Sejarah Meugang dan Kuliner Aceh

oleh

Oleh; Maulianda*

Selain terkenal dengan syariatnya Aceh juga terkenal dengan kuliner, karena setiap pengunjung yang datang selain membawa pulang barang-barang yang bisa digunakan, mereka juga membawa pulang kuliner Aceh.

Daerah ini memiliki begitu banyak makanan khas yang sangat menggiurkan lidah, yang diwariskan secara turun temurun. Resep yang disimpan dari dulu dan digunakan sampai sekarang. Apa lagi ketika meugang, ibu-ibu memasak begitu banyak masakan dari olahan daging sapi yang disajikan dengan berbagai menu istimewa,.

Meugang atau hari dimana masyarakat Aceh bersama-sama mengolah santapan berbahan dasar daging menjadi satu budaya yang sangat kental sehari menjelang puasa, atau sehari menjelang hari besar agama Islam. Wajar saja ketika hari itu ratusan pedagang daging, baik daging sapi, kerbau dan kambing membuka lapak dagangannya di sepanjang jalanan yang ramai dilewati masyarakat. Hal inilah yang membedakan hari meugang dengan hari lainnya. Bila mana pada hari-hari biasa pedagang berjualan di pasar-pasar tradisional, tetapi dihari meugang ini para penjual bebas menjajakan dagangannya disepanjang jalan baik di kota-kota maupun di gampoeng-gampong.

Daging sapi yang dijual begitu banyak pada hari meugang, menjadi incaran kaum adam pada pagi harinya, ada juga ketika selesai shalat shubuh bapak-bapak pada umumnya berbondong-bondong untuk membeli daging sapi untuk keluarganya. Daging sapi yang dicaripun merupakan daging sapi terbaik, dilihat dari tekstur dagingnya, warnanya dan juga baunya yang masih bagus. Momen yang hanya bisa dirasakan dalam setahun tiga kali. Tradisi meugang ini ditandai dengan dibuka lapak-lapak penjual daging yang berada dipusat kota/kabupaten. Rata-rata harga yang dibuka mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 170.000 per kilogram.

Secara harfiah meugang bisa diartikan membeli daging menjelang puasa dan menyambut hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Dalam satu tahun tiga kali ritual meugang dilakukan masyarakat tanah rencong. Masyarakat berbondong-bondong turun ke pasar untuk membeli daging sapi atau kerbau. Tak sanggup membeli daging, biasa menggantikannya dengan memotong ayam atau bebek. Yang jelas ritual meugang harus dirayakan. Singkat kata, tradisi makan daging yang sudah diwariskan turun temurun tetap terlaksana.

Ada banyak olahan masakan khas Aceh yang biasanya dibuat oleh keluarga-keluarga untuk merayakan meugang menyambut puasa dan hari lebaran, seperti rendang, kari kambing, sop, dan masih banyak lainnya. Rasanya tentu akan berbeda ditiap daerah di wilayah Aceh. Biasanya keluarga akan menyantap olahan daging di rumah bersama keluarga besar. Tetapi beberapa daerah di Aceh merayakan meugang dengan cara berbeda seperti bertamasya ke pantai, sungai, atau tempat wisata lainnya sembari menikmati masakan khas Aceh yang nikmat dan tentunya semakin bermakna dengan hadirnya keluarga tercinta.

Tradisi meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 Masehi), Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dan dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terimakasih kepada rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukkan oleh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi meugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.

Lebaran 1437 H di kampung kelahiranku tecinta. Moment yang hanya bisa kami rasakan dua kali dalam setahun, semua keluarga berkumpul, berjabat tangan dan saling memaafkan. Sungguh hari yang sangat menggembirakan bagiku. Pagi itu saat fajar mulai terbit di ufuk timur, burung-burung berkicauan seakan-akan memanggilku untuk segera bangun dan menemuinya. Aku pun bangun untuk menunaikan kewajibanku kepada sang maha pencipta, dan akupun langsung membantu ibuku di dapur. Aku, ibu dan ayahku bersiap-siap untuk segera pergi ke mesjid terdekat untuk melaksanakan shalat idul fitri yang hanya bisa kami lakukan setahun sekali. Setelah kami selesai menunaikan shalat idul fitri, aku menjabat tangan ayah dan ibuku untuk meminta maaf, bagiku itulah moment yang sangat mengharukan.

Kerabat dan keluarga datang untuk bersilaturrahmi berjabat tangan dan saling memaafkan, dan menikmati hidangan kuliner lebaran buatanku dan ibuku. Tamu yang datang tidak sedikit, baik dari kalangan keluarga, teman-teman ayah, teman-teman ibu dan juga teman-temanku yang ikut meramaikan rumahku. Banyak kue yang kami sajikan untuk para tamu, seperti timphan, dodol, karah, loyang dan kue-kue lainnya yang tidak kalah enaknya. Dan tidak lupa kami sajikan lontong sayur yang menjadi andalan ketika lebaran di hari pertama. Sebelum lebaran, aku dan ibuku sibuk mempersiapkan kue-kue yang akan kami hidangkan untuk lebaran nantinya. Seperti membeli bahan-bahan yang diperlukan dan menyiapkan tempat-tempat untuk membuat kue.

Ibuku sering berbelanja di toko terdekat untuk membeli segala sesuatu yang diperlukan untuk membuat kue. Aku selalu ikut kemanapun ibuku pergi, baik berbelanja maupun urusan pekerjaannya. Hal yang paling menggembirakan adalah ketika aku dan ibuku membuat kue bersama-sama dan ayahku juga ikut membantu untuk membuat kue. Terasa capek dan gerah karena dalam keadaan berpuasa, namun aku tetap semangat karena bisa menghabiskan waktu bersama ibu dan ayahku. Karena kesibukanku untuk melanjutkan pendidikan di tempat orang, maka setiap moment yang kami habiskan bersama menjadi berharga. Aku tidak pernah lupa pesan ibuku untuk tidak jajan sembarangan, namun aku tidak mengindahkan apa yang ibuku bilang, karena salah satu kesukaanku yaitu makan makanan siap saji.

