Trend Fair Trade di Hong Kong; Perdagangan Kopi di Gayo sudahkah Fair?

oleh
Foto : Anggia Sitanggang

*Catatan Feri Yanto.

Foto : Anggia Sitanggang
Foto : Anggia Sitanggang

WORKSHOP kopi internasional yang dilaksanakan beberapa hari lalu oleh The Rainforest Coffee, Universitas Gajah Putih (UGP), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Takengon, dan mahasiswa University of Hong Kong, Workshop ini diberi tajuk “Behind The Fair Trade Label-The Story of Gayo Coffee” yang dilaksanakan di Gedung E Oproom Bupati Aceh Tengah, 15-18 Juni 2016 membahas tentang kopi, budaya dan persahabatan, dimana disana peserta bercerita tentang bagaiaman kopi dipasarkan di dunia dan budaya minum kopi di masyarakat, serta cerita kop di Gayo yang diceritakan oleh peserta dari Gayo.

Salah satu yang menjadi sorotan penting dalam workshop ini adalah bagaimana system perdagangan yang diberi nama “Fair Trade”, dimana Fair Trade berkembang sangat luas di dunia, dan menjadi trend dalam perdagangan di masyarakat secara luas di dunia, bagi pengusaha tentu istilah Fair Trade ini bukan sesuatu yang baru dan yang tabu lagi, tapi bagi masyarakat sepertinya memang masih banyak masyarakat di dataran tinggi Gayo yang kurang mengenal istilah ini.

Sedikit tentang Fair Trade, Fair Trade sendiri artinya adalah perdangan adil, ini merupakan sebuah gerakan sosial yang bertujuan membantu produsen di negara berkembang menikmati perdagangan yang lebih baik dan memperkenalkan keberlanjutan lingkungan, didalam gerakan ini para anggota mendukung dengan pembayaran harga yang lebih tinggi kepada eksportir dan peningkatan standar sosial serta lingkungan, gerakan ini berfokus pada komuditas ekspor dan yang di konsumsi di dalam negri, seperti kopi, kakao, gula, teh dll.

Gerakan ini berusaha mempromosikan kesetaraan yang lebih besar dalam kerjasama dagang internasional melalui dialog, transparansi, dan penghargaan, gerakan perdagangan adil memperkenalkan pembangunan berkelanjutan dengan menawarkan kondisi dagang yang lebih baik, sekaligus melindungi hak-hak produsen dan pekerja termarginalkan dinegara-negara berkembang.

Gerakan fair trade sudah dimulai sejak tahung 1950 an yang kemudian menyebar secara luas didunia dan juga masuk di Indonesia walaupun hanya sebatas penerima sertifikat fairtrade dari orgaisasi resmi pemberi sertifikasi fair-trade, dan sejarahnya di mulai dari Gayo, pada tahun 2000 koprasi yang bernama Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKGO) yang mendapatkan sertifikat dari Fairtarde Labeling Organization (FLO) yang selanjutnya bekembang menjadi lebih banyak.

Gerakan Fair Trade ini kemudian  menjadi trend di dunia, khususnya di Hong Kong bahwa masyarakat merasakan ada nilai lebih ketika membeli produk yang telah diberikan label Fairtrade, karena dianggap dapat mengangkat tarap hidup produsen, sehingga masyarakat dengan suka rela membeli produk dengan harga lebih malah dengan alasan sosial, hal ini dikatakan oleh Rebecca mahasiswi Hong Kong University berkebangsaan Korea Selatan  saat diskusi dengan pengurus HMI di Takengon usai penutupan acara workshop.

“Di Hong Kong, Fair Trade adalah trend masyarakat, masyarakat secara suka rela membeli barang yang memiliki label Fairtrade walaupun dengan harga yang lebih mahal, sebab dengan harapan bahwa premium dari pembelian itu bisa langsung dikembalikan kepada petani produsen,” katanya.

Dikatakannya bahwa mereka ingin tahu apakah di Gayo perdagangan kopi Arabika sudah menjalankan prinsip Fairtrade, dan apakah label Fairtrade benar-benar mempengaruhi kesejahteraan petani Kopi di Gayo, sebab dengan adanya Fairtrade seharusnya petani produsen dapat memiliki kedaulatan dalam menentukan harga dan transparansi harga.

Memang Fairtrade secara konsep merupakan system perdagangan yang sangat bagus dengan menegdepankan nilai-nilai sosial tanpa hanya mengedepankan keuntungan semata-mata, namun juga memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan lingkungan. Namun entah pada prakteknya, apakah ini sudah dijalankan dengan baik atau belum sepertinya memang belum semuanya perusahaan eksportir menjalankan prinsip Fairtrade ini.

Selanjutnya Nayantara Bhat juga mahasiswi Hong Kong University berkebangsaan India namun juga lama tinggal di Tangerang, menanyakan kepada saya apakah petani kopi Arabika di Gayo mengetahui tentang Fairtrade dan berapa seharusnya premium yang harus dikembalikan ke petani produsen kopi itu sendiri, dan apakah selama ini semua proses perdagangan kopi arabika dilakukan secara terbuka dengan petani melalui mekanisme dialog dan ketentuan Fairtrade?

Disini sayapun hanya menjawab seadanya dan sebatas kejujuran pengetahuan saya, saya katakan menurut sepengetahuan saya, ada masyarakat yang tau dan banyak yang tidak, dan untuk jelasnya nanti silahkan langsung tanyakan pada petani apakah petani itu sudah diberlakukan seperti halnya konsep Fairtrade. Namun, sepengetahuan saya itu semua masih jauh dari harapan, dan tentunya kita berharap konsep-konsep Fairtrade itu direalisasikan sebagai bentuk solidaritas sosial dalam mengangkat kesetaraan ekonomi petani.

Fairtrade diharapkan bukan hanya sebagai sertifikat saja untuk menarik hati para konsumen dalam artian mengejar laba yang lebih tinggi lagi, dan jika begitu maka itu merupakan kejahatan kemanusiaan dan penindasan petani.

Diskusipun berlanjut dan merekapun sepakat bahwa untuk realisasi Fairtrade memang harus dikawal secara ketat, untuk itu mahasiswa Hong Kong University akan meginformasikan secara luas apabila Fairtrade ini dijalankan secara jujur, misalnya  seperti penyaluran premium kepada petani, dan juga akan turut menyoroti adanya upaya monopoli perdangan seperti yang dilakukan oleh PT. Holand dengan merk dagang  Gayo Mountain Coffee.

“Pada dasarnya kami juga tidak dapat melakukan banyak hal untuk membantu petani kopi Gayo, namun  kami bisa memberikan informasi mengenai kopi Gayo dan keadaan petani kopi Gayo secara luas kepada masyarat dunia,” kata Janice menutup diskusi.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.