Merayakan Hajatan Pilkada Aceh Tengah

oleh
Ilustrasi (doc. LintasGayo.co)

Oleh Muhamad Hamka

Muhamad-HamkaPERHELATAN demokrasi (Pilkada) serentak Februari 2017 mendatang sudah semakin dekat. Kabupaten Aceh Tengah yang notabene merupakan salah satu peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak sudah mulai memperlihatkan atmosfir Pilkada. Baliho, spanduk, dan poster para bakal calon (balon) bupati dan wakil bupati Aceh Tengah periode 2017-2022 sudah mulai menyebar disejumlah titik strategis.

Wajah-wajah penuh optimisme dari balon bupati-wakil bupati ini, saban hari ‘menyapa’ kita di jalan-jalan strategis di Aceh Tengah dengan wajah bersinar dan senyum memesona. Inilah sejumlah putra terbaik negeri Datu Beru ini yang sudah siap lahir dan batin tentunya, demi membangun daerah penghasil kopi Gayo arabika ini ke arah yang lebih baik dan manusiawi.

Seturut dengan hadirnya wajah-wajah penuh optimisme diatas, jargon dan slogan politik pun ikut berseliweran memenuhi ingatan warga kota dingin ini. Demokrasi pun mulai ‘bersolek’ dalam wajah yang prosedural. Ritus demokrasi prosedural semacam Pilkada ini membutuhkan akal yang sehat dan nurani yang jernih dari publik. Karena pada fase semacam inilah, demokrasi acapkali dimanipulasi oleh akal bulus politikus.

Pada titik inilah, publik harus saling mencerahkan. Publik harus proaktif dan partisipatif dalam menelusuri rekam jejak setiap figur yang berlaga di Pilkada. Publik tidak boleh pasif, apalagi apatis. Masyarakat luas punya tanggung jawab untuk hadirnya pemimpin yang visioner, kredibel dan berintegritas. Dan salah satu caranya adalah dengan menjadi konstituen yang proaktif dan partisipatif dalam mengikuti dan mencermati tahapan-tahapan Pilkada.

Kita sebagai konstituen acapkali menyesal dikemudian hari. Tak jarang kita marah dan bersumpah serapah kepada pemimpin terpilih, karena laku kepemimpinanya tak sesuai dengan harapan. Padahal demokrasi telah menyediakan ruang yang luas dan terbuka bagi kita untuk memilih pemimpin yang kredibel, visioner dan berintegritas. Kalau saja kita proaktif dan partisipatif dalam mencermati rekam jejak setiap figur yang berkompetensi dalam kontestasi Pilkada, maka harapan akan terpilihnya pemimpin yang baik dan amanah akan terwujud.

Namun faktanya, para pemilih lebih silau oleh jargon yang manipulatif, selembar fulus dan aneka rupa benda. Padahal pemberian tersebut sejatinya hendak ‘merampok’ akal sehat dan nurani jernih kita untuk memilih yang bersangkutan menjadi bupati dan wakil bupati. Maka anda tidak boleh heran kalau banyak bupati/walikota yang tiba-tiba digelandang ke hotel prodeo oleh KPK karena garong uang negara. Gajinya sebagai bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota tidak cukup untuk mengembalikan uang dan aneka rupa benda yang ia berikan saat ‘merampok’ suara rakyat sewaktu Pilkada. Maka satu-satunya cara adalah kembali merampok, dengan cara maling uang negara.

Instrument demokrasi

Pilkada sejatinya merupakan instrument demokrasi dalam menghadirkan kesejahteraan umum. Sebagaimana cita dan substansi demokrasi yang meniscayakan kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi (salus populi suprema lex). Dan ini tak muncul sekonyong-konyong, namun lewat usaha dan kerja keras masyarakat dalam memilih pemimpin yang kredibel, visioner dan berintegritas.

