Perlukah Pelatihan Jurnalistik Bagi Penyuluh Pertanian?

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq*

Pelatihan jurnalistikGlobalisasi di semua sector kehidupan telah memacu peradaban manusia memasuki dunia informasi yang nyaris tanpa batas. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini, kebutuhan akan informasi saat ini sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat, tidak terkecuali di bidang pertanian. Informasi tentang aktifitas pembangunan pertanian pertanian yang disebarluaskan secara efektif melalui berbagai media, akan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian secara umum yang pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani. Tapi sayangnya peluang ini belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan oleh para praktisi, petugas teknis, penyuluh pertanian maupun aparat pertanian lainnya, utamanya yang berada di daerah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan para aparatur di bidang pertanian belum bisa mengoptimalkan peran mereka dalam peyebarluasan informasi atau melakukan publikasi pertanian melalui media. Pertama, kemauan menulis yang masih sangat lemah (willingness to write) akibat tidak adanya motivasi dari dalam diri aparat pertanian serta lemahnya sumber daya manusia aparatur pertanian. Kedua, banyak aparatur pertanian yang tidak memiliki basic maupun pengalaman jusnalistik dan tidak ada keinginan belajar tentang itu. Ketiga, kurangnya minat baca di kalangan aparatur pertanian, sehingga mereka tidak memiliki referensi yang memadai ketika akan memulai menulis. Keempat, masih sangat rendahnya apresiasi pemerintah daerah maupun pimpinan instansi kepada mereka yang sudah aktif dalam kegiatan publikasi di media, hal ini menyebabkan motivasi bagi aparatur pertanian untuk menulis menjadi rendah bahkan cenederung menimbulkan sikap apatais dan skeptis, mereka jadi beranggapan bahwa menulis di media itu tidak ada manfaatnya bagi mereka.

Pentingkanya publikasi pertanian ini pernah di ungkapkan oleh Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman dalam pertemuan dengan para Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) lingkup pertanian dari seluruh Indonesia di Pusat Pelatihan manajemen dan Kepemmempinan Pertanian (PPMKP) Ciawi, Bogor beberapa waktu yang lalu. Kepada semua peserta pertemuan tersebut, Menteri Pertanian menghimbau agar lebih mengefektifkan pemberitaan tentang berbagai aktifitas pertanian di media, karena akses informasi sudah menjadi kebutuhan masyarakat, agar mereka mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan oleh aparatur pertanian dalam pembangunan pertanian.

Menyahuti himbauan Menteri Pertanian tersebut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (balitbangtan), Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPPSDMP) dan Biro Humas Kemeterian Pertanian bekerjasama dengan Tabloid Sinar Tani, pada bulan Agustus 2016 yang baru lalu menggelar Pelatihan Jurnalistik Bagi Penyuluh Pertanian. Diluar dugaan, animo beberapa pemerintah kabupaten/kota untuk mengirimkan peserta mengikuti pelatihan jurnalistik ini sangat besar. Terbukti, kuota peserta untuk angkatan pertama, langsung habis begitu diumumkan di media, bahkan sampai ada calon peserta yang harus masuk dalam “daftar tunggu”, sampai akhirnya penyelenggara menggelar pelatihan angkatan kedua.

Begitu juga dengan antusias para peserta saat mengikuti pelatihan jurnalistik ini juga sangat besar. Para peserta jurnalistik yang terdiri dari para penyuluh pertanian yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia ini, begitu all out dalam mengikuti seluruh rangkaian pelatihan ini, bahkan mereka rela mengikuti pelatihan ini sampai larut malam. Rata-rata para penyuluh pertanian dari berbagai daerah ini memang difasilitasi oleh pemerintah daerah maupun instansi tempat mereka bekerja untuk mengikuti pelatihan yang merupakan bagian penting dari upaya mengoptimlakan penyebarluasan informasi pertanian ini.

