Saatnya Membangun Aceh dari Masalah

oleh
Foto: Kru dan pendamping Jejak Petualang Trans 7 saat dalam perjalanan menuju Desa Lesten, Pining, Gayo LUes menggunakan alat transpotrasi warga setempat John Deere (dok. Diansyah)

Catatan : Darmawan Masri*

Darmawan MasriAceh merupakan salah satu Provinsi di Indonesia dengan 23 Kabupaten/Kota. Beribukota di Banda Aceh. Merujuk data BPS tahun 2015, jumlah penduduk Aceh mencapai 5 juta jiwa. Melihat potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah sudah selayaknya perekonomian masyarakat Aceh jauh lebih baik. Namun, kondisi itu berbanding terbalik. Tak dapat dipungkiri, masih banyak masyarakat Aceh yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Salah satu penyebabnya adalah ketimpangan pembangunan yang belum merata ke pelosok-pelosok. Kondisi inilah menjadi penyebab perekonomian warga sulit berkembang. Sama seperti pembangunan di Indonesia saat ini yang masih bertumpu di Pulau Jawa, kondisi Aceh tak jauh berbeda. Banyaknya Kabupaten/Kota mengharuskan Pemerintah Provinsi harus menerapkan langkah strategis dalam mengelola pola pembangunan di bumi Serambi Mekkah.

Pada era Pemerintahan Jokowi-JK, sebuah gebrakan pembangunan dilakukan. Pemerintah Pusat mulai mengembangkan langkah membangun Indonesia dari pinggiran, sehingga diharapkan ketertinggalan daerah pelosok akan berjalan sesuai dengan nawacita pemerintah. Sebagai contoh, pusat mulai membangun akses jalan di Indonesia paling timur, dengan membuka jalan Trans Papua sejauh 4.325 Km. Diharapkan, dengan selesainya jalan tersebut akan meningkatkan ekonomi masyarakat Papua. Terlebih, jalan ini bakal menekan harga-harga barang yang nilai jualnya sangat mahal di wilayah tersebut. Tanpa infrastruktur ini mustahil perkembangan ekonomi masyarakat dapat meningkat. Begitu juga di Indonesia Bagian Barat, Pusat mulai membangun ruas jalan tol Trans Sumatera, jalan ini nantinya akan sampai hingga ke Aceh.

Melihat nawacita itu, Pemerintah Aceh juga harus mencontoh gebrakan tersebut. Membangun daerah pelosok sebagai program unggulan, dapat menekan ketimpangan pembangunan yang dirasakan masyarakat.

Mari kita mencoba menginventarisir permasalahan-permasalahan yang ada di pelosok Aceh. Masalah klasik masih saja terjadi, dan belum ada solusi.

Pertama, jalan. Belum terbukanya akses jalan hingga ke pelosok Aceh secara kasat mata bisa dijadikan sebagai satu dari ketimpangan pembangunan. Sebagai contoh di Pedalaman Aceh Timur tepatnya di Kemukiman Lukup Serbejadi. Melimpahnya SDA disana tak mampu dimanfaatkan warganya menopang perkembangan ekonomi. Akses jalan yang sulit, membuat para petani kesulitan mengangkut hasil pertaniannya. Perekonomian warga dibuat stagnan karena permasalahan ini.

Infrastruktur jalan memiliki peran vital dalam kemajuan suatu daerah. Masih banyak daerah-daerah pelosok Aceh yang belum terintegrasi dengan jalan. Membuat, perkembangan daerah terpencil di Aceh sulit berkembang.

Kedua, sarana pendidikan dan tenaga kependidikan. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kemajuan suatu daerah. Pelayanan pendidikan khususnya untuk daerah-daerah terpencil masih minim. Berbagai masalah yang menghambat proses pendidikan di suatu daerah masih sering muncul. Sarana dan prasarana menjadi salah satu hambatan utama yang merintangi berjalannya suatu proses pendidikan di daerah terpencil. Sarana dan prasarana ini meliputi gedung sekolah beserta isinya, serta peralatan-peralatan sekolah yang menunjang proses belajar mengajar di suatu sekolah, atau lembaga tempat belajar.