Jangan pernah punya mimpi dan harapan akan hadirnya pemimpin yang baik dan amanah, sementara masih mau di bayar dengan selembar fulus, satu set teratak atau satu gulung mulsa. Inilah sesungguhnya maksud dari jargon ‘pemimpin yang terpilih adalah cerminan rakyat yang memilihnya.’ Kalau rakyat yang memilih cerdas, maka pemimpin yang terpilih juga cerdas dan bertanggung jawab. Pun sebaliknya, kalau rakyat yang memilih transaksional, maka jangan heran kalau pemimpin yang terpilih akan jadi garong uang negara.

Maka semuanya berpulang pada kehendak baik publik, selaku konstituen yang punya hak suara pada saat Pilkada. Kalau anda masih suka suara anda ditransaksi dengan selembar fulus, satu gulung mulsa atau sekardus mie instan, maka jangan menggerutu dan bersumpah serapah nantinya, apabila pemimpin yang terpilih hanya memikirkan bagaimana cara melanggengkan status quo, menyuburkan pemodal (kontraktor) dan tim sukses, serta menjalankan pembangunan dengan sistem tebang pilih.

Pemimpin model ini ketika terpilih hanya menjalankan rutinitas pemerintahan, sembari mencari sumber-sumber keuangan untuk modal pada pemilihan berikutnya. Atau bagi yang sudah berkuasa untuk kedua kalinya, yang ia lakukan adalah membangun jaring kekuasaan untuk keluarga dan kroni politiknya. Tak ada gagasan dan terobosan visioner, misalnya bagaimana mengangkat harkat petani kopi Gayo dengan membangun Pusat Riset Kopi Gayo (PRKG). Tak ada dalam pikiran apalagi tertuang dalam visi, bagaimana agar adat, seni dan budaya Gayo bisa tetap eksis ditengah gempuran budaya global yang serba permisif, misalnya dengan membangun Pusat Kebudayaan Gayo (PKG).

Rutinitas birokrasi

Aceh Tengah membutuhkan pemimpin visioner yang mampu menerjemahkan kehendak publik dengan cara yang tidak biasa. Pemimpin yang tidak hanya sekadar ‘bersolek’ dalam rutinitas birokrasi yang monoton. Pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat Aceh Tengah adalah pemimpin visioner yang dapat melakukan terobosan dalam melakukan proteksi sekaligus mengangkat harkat dan martabat petani kopi Gayo yang notabene sebagai sandaran hidup mayoritas masyarakat Aceh Tengah. Pemimpin yang bisa menggerakan mesin birokrasi secara efesien dan efektif dalam pelayanan publik. Pemimpin yang paham dengan budaya Gayo, dan mampu mengartikulasikannya dengan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jangan hanya menjadikan budaya Gayo berkilau dalam tumpukan retorika, tapi praksisnya justru berpolitik dan berpemerintahan seperti para kapitalis pongah yang sibuk memburu rente.

Kalau masyarakat Aceh Tengah punya harapan dan mimpi yang sama akan terpilihnya pemimpin yang visioner. Maka mulai saat ini juga, harus mulai proaktif menelusuri rekam jejak semua bakal calon yang ada. Cermati betul semua visi, misi dan program kerjanya. Apakah visi tersebut masuk akal, apakah visinya relevan dengan kebutuhan dan kegelisahan publik, apakah visi tersebut bisa dipraksiskan nantinya. Jangan pula tergoda dengan jargon yang nampaknya hebat dan menjanjikan, namun sejatinya sedang mengajak rakyat Aceh Tengah membangun ilusi menggendong bayi dibulan.

Bakal calon pemimpin yang baik adalah yang mau mengajak rakyatnya berdiskusi dan mendialogkan visi dan gagasanya secara dialogis dan partisipatif. Bukan pemimpin yang hanya mencekoki rakyatnya dengan janji-janji manipulatif dan visi ilutif. Untuk itu, mari merayakan hajatan Pilkada dengan menjadi pemilih yang cerdas; yang senantiasa proaktif dan partisipatif dalam mengikuti setiap tahapan Pilkada.[]

*Pengamat politik, tinggal di Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.