Pilbup 2017 adalah Pertaruhan Nasib Gayo

oleh

Catatan Win Wan Nur*

They were like the ants, which can see small objects but not large ones”

KALIMAT di atas adalah satu dari sekian banyak ungkapan layak kutip yang terdapat dalam Novel 1984 (Ninety Eighty Four) karya penulis besar Inggris George Orwell, salah satu roman politik terbesar dan paling fenomenal dalam sejarah sastra dunia.

Dalam bahasa Indonesia kalimat di atas berarti “Mereka seperti semut, yang hanya bisa melihat hal-hal kecil, sementara yang besar luput”.

Ungkapan ini dibuat Orwell untuk menggambarkan cara pandang masyarakat di sebuah negara imajiner di masa depan bernama Oceania, pada masa 40 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua.

Orwell menggambarkan bahwa penduduk Oceania setiap hari di doktrin dengan pemikiran satu sisi yang diproduksi oleh penguasa.  Tak ada kebebasan berpikir di sana. Semua pemikiran dikontrol ketat oleh penguasa. Akibatnya wawasan,  cara pandang bahkan realitas yang diketahui oleh masyarakat di negara  itu hanya terbatas pada apa yang disampaikan oleh penguasa saja.

Mereka hanya mampu melihat hal-hal kecil yang remeh temeh. Tak mampu melihat ide-ide besar di baliknya. Perdebatan antar masyarakat pun terjadi hanya pada ranah remeh temeh itu. Masyarakat kehilangan kemampuan analisa yang merupakan anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada manusia.

Bukan tanpa alasan kalau novel ini disebut sebagai salah satu Roman politik terbesar sepanjang sejarah sastra dunia, sehingga bahkan seorang filsuf sekelas Henry Bergson pun begitu mengaguminya.

Alasannya tentu saja karena argumen-argumen yang disampaikan oleh Orwell di dalam novel ini selalu aktual dan selalu tepat ketika dipadankan pada masyarakat di peradaban manapun yang hidup dalam keadaan pikiran dikontrol dan tidak leluasa mengembangkan ide-ide. Mereka kehilangan kemampuan berpikir besar, bahkan melihat gambaran besar dari suatu ide atau sebuah peristiwa.

Dengan berat hati saya harus mengatakan masyarakat Gayo adalah salah satunya.  Kita di Gayo  telah begitu lama dikontrol dan hidup dalam ketakutan untuk sekedar menyampaikan pikiran.  Mulai dari zaman PKI, kemudian GAM bahkan ketika sudah damai pun Gayo masih saja belum merdeka dalam menyampaikan pikiran. Sehingga perdebatan antar kita pun didominasi oleh hal-hal remeh temeh, bukan sesuatu yang besar.

Masih dalam Novel yang sama Orwell mengatakan
“Di dalam Filsafat, Agama, Etik atau Politik, dua ditambahkan dua bisa saja berarti lima. Tapi ketika seseorang merancang sebuah senjata atau pesawat terbang, tidak bisa tidak, dua ditambah dua harus sama dengan EMPAT”

Orwell kemudian melanjutkan kalimat itu dengan pernyataan
“Hakikat dari kemerdekaan itu sebenarnya adalah merdeka untuk mengatakan bahwa dua ditambah dua sama dengan EMPAT”

Gayo sudah lama sekali kehilangan “Kemerdekaan untuk mengatakan bahwa dua ditambah dua sama dengan EMPAT”. Di masa Orde Baru ketika hutan dan alam Gayo diperkosa dengan brutal, kita orang Gayo tidak Merdeka untuk mengatakan itu tidak benar, kita tidak bisa mengatakan itu merusak alam. Karena kita akan segera dicap anti pembangunan.

Sekarang pasca MoU, Gayo juga tidak bebas merdeka mengatakan bahwa budaya kita diperkosa, mulai dengan menjiplak karya budaya Gayo membungkusnya dengan bahasa Aceh dengan dalih tari kreasi. Sampai diskriminasi terang-terangan di depan mata. Bahkan di tanah kita sendiri, orang dari luar yang mengatur, belum lagi berkeliarannya ular-ular berkepala dua yang seolah-olah membela Gayo tapi kalau kita perhatikan mendalam justru orang yang ingin menghancurkan Gayo lah tuannya yang sebenarnya.

Tapi kita tidak bisa merdeka menyampaikan itu secara terbuka karena akan langsung dihabisi dengan mengatakan membawa isu SARA atau mengancam perdamaian. Gayo harus selalu bungkam.

