Hardiknas; Gayo Ngeri-Ngeri Sedap

oleh
Zuliana Ibrahim Membacakan Puisinya ditengah ribuan penonton pada tgl 8 September 2013. (Foto. Aman Renggali)

Catatan : *Zuliana Ibrahim

zulianaHARI Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap tanggal 2 Mei, bagi saya memperingatinya jadi ngeri-ngeri sedap. Pasalnya Hardiknas seolah adalah waktu khusus untuk merenungi pencapaian pendidikan nasional kita. Lalu apa yang bisa kita banggakan dari pendidikan kita, khususnya di Tanoh Gayo? apakah karena keberhasilan anak-anak kita yang selalu menang jika ikut kompetisi di dalam maupun luar daerah? Atau keberhasilan anak-anak kita yang lulus ujian nasional, SBMPTN, bahkan diterima di perguruan tinggi negeri nan bergengsi? Atau melihat mereka yang sukses berkarir setelah menjadi lulusan terbaik? Apapun itu, tentu banyak ragamnya.

Namun di balik itu, ketika kita semua bangga dan dengan sedapnya menikmati keberhasilan mereka tersebut. Ada yang lalai dari sorotan kita yang tentunya membuat miris. Fakta bahwa banyaknya siswa yang pintar semakin pintar namun sombong kurang etika. Yang bodoh pun malah makin bodoh, hobinya bolos lalu nongkrong, jangan tanya mental dan moral mereka, tentunya bobol.  Jika begini, siapa yang harus disalahkan? Orangtua, guru atau siswa?

Keberadaan anak yang lebih banyak berkomunikasi di lingkungan sekolah (7 sampai 10 jam), seolah membentuk opini bahwa guru adalah orang yang bertugas mendidik dan mengajarkan anak, sehingga orangtua bagai lepas tanggung jawab. Guru pun jadi sasaran pengemban. Ini tentu tugas yang sangat berat, keberagaman latar belakang tentunya akan ikut mempengaruhi perkembangan seorang anak apalagi mereka sedang dalam masa perkembangan secara psikologis. Meski pengawasan terus dilakukan, guru juga manusia, pasti tak mungkiri dari sikap lalai. Melihat kasus pembunuhan yang terjadi di kampus almamater saya Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, menjadi tusukan paling menohok relung. Mantan dekan FKIP yang terkenal tegas, bijaksana dan ramah itu, menghembuskan napas terakhir di tangan mahasiswanya sendiri. Kejadian yang bertepatan dengan Hardiknas tahun ini menjadi hari peringatan yang sangat mengerikan.

Saya ingat sekali waktu zaman masih sekolah dasar dulu (sekitar tahun 1997), penggaris kayu masih jadi santapan, jika berani melakukan kesalahan. Lalu apakah kami mengadu pada orangtua? Ya, kami mengadu. Namun orangtua kami, tidak langsung emosi dan datang ke sekolah lalu menghardik atau menuntut guru kami tersebut ke ranah hukum. Justru orangtua malah ikut juga memarahi kami. Hal ini karena orangtua sangat percaya kepada guru kami. Antara mereka punya komunikasi yang sangat baik.

Pukulan melayang, guru ditendang. Entah ini berlebihan atau tidak, saat ini menyentuh kulit siswa, berarti mencari masalah. Guru tak boleh macam-macam, sebab ada orangtua yang mengancam. Oi,  ngerinya. Lalu, apakah ini salah orangtua mereka? Tentu tidak boleh juga dengan sepihak menyalahkan. Keberadaan guru saat ini agak berbeda dengan guru yang dulu. Ada “nilai” yang kian memudar dari diri seorang guru. Dengan ditemukannya kasus-kasus pelecehan, kekerasan terhadap siswa,  tentu jadi trauma bagi para orangtua, makanya mereka lebih waspada. Namun sikap orangtua yang “terlalu membela” memberikan dampak negatif pula,  membuat siswa jadi “kurang ajar” terhadap gurunya. Siswa seperti primadona sekolah.

 Tidak ada sekolah abal-abal. Semua sekolah punya tujuan yang sama yakni mencetak siswa yang terpelajar dan bermoral. Keluhan negatif tentang dunia pendidikan, tentu akan terus hadir. Siapa yang salah? Orang tua, guru atau siswa? Jangan saling menyalahkan. Toh! Kita semua manusia, pasti punya khilaf. Solusinya ada pada iman, ilmu dan amal.  Kalau bukan kita, maka tidak ada yang bisa mengubah wajah pendidikan negeri ini. Ingat! Guru juga manusia biasa, tapi jangan sampai ia akhirnya menghembuskan napas terakhir, di ujung pisau yang dipegang oleh siswanya.[]

*Salah satu tenaga pengajar di sekolah menengah atas di Takengon.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.