Karena pelatihan ini murni swadaya, tidak menggunakan anggaran Kementerian Pertanian, maka panitia membebankan seluruh biaya pelatihan kepada daerah atau instansi asal peserta. Untuk pelatihan selama 4 hari penuh ini penyelenggara mematok biaya kontribusi sebesar Rp 4.000.000,- (Empat juta rupiah), biaya kontribusi sebesar itu sudah termasuk biaya akomodasi, konsumsi selama pelatihan dan materi dalam bentuk hard copy maupun soft copy serta fasilitasi kunjungan ke berbagai obyek liputan. Dibanding dengan manfaat yang akan diperoleh peserta maupuh daerah yang mengirimkannya, biasa sebesar itu masih tergolong sangat murah, karena satu peserta mungkin hanya akan menghabiskan sekitar tujuh jutaan rupiah, sudah termasuk biaya transport pulang pergi dari daerah asal mereka, bandingkan misalnya dengan biaya perjalanan dinas keluar daerah seorang pejabat eselon dua di kabupaten/kota yang sekali berjalan bisa menghabiskan dana 10 – 15 juta rupiah.

Dari 60 peserta pelatihan jurnalistik pertanian yang dibagi dalam dua angkatan tersebut, hampir semua daerah mulai dari wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara sampai Maluku mengirimkan peserta mereka, dari catatan panitia, hanya beberapa provinsi saja yang tidak mengirimkan peserta, salah satunya Aceh. Termasuk didalamnya kabupaten Aceh Tengah.

Sebagai seorang aparatur pertanian di kabupaten Aceh Tengah yang selama ini telah mencoba aktif menulis dan menyebarluaskan informasi seputar pertanian di Gayo, saya merasa prihatin, tidak ada satu penyuluh pertanianpun dari kabupaten Aceh Tengah yang mengikuti pelatihan ini. Alasannya cukup klasik, tidak ada biaya atau anggaran, dan memang kalau biaya transport dan biaya kontribusi untuk mengikuti pelatihan tersebut dibebankan kepada peserta secara individu, akan terasa berat. Tapi sebenarnya pemerintah kabupaten atau instansi yang menangani penyuluhan bisa mencarikan “jalan keluar” agar bisa mengirimkan satu dua orang penyuluh dari daerah ini untuk mengikuti pelatihan yang cukup urgen tersebut.

Seperti kita tau, bahwa setiap instansi punya alokasi anggaran perjalanan dinas ke luar daerah, dan seyogyanya sebagian kecil anggran perjalankan dinas itu bisa dimanfaatkan untuk memfasilitasi pengiriman penyuluh pertanian untuk mengikuti pelatihan tersebut. Tapi sayangnya “dogma” salah kaprah yang selama ini terus dipegang oleh para pimpinan instansi yang seolah-olah biaya perjalanan dinas ke luar daerah itu hanya “hak” pimpinan hanya pimpinan yang boleh menggunakan anggaran tersebut, menyebabkan upaya untuk mengirimkan para penyuluh mengikuti pelatihan keluar daerah jadi “mati kutu” atau kalau dalam bahasa Gayo disebut “dong edet”. Kalau pola seperti ini terus dipertahankan, sampai kapanpun upaya kita untuk membuka wawasan dan menambah pengetahuan serta keterampilan penyuluh keluar daerah, akan sulit terwujud. Apalagi kalau sampai ada anggapan bahwa pelatihan jurnalistik bagi penyuluh itu tidak penting, tentu akan semakin “jauh panggang dari api”.