Akibat dari ini banyak dari kita yang tidak sadar bahwa saat ini Gayo sudah terkepung dari berbagai sisi. Salah satu contohnya, sisi sejarah juga sama, kita menghancurkan Kuburan Belanda untuk dijadikan sekolah, karena hanya melihat hal kecilnya. Buat apa kuburan penjajah Belanda dipertahankan, tidak produktif, mending dibuat sekolah untuk mencerdaskan anak bangsa. Kita gagal melihat gambar besarnya bahwa berapa puluh tahun kemudian, anak-anak Gayo tidak lagi melihat monumen keberanian nenek moyangnya melawan penjajah, sehingga tanpa disadari semangat itu hilang. Ekses berikutnya, anak-anak muda Gayo sekarang tidak lagi menghargai sejarah dan penanda-penandanya lalu dengan sepele mengatakan “Ah ternyata Cuma masalah sentimen sejarah”

Kita lupa bahwa “Siapa yang menguasai (penulisan) sejarah dialah yang akan menguasai masa depan”.  Tapi sekarang sejarah kita dikuasai orang lain, dengan sendirinya masa depan kita pun sebenarnya sedang dikuasai orang lain.

Kemudian dari segi budaya, banyak dari kita yang  tidak bisa melihat bahwa budaya Gayo sudah terkepung dari berbagai sisi. Dari sisi seni, karya seni budaya Gayo yang bernilai tinggi terkepung oleh  tari dan lagu ‘kreasi’ yang menggabungkan karya budaya Gayo itu dengan bahasa non bahasa kita. Seperti halnya kita menganggap sepele pentingnya menguasai (penulisan) sejarah, kita pun menganggap sepele fenomena ini. Kita tidak sadar kalau fenomena seperti itu terus dibiarkan, dalam 50 tahun, 60 tahun dari sekarang akan membuat Gayo tak dikenal lagi.

Kita menjadi seperti semut yang hanya mampu melihat hal-hal kecil remeh-temehnya. Gagal melihat hal besarnya.

Akibat lebih nyata dari ketidak mampuan kita dalam melihat hal-hal besar ini, kita bisa melihat dalam dinamika politik menjelang Pilkada (Pemilihan Bupati). Nyaris tak ada Balon Bupati yang ‘menjual’ hal-hal besar yang benar-benar nyata.

Tak ada Balon Bupati yang berbicara tentang bagaimana melestarikan budaya Gayo. Yang dengan gamblang memetakan situasi dan kondisi budaya Gayo sekarang, apa permasalahannya dan bagaimana tawaran solusinya.

Terkait lingkungan juga sama, tak ada yang bicara konsep bagaimana strategi besar pengelolaan danau Laut Tawar, bagaimana menyediakan air dan listrik yang lancar, bagaimana strategi menarik investasi yang ramah lingkungan.

Bahkan ketika Kopi sekarang sedang booming  dan wisata Kopi sudah menjadi trend dimana-mana. Kita,  Gayo yang merupakan ibukota Kopi Asia seolah menjadi penonton saja. Tak ada Balon Bupati yang tampil dengan konsep wisata kopi yang paripurna.

Perdebatan tentang calon bupati, tidak lebih terlepas dari siapa yang lebih alim, siapa yang lebih sopan bahkan urusan mana lebih baik antara laki-laki dan perempuan.  Bukan mana yang konsepnya paling bagus dan realistis untuk membawa Gayo menjadi lebih baik di masa depan.

Akhir kata, saya hanya bisa menyampaikan. Dalam iklim demokrasi seperti sekarang ini, kualitas pemimpin adalah cerminan kualitas pemilih sendiri. Jadi kalau kita tidak ingin Gayo terus menerus seperti semut, maka perubahan itu harus dimulai dari kita sendiri sebagai pemilih.

Sebagai pemilih, tuntutlah para balon bupati untuk bicara tentang hal-hal nyata dan besar.
Menjelang Pilkada ini, marilah kita tuntut para Balon Bupati ini untuk menunjukkan pemahamannya tentang gambaran besar permasalahan Gayo untuk kemudian kita lihat bersama-sama bagaimana konsepnya untuk mengatasi gambaran besar permasalahan yang telah dia sampaikan.

Jangan biarkan mereka bicara dan mengkampanyekan hal-hal remeh temeh seperti  “kalau saya menjadi bupati, saya akan membangun tugu ini dan itu, akan memberikan bantuan ini dan itu” apalagi membicarakan hal tidak penting semacam “mana yang lebih cocok jadi bupati, laki-laki atau perempuan”.[]

*Pengamat sosial politik

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.