Gayo di Bali; Tak Ada Sarjana Tak Ada Pegawai, Semua Pengusaha

oleh
Win Wan Nur
Win Wan Nur

DALAM waktu cukup lama, ada semacam mitos yang beredar di Gayo bahwa orang Gayo tidak berbakat berdagang alias berbisnis. Karena itulah sektor perdagangan dan bisnis di Gayo dalam waktu cukup lama dikuasai oleh para pendatang dari luar.

Fakta ini kemudian diperkuat pula dengan kenyataan bahwa orang Gayo yang merantaupun rata-rata diketahui berkarir sebagai aparat pemerintahan, militer, polisi atau bekerja sebagai pegawai di perusahaan BUMN atau swasta.

Tapi mitos ini tidak berlaku bagi masyarakat Gayo yang mencari penghidupan di Bali.

Berbeda dengan perantau Gayo di daerah lain, di kota-kota pusat ekonomi maupun pendidikan di Indonesia yang umumnya datang ke tempatnya bermukim saat ini untuk menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal atau membawa ijazah untuk melamar kerja pada instansi pemerintah atau perusahaan, masyarakat Gayo di Bali umumnya datang dengan bekal pendidikan seadanya (rata-rata tamatan SMA) untuk bertarung dan bertahan hidup di pulau tujuan nomer satu untuk kunjungan wisata di Indonesia ini.

Sejarah keberadaan orang Gayo di Bali diawali oleh Isa Gutha, seorang pemuda asal Kenawat Lut yang bermukim di Bener Lampahan. Entah bagaimana caranya, sekitar paruh akhir tahun 80-an pemuda ini sampai di Bali lalu mencoba peruntungan dengan menjadi pedagang acung di pantai Kuta. Untuk ukuran pemuda yang baru datang dari Gayo, penghasilan yang didapat oleh tokoh masyarakat Gayo di Bali yang sekarang sudah almarhum ini cukup menggiurkan.

Terkait ini, cerita sekretaris Algaba (Asli Gayo Bali) Iskandar yang lebih dikenal dengan panggilan Marly kepada LG.co bisa menjadi gambaran.

“Saya sebenarnya punya cita-cita jadi tentara, dan sebenarnya saya sudah lulus tes”, kisah Marly ketika LG.co berkunjung ke tokonya di bilangan Sahadewa Legian. “Tapi sambil menunggu panggilan, saya main-main ke Bali dan bertemu bang Isa. Waktu itu saya membantu bang Isa berdagang kacamata di pantai Kuta, lalu sore hari kami mengumpulkan semua uang yang kami dapat hari itu dan dikurangi dengan modal”,kenang Marly yang meninggalkan Gayo setamat dari MTsN dan kemudian melanjutkan studi di Banyuwangi mengikuti Ama Kul-nya.

Urang Gayo di Bali
Urang Gayo di Bali

Marly masih ingat, waktu itu nilai uang terbesar masih 10 ribu rupiah, dia dan Bang Isa mengumpulkan dan memisah-misahkan uang itu. Setelah dikurangi modal.

“Ini gaji kamu sebulan, kalau kamu menjadi tentara”, kata Bang Isa waktu itu sembari memisahkan uang sebesar 65 ribu rupiah. “Dan ini jauh lebih banyak lagi sisanya, masih mau kamu jadi tentara”, lanjutnya. Keuntungan yang mereka dapatkan hari itu tiga kali lipat dari gaji bulanan seorang tentara. Hari itu mengubah hidup Marly selamanya. Sejak hari itu dia memutuskan untuk mengubah cita-citanya dari tentara dan memulai perjuangan di Bali. Keputusan yang kemudian sangat dia syukuri.

Setelah itu, satu per satu orang Gayo berdatangan ke Bali, dengan bimbingan dari orang Gayo yang sudah lebih dulu tinggal di Bali, satu per satu orang Gayo yang baru datang ini sukses memiliki usaha sendiri sampai kesuksesan seolah-olah identik dengan orang Gayo.

Karena Gayo identik dengan kesuksesan, sampai-sampai di sebuah kampung di Banyuwangi nyaris semua orang tua yang memiliki anak gadis di sana mendambakan untuk mendapat menantu pemuda Gayo.

Pada puncak kejayaan Gayo di Bali, ada sekitar seratusan orang Gayo yang mengadu nasib di pulau dewata ini.

Gayo di Bali telah membuktikan kalau Gayo tak bisa berdagang dan berbisnis benar-benar mitos yang tidak berdasar.[Win Wan Nur]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.