[Cerpen] Mencuri Ayam Ketawa

oleh

Oleh: Muhammad Syukri

BUR Kelamun, sebuah dusun terpencil yang terletak disebuah palung, dibentengi oleh bukit berhutan pinus. Hampir setiap hari kedua bukit itu diselimuti kabut. Bukan hanya itu, menjelang sore awan hitam selalu berarak menggayuti langit Bur Kelamun, lalu hujan pun turun sampai tengah malam. Suhu udara makin dingin, menembus pori-pori, bahkan sampai menusuk tulang.

Meskipun waktu magrib belum tiba, langit diatas Dusun Bur Kelamun sudah mulai gelap. Anak-anak berlarian kembali ke rumahnya. Lampu teplok dinyalakan untuk membantu penerangan. Cahaya lampu teplok menembus celah dinding papan. Dari celah itu terlihat para penghuni rumah sedang duduk mengelilingi songkoten, kumpulan bara api sebagai penghangat ruangan.

Malam makin larut, namun hujan belum kunjung reda. Tiba-tiba, pintu rumah beratap daun serule itu berderit. Seorang lelaki paruh baya keluar dari pintu kayu itu. Tubuhnya kurus, dibahunya tersandang sepotong sarung berwarna gelap. Dia menuju ke rumpun pisang, lalu memotong sebuah pelepah pisang. Itulah pengganti payung dimusim hujan.

Dengan diterangi obor dari potongan uyem, lelaki bertubuh kurus itu berjalan menuju pos ronda malam. Sebuah balai-balai bambu beratap ilalang, terletak dipinggir jalan setapak, membelakangi tanaman padi yang mulai menguning. Diteras balai-balai itu sudah dinyalakan api unggun, pertanda petugas ronda malam sudah ada disana. Benar, diatas balai-balai itu terlihat empat orang lelaki sedang berbincang-bincang sambil menikmati asap tembakau berbalut daun nipah.

“Tuh, Aman Teger baru tiba!” seru Aman Odin, ketua regu ronda malam.

“Ketiduran ya…ehmmm,” ledek Aman Peteri.

“Iya, kelelahan….hanya itu hiburan satu-satunya,” jawab Aman Teger sambil duduk menghadap api unggun.

“Dengan dua butir telor setengah matang, tenaga akan balik lagi,” tambah Aman Bensu.

“Telor apa, induknya sudah dicuri orang,” sergah Aman Teger.

“Pasti kerjaan yang ronda tadi malam tuh….” tebak Aman Odin.

“Anggap aja sedekah,” imbuh Pak Ucak sambil membetulkan letak kayu bakar.

Kehilangan ayam di Dusun Bur Kelamun bukan peristiwa luar biasa. Hampir setiap rumah pasti pernah merasakan kehilangan ayam. Pelakunya, kalau bukan petugas ronda, ya anak muda yang ada disana. Warga memakluminya. Sebab, mereka juga pernah mencicipi gurihnya daging ayam tetangga. Dari 84 kepala keluarga di dusun itu, hanya ayam milik Pak Guru yang belum pernah dicicipi oleh para peronda.

Tadris, itulah nama guru SD yang baru sebulan mengajar pada SD kecil di dusun itu. Selain mengajar, lelaki beranak satu itu menjadi imam dan guru mengaji di menasah dusun. Sebagaimana warga yang lain, dia juga memelihara ayam dibelakang rumahnya. Memelihara ayam merupakan hiburan sepulang mengajar.

Warga sangat menghormati lelaki muda itu. Sejak kedatangannya ke Dusun Bur Kelamun, aktivitas belajar mengajar mulai membaik. Oleh karena itu, mereka sepakat tidak mewajibkan pak guru ikut ronda malam. Alasannya, supaya pak guru tetap fresh mengajar anak-anak mereka dipagi hari, dan menjadi imam rawatib di menasah. Begitulah sedikit kisah kehadiran pak guru Tadris di Dusun Bur Kelamun.

