangunan berakhir menjadi “sampah” pemuda. Yang membuat pemuda-pemuda seperti Muhammad Yamin dan kawan-kawannya menangis dalam kuburan melihat sikap pemuda yang menjadi tidak peduli terhadap masa depan bangsa.[]

Takengon, 28 Oktober 2016

*Pemuda Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.