Kue hidangan khas Aceh saat lebaran/hari raya baik hari raya Idul fitri maupun idul adha, timphan ini dibuat sehari atau dua hari sebelum lebaran dan daya tahannya bisa mencapai lebih kurang seminggu, timphan adalah menu hidangan utama buat tamu yang berkunjung ke rumah saat lebaran. Bagi orang Aceh baik yang berada di Aceh sampai seluruh dunia tiada yang tidak mengenal dengan adonan yang satu ini, karena sudah menjadi tradisi turun temurun dan rahasia umum di Aceh bahwa yang namanya timphan setiap ibu-ibu atau wanita di Aceh bisa membuatnya. Namun aku tidak pandai dalam membuatnya, timphan yang paling lezat itu buatan nenekku tercinta, semua anak-anak dan cucunya akan marah kalau tidak kebagian timphan buatan nenekku. Namun ibuku tidak kalah mahir juga dalam membuat timphan, karena aku juga ikut membantu ibu untuk membuatnya.

Timphan yang merupakan makanan lembek berbalut daun pisang muda ini yang paling terkenal adalah rasa srikaya. Rasanya yang manis, gurih, dan kenyal. Semua yang mencobanya pasti akan ketagihan. Sebelum menjelang lebaran biasanya kami sudah menyiapkan daun pisang muda yang sudah kami petik di kebun. Dan saking terkenalnya timphan di Aceh, sehingga banyak ungkapan pribahasa dengan kata timphan diantaranya yaitu “Uroe goet buluen goet Timphan ma peugoet beumeuteme rasa” (Hari baik bulan baik timphan ibu buat harus dapat aku rasakan).

Adapun bahan-bahan dan cara membuatnya sebagai berikut, kami biasanya membuat untuk 15 porsi (1 porsi lebih kurang sama dengan 114 kalori). Bahan yang dibutuhkan adalah pisang raja dihaluskan 250 gram, tepung ketan 200 gr, santan kental 2 sdm, air kapur sirih 1 sdm, garam ¼ sdt dan untuk isi timphannya. Seterusnya telur ayam 2 butir, santan kental 50 ml, gula pasir 100 gr, nangka masak cincang kecil 25 gr, tepung terigu ½ sdt, daun pandan 1 lembar, kelapa muda parut halus 50 gr, vanilli ¼ sdt.

Cara membuatnya aku mencampurkan semua bahan dasar untuk membuat kulitnya seperti tepung ketan dan pisang yang sudah dihaluskan serta memasukkan santan, air kapur dan garam hingga tercampur rata. Dan kemudian kami membuat untuk isi timphannya aku mengkock telur dan gula hingga kental dengan menggunakan mixer, tetapi keseringan kalau nenekku yang membuatnya diremes pakai tangan agar hasilnya jauh lebih kental. Lalu masukkan tepung terigu dan santal kental, aduk hingga rata, tambahkan nagka masak yang sudah dicincang kecil dan kelapa muda yang sudah diparut lalu beri daun pandan, masak sampai kental, kemudian angkat beri vanilli lalu aduk rata lagi. Setelah matang dinginkan dan digunakan sebagai isi timphan. Setelah timphan jadi baru di kukus hingga matang selama lebih kurang 10 menit, dan timphan siap untuk kami sajikan.

Semua tamu menyantap lahap buatanku dan ibuku, rasanya bahagia sekali tamu-tamu yang datang menyukainya.

Karah atau keukarah adalah salah satu kue tradisional khas Aceh yang terbuat dari campuran tepung dan santan berbentuk lembing berukuran satu telapak tangan orang dewasa yang menghasilkan citarasa manis, renyah, garing dan rapuh. Secara sekilas, kue mirip dengan serabut atau sarang burung. Karena bentuknya yang unik, kue ini sering dijadikan oleh-oleh khas Aceh. Selain itu, kue karah ini biasanya disajikan pada saat pesta pernikahan sebagai hantaran dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan serta disajikan pada saat menjelang hari raya atau acara adat dan kenduri Aceh. Kebetulan kami mempersiapkannya untuk hari raya, karena kuenya tergolong kue yang enak ketika dimakan, aku dan keluargaku sangat menyukainya.

Bahan-bahan yang diperlukan sangat sedikit dan untuk mendapatkannya pun sangat mudah seperti 250 gr tepung beras, 500 gr gula pasir, minyak goring secukupnya, ½ liter air. Dan yang paling sangat dibutuhkan dalam pembuatan kue karah membutuhkan alat khusus yaitu batok kelapa dengan lubang yang banyak (cetakan kue karah). Adapun cara membuatnya beras direndam terlebih dahulu selama 1 malam, kemudian dicuci bersih dan tiriskan. Lalu beras ditumbuk sampai halus, dan kemudian tepung di ayak dan dijemur sampai kering. Dan untuk membuat adonannya, campur tepung dan gula lalu diaduk rata dan ditambahkan air sedikit demi sedikit hingga adonan rata dan mengental. Lalu masukkan adonan kedalam cetakan dan siap untuk di goreng. Setelah itu siap untuk dinikmati.[]

Mis*Maulianda, lahir di Grong-grong pada tanggal 15 Agustus 1995. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Tulisan di atas adalah tugas akhir mata kuliah “Penulisan Features’” Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.