Jalan menuju Desa Bun Bun Alas
Jalan menuju Desa Bun Bun Alas

Sering kita lihat pembangunan gedung-gedung sekolah megah diperkotaan dengan fasilitas yang memadai untuk kegiatan belajar mengajar. Namun hal itu akan berbanding terbalik ketika kita melihat keadaan yang sebenarnya di daerah terpencil. Tidak ada fasilitas yang cukup untuk menunjang kemajuan proses belajar mengajar yang mereka lakukan. Gubug-gubug reyot yang mereka sebut sebagai gedung sekolah tidak mampu memberikan fasilitas yang memadai sebagaimana sekolah-sekolah normal pada umumnya.

Anak-Ketol-2Masalah yang tidak kalah menyita perhatian dalam pendidikan terutama di daerah terpencil adalah kualitas guru. Tuntutan mengajar seorang guru di daerah terpencil lebih berat bila dibandingkan tuntutan guru yang mengajar di daerah perkotaan. Hambatan ini dipicu oleh masalah minimnya sarana dan prasarana penunjang proses pembelajaran di daerah terpencil. Sehingga, seringkali seorang guru di daerah terpencil memutar otak untuk memenuhi hal tersebut. Apalagi bobot materi yang harus diajarkan harus sesusai dengan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sejak diberlakukannya UAN (Ujian Akhir Nasional) sebagai standar kelulusan bagi siswa-siswi sekolah menengah. Hal ini tentunya menambah beban mental bagi guru di pedalaman, karena selain harus memikirkan hidupnya sebagai seorang individu di daerah terpencil, seorang guru di daerah terpencil juga harus memikirkan tanggungjawabnya sebagai seorang guru. Namun sayangnya perhatian pemerintah kepada para guru di daerah daerah terpencil kurang. Beban yang ditanggung oleh seorang guru di daerah terpencil tidak sebanding dengan imbalan yang didapatkan.

Selain kurang diperhatikannya nasib guru di daerah terpencil, sistem perekrutan guru di daerah terpencil juga kurang baik. Biasanya guru yang terdapat di daerah terpencil bukanlah seseorang yang ahli di bidangnya. Seringkali guru di daerah pedalaman adalah seseorang dengan ilmu dan kemampuan mengajar yang seadanya. Hal ini biasanya disebabkan karena guru yang direkomendasikan untuk mengajar hanya lulusan sekolah menengah saja, sehingga proses pembelajaran tidak berjalan maksimum.

Masalah lainnya, guru-guru negeri yang ditempatkan di pelosok Aceh kebanyakan memilih pindah ke daerah yang akses nya jauh lebih terjangkau.

Ketiga, sarana kesehatan dan tenaga kesehatan. Permasalahan kesehatan di pelosok Aceh harus menjadi perhatian serius Pemerintah. Minimnya tegana kesehatan di pelosok Aceh, membuat angka kesehatan di Aceh meningkat. Program pemerintah yang telah menempatkan seorang Bidan PTT di seluruh desa di Aceh tak mampu mengatasi tingginya penyakit yang diderita masyarakat. Secara teknis, Bidan bertugas membantu persalinan dan penulis mengira tidak cukup berkompeten seorang Bidan menangani penyakit-penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat. Begitu juga, dengan fasilitas kesehatan yang masih minim, menjadi semakin kompleks permasalahan tersebut.

Amatan, tenaga kesehatan sama halnya seperti guru, menumpuk di perkotaan dan minim dipedalaman. Pada awal sumpah menjadi tenaga ini, semua bersedia di tempatkan dimana saja. Tapi, kondisi tersebut akan berubah, setelah tenaga kesehatan tersebut diangkat menjadi PNS, ramai-ramai minta pindah ke perkotaan.

Keempat, jauhnya rentang kendali pemerintahan dan jaringan komunikas. Daerah terpencil selalu bermasalah dengan pengurusan administrasi pemerintahan. Jauhnya jarak antara Kampung dan pusat Kecamatan, menjadikan masyarakatnya tertinggal. Terlebih daerah pelosok Aceh belum semua tersentuh jaringan komunikasi. Informasi yang disampaikan pemerintah lambat tersebar ke pelosok-pelosok negeri.