Tapi bernarkah pelatihan jurnalistik bagi penyuluh pertanian itu tidak penting dan tidak perlu?, tentu jawabannya kembali kepada himbauan Menteri Pertanian tadi. Dari pengalaman saya menulis artikel maupun berita tentang pertanian di berbagai media baik media cetak maupun media online, ternyata dampak keterbukaan informasi di bidang pertanian ini sangat besar. Sebagai contoh, ketika saya menulis tentang sosok penyuluh yang punya inovasi memanfaatkan limbah buah-buahan menjadi pupuk organic cair beberapa waktu yang lalu, langsung mendapat respon dari salah satu broadcast nasional SCTV. Hanya beberapa hari saja tulisan tersebut dimuat di media, pihak SCTV langsung menyatakan minatnya untuk mengangkat tulisan tersebut ke layar kaca, dan dampaknya seluruh masyarakat Indonesia dapat mengetahui kreativitas penyuluh dari Gayo tersebut lewat tayangan televisi nasional. Begitu juga ketika saya mengangkat kiprah para petani dan penyuluh pertanian di Dataran Tinggi Gayo ke Tabloid Sinar Tani, semua pembaca tabloid yang umumnya dari kalangan pertanian di seluruh Indonesia jadi tau bahwa para petani dan penyuluh di Gayo itu kretaif dan inovatif. Begitu juga anggapan sebagain kalangan yang menganggap bahwa penyuluh pertanian tidak bekerja, seakan tertepis dengan adanya publikasi tentang mereka di berbagai media.

Dalam tulisan saya berjudul “Manfaat Menulis Bagi Penyuluh Pertanian” yang pernah dimuat di media ini beberapa waktu yang lalu, saya sudah menyampaikan bahwa menulis sangat bermanfaat dan menguntungkan bagi para penyuluh pertania, karena selain ilmu dan pengalamannya bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi orang lain, bahkan akan menjadi “catatan abadi” yang bisa dibaca semua orang ketika para penyuluh itu memasuki masa pensiun atau bahkan sudah meninggal dunia , menulis di media juga akan menghasilkan angka kredit signifikan yang tentu saja sangat menunjang peningkatan pangkat dan karir mereka, selain keuntungan “sampingan” berupa honor atau intensif dari media itu sendiri.

Kemampuan menulis seseorang sangat tergantung dari kemauan dan kebiasaan untuk menulis, karena kemampuan menulis tidak bisa dipelajari hanya secara teoritis. Dan untuk mengasah kemampuan menulis bagi seorang penyuluh pertanian, pelatihan jurnalistik bagi penyuluh pertanian seperti yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bersama Tabloid sinar Tani beberapa waktu yang lalu memang sangat bermanfaat. Karena dalam pelatihan ini, pesrta tidak melulu dijejali dengan teori tapi juga di ajak langsung untuk praktek melakukan liputan, reportase dan menulis di media, sehingga ketika mereka pulang ke daerah asal, mereka bisa angsung mempraktekkan hasil pelatihan ini.

Dalam konteks lokal Kabupaten Aceh Tengah, sebenarnya saya sudah lama menggagas untuk mengadakan semacam pelatihan jurnalistik bagi penyuluh pertanian yang ada di daerah ini, bahkan beberapa rekan media seperti bapak Muhammad Syukri, Khalisuddin, Bahtiar Gayo, Jurnalisa, Mahyadi, Khairul Akhyar dan yang lainnya sudah menyatakan kesediannya sebagai nara sumber. Tapi sayangnya, ketika wacana ini saya sampaikan kepada pimpinan instansi yang mengelola penyuluhan, nyaris tidak ada respon sama sekali. Untuk melaksanakannya secara swadaya, tentu saja saya masih terkendala dengan keterbatas finasial yang saya miliki, namun demikian saya tetap optimis, suatu saat “mimpi” saya ini akan terealisasi melihat besarnya dukungan moril dari luar instansi tempat saya bekerja. Meskipun ini hanya “obsesi” pribadi saya, tapi semua yang saya lakukan bukanlah untuk kepentingan pribadi saya, bahkan mungkin saya tidak bisa mengambil manfaat apapun dari pelatihan ini, tapi semata-mata demi kepentingan teman-teman penyuluh di Dataran Tinggi Gayo, apakah gayung ini akan bersambut? Wallahu a’lam bisshawab, hanya waktu yang akan menjawabnya.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.