“Dingin-dingin begini, enaknya makan ayam sengeral,” pancing Aman Odin. Ayam sengeral adalah ayam yang dimasak dengan bumbu kari.

“Cocok, ayam siapa giliran malam ini?” tanya Aman Teger.

“Sore tadi kulihat pak guru membawa pulang sepasang ayam,” ungkap Pak Ucak.

“Sepertinya kita belum pernah menyicipi gurihnya ayam pak guru,” tegas Aman Bensu.

Kelima orang ini sepakat melakukan operasi senyap, menyatroni rumah pak guru. Dengan mengendap-endap, mereka mulai memasuki halaman rumah pak guru di komplek SD kecil. Suasana malam itu sangat sepi, gelap dan tidak ada setitik cahaya pun terlihat dari rumah dinas itu. Meskipun sangat gelap, Aman Teger sangat hafal letak kandang ayam pak guru. Pasalnya, lelaki kurus itu adalah tukang yang dibayar membuat kandang ayam tersebut.

Mereka sudah tiba didepan kandang ayam pak guru. Dengan bahasa isyarat, Aman Odin memerintahkan Aman Teger mengambil seekor ayam. Aman Teger keberatan, tetapi keempat orang itu mendorong tubuhnya. Tubuh Aman Teger terdorong kedepan kandang ayam. Lalu, dibukanya pintu kandang ayam perlahan-lahan tanpa menimbulkan bunyi. Diraihnya seekor ayam jantan yang sedang tidur didekat pintu. Ayam jantan itu terkejut. Dari paruhnya keluar bunyi yang cukup aneh.

“Huuuuu….huk..huk..huk…hihihihiii…..hahahaaaaa…….iiiiiik,” terdengar bunyi ketawa dari dalam kandang. Bunyi itu terus berulang-ulang memecah kesunyian malam. Suara ketawa itu menggema menembus rumah warga yang sedang tertidur nyenyak.

“Ada hantu menertawai kita,” bisik Aman Odin ketakutan sambil berancang-ancang mengambil langkah seribu.

Mereka belum sempat bergerak, seberkas cahaya senter sudah memapar wajah kelima lelaki itu. Mereka hanya bisa mematung, tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Mereka tertangkap basah sebagai maling ayam. Aman Teger lebih parah lagi, tangannya masih dalam kandang ayam ketika senter pak guru memapar mukanya.

“Eh, Aman Teger. Mari masuk, ayo..masuk,” ajak pak guru.

“Maaf pak guru, sebenarnya kami sedang ronda. Terdengar bunyi ayam, kami pikir ayam liar,” kilah Aman Teger.

“Ndak apa-apa. Itu tadi ayam ketawa. Saya sedang mencoba mengembangbiakkan. Siapa tau, dusun ini bisa jadi pusat peternakan ayam ketawa,” jelas pak guru.

“Jadi bukan suara hantu ketawa?” tanya Aman Odin gugup.

“Bukan, itu suara ayam,” imbuh pak guru terbahak-bahak.

Mendengar suara tawa terbahak-bahak itu, isteri pak guru terbangun. Perempuan muda itu menyapa kelima orang yang duduk bersila di ruang tamu rumah sederhana itu. Kemudian suasana makin mencair. Mereka berbincang-bincang sambil mendengar penjelasan pak guru tentang prospek ayam ketawa.

Kelima orang itu tertarik untuk ikut menjadi peternak ayam ketawa. Pak guru berjanji akan menghadiahkan masing-masing sepasang anak ayam ketawa untuk mereka. Syaratnya, apabila ayam ketawa itu sudah berkembang biak, mereka juga wajib menghadiahkan lima pasang anak ayam ketawa kepada lima kepala keluarga di Dusun Bur Kelamun.

“Yuk, silahkan. Bismillah,” kata pak guru sambil mempersilahkan kelima orang itu mencicipi ayam sengeral yang sudah terhidang didepan mereka.

“Lha, kapan ibu memasak ayam sengeral,” tanya Aman Odin.

“Sore tadi. Barusan tadi dipanaskan kembali,” jelas pak guru.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.