Daerah terpencil merupakan daerah yang letak teritorialnya berada jauh dari pusat pemerintahan. Hal inilah yang selama ini menjadi kendala, sepecatnya harus menjadi perhatian dari pemerintah. Misalnya saja, pendistribusian bantuan bagi korban bencana alam di daerah terpencil memakan waktu dan proses yang lama dan berbelit-belit. Kejadian ini biasanya disebabkan oleh medan-medan yang menjadi objek pendistribusian cukup sulit untuk dijangkau, karena alasan transportasi, komunikasi dan masalah-masalah klasik lainnya. Dengan begitu tidak jarang daerah-daerah terpencil korban bencana alam tidak terjamah bantuan dan terabaikan oleh pemerintah. Tidak hanya dalam hal pendistribusian bantuan bencana alam, dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan yang menjadi hak masyarakat pun, di daerah terpencil masih sering terabaikan.

Membangun dari Masalah

Setelah merunut permasalahan-permasalahan pembangunan di pelosok Aceh tersebut, sudah selayaknya solusi konkrit dibutuhkan dalam upaya percepatan pembangunan. Pemerintah disarankan membangun daerah terpencil dari permasalahan-permasalahan yang sudah dipaparkan tadi. Kita yakin dan percaya, bahwa memberi solusi dari suatu permasalahan yang sudah diketahui bersama akan lebih efektif ketimbang melakukannya dengan program-program yang tidak dibutuhkan masyarakat di pelosok negeri ini.

Foto: Kru dan pendamping Jejak Petualang Trans 7 saat dalam perjalanan menuju Desa Lesten, Pining, Gayo LUes menggunakan alat transpotrasi warga setempat John Deere (dok. Diansyah)
Foto: Kru dan pendamping Jejak Petualang Trans 7 saat dalam perjalanan menuju Desa Lesten, Pining, Gayo LUes menggunakan alat transpotrasi warga setempat John Deere (dok. Diansyah)

Jelas sudah, permasalahan akses jalan, sarana pendidikan, guru, sarana kesehatan dan tenaga kesehatan merupakan kebutuhan mendesak bagi masyarakat di pedalaman Aceh. Tinggal, bagaimana keseriusan pemerintah mengakomodir permasalahan tersebut, sehingga tercipta program tepat sasaran dalam upaya memeratakan pembangunan di seluruh penjuru Aceh.

Dengan pemerataan pembangunan dan mengatasi permasalahan-permasalahan itu, bisa dipastikan perekonomian masyarakat Aceh akan meningkat dan ketimpangan-ketimpangan yang dirasakan warga di pedalaman Aceh akan teratasi. Ekonomi kuat juga akan menjadikan perdamaian di Aceh tercipta secara permanen.

Jalan KKA Buntul Bener Meriah. (LGco_Khalis)
Jalan KKA Buntul Bener Meriah. (LGco_Khalis)

Sekarang pertanyaannya adalah maukah pemimpin di Aceh, siapapun nantinya yang akan terpilih menjadi Gubernur, membangun negeri ini dari permasalahan?. Rasa pesimis rasanya tak perlu, optimisme lah yang perlu kita tanamkan. Harus yakin, Pemerintah telah berusaha sekuat tenaga merencanakan program-program tepat sasaran. Mendukung setiap program pemerintah yang memihak pada rakyat, menjadi salah satu keharusan dalam diri masyarakat Aceh saat ini, sehingga terciptanya masyarakat mandiri dan madani, dengan mengetaskan permasalahan yang telah dipaparkan tadi.

Dengan ketimpangan pembangunan maka stabilitas keamanan juga akan terganggu. Daerah-daerah pelosok yang merasa dikebiri, akan memberontak, meminta pisah dari Provinsi Aceh, alasannya jelas tidak meratanya pembangunan. Hal ini juga menjadi permasalahan serius bagi Pemerintah Aceh.

Semoga Aceh ke depan akan lebih baik, dibawah pemerintahan yang baik pula, pemerintahan yang mau mendengar aspirasi masyarakatnya. Mari membangun Aceh dari masalah. []

*Sekretaris Redaksi LintasGAYO.co dan Sekretaris PWI Aceh Tengah

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.