Bekas Hujan dan Bekas Benci

oleh
ilustari. (google)

[Cerpen]  Ulen Ramadhani

ilustari. (google)
ilustari. (google)

ASPAL masih terlihat basah, sesekali asap menguap menambah indahnya malam. Di bawah sinar bulan, gemerlip bintang-gemintang tak tampak malam ini. Langit tak bersemangat menyambut, tanpa cahaya bintang. Padahal masih ada bulan malam ini, apa langit itu serakah? Atau manusianya yang merindukan bulan datang, sehingga terpaksa langit murung.

Tarrrr…..

Tampak sebotol kaleng soda yang sengaja di tendang ke dinding, suaranya nyaring dan sedikit menyita perhatian orang-orang pejalan kaki. Sebagian mengecam karena menghalangi jalan, sebagian tak peduli dan terus berjalan, dan sebagian orang lagi marah sambil memandang dengan sorotan mata yang tajam pada gadis tersebut. Mereka pun berlalu melewati gadis itu, tak ada yang begitu mempedulikan tingkahnya. Gadis cantik berambut sebahu yang malam itu kehilangan senyum manisnya berjalan dengan wajah murung, diam seribu bahasa, kekecewaannya ia lontarkan pada sebotol kaleng bekas soda.

“Heyy Ayse, kau kenapa? Wajahmu tampak murung”, seorang lelaki datang dari belakang, lelaki itu tampak sudah mengikuti gadis itu sedari tadi, ia mencoba berjalan sejajar sambil memandang wajah gadis tersebut.

“Enggak ada”, jawabnya singkat.

Ayse bersikap dingin, ia masih tampak begitu kesal. Ia mencoba merapatkan mantelnya dan  berusaha berjalan lebih cepat untuk menghindari lelaki yang mengikutinya.

“Kau kedinginan Ayse?”, ujar lelaki itu sambil mencoba menyusul Ayse yang sedari tadi tidak begitu mempedulikannya.

“Tidak, tolong jangan ikuti aku Arkan!”, ujar nya tegas.

“ Okey, tapi kenapa? Kau marah padaku?”

“Aku sedang tidak ingin diganggu!”

“Beri aku alasan Ayse, agar aku mudah mengerti”, ujar Arkan yang terus berusaha berjalan sejajar. Ayse hanya diam dan terus berjalan, ia masih tidak mempedulikan lelaki yang ada di samping nya. Ayse terus mempercepat langkahnya agar Arkan tidak mengikutinya lagi, perasaan sedihnya malam itu seakan menuntunnya menuju tempat yang sepi tanpa ada yang menggangu.

Sedari tadi Ayse masih berjalan dan akhirnya ia menemukan sebuah taman yang indah dan terang. Cocok untuknya menghabiskan waktu sendiri, suasana taman tak begitu ramai mungkin karena banyak orang malas ke taman karena baru selesai hujan.

Ia duduk sambil mengamati sekitar taman yang agak sepi. Kesedihannya membuatnya harus pergi ke taman. Di taman ia akan berusaha, meredam kemarahan nya pada hujan. Ia begitu membenci hujan.

Dua tahun silam kebenciannya terhadap hujan bermula pada saat suatu malam. Ia mengamati lelaki yang sangat dicintainya bersama seorang gadis cantik, mereka berlari sambil tertawa penuh kebahagian di balik hujan lebat. Kecupan mesra dan pelukan hangat mewarnai pemandangan malam itu. Ya, warna dihati kedua orang tersebut. Tidak pada Ayse. Hati Ayse serasa tersayat-sayat, karena yang sedang menikmati malam itu adalah kekasihnya Devin dan sahabatnya Kiran.

Ya hujan. Haruskah hujan? Yang begitu setia pada bumi, dengan setia menyirami bumi dengan cinta, dengan kesejukan. Tapi kejadian di malam itu membuat hujan di benci Ayse. Kalau saja tidak ada hujan pada saat itu, pastilah tiada adegan mesra diantara keduanya. Hujan begitu merestui hubungan mereka. Hujan ialah saksi bisu pada malam itu, pikir Ayse. Hujan berperan penting, ketika memandang hujan seketika Ayse mulai marah-marah, darah kebencian berjalan dengan sangat deras  sangat kental itulah kebencian Ayse.

“Sangat mengerti perasaanmu lebih dari siapapun, jauh aku lebih sakit sekarang melihat keadaanmu, pikirkanlah ini semua memang kesalahan Devin dan Kiran. Tapi Jangan lagi biarkan kebencian terus menyiksamu, kau harus hidup bahagia. Kau adalah Ayse yang kuat. Kumohon berhenti bertingkah seperti ini”, ujar Arkan dengan suara tersedu-sedu. Arkan mulai menangis.

“Arkan, kenapa kau menangis?”, Ayse tampak mulai kasihan melihat pria yang ada di hadapnnya. Pria yang sangat peduli padanya, pria yang begitu mencintainya dan pria yang mampu memahaminya lebih dari siapapun dan kini menangis dihadapannya.

“Aku kasihan terhadapmu, ini bukan dirimu. Ini bukan Ayse yang kukenal”, Arkan menarik nafasnya dalam.

“Ketahuilah akal sehat akan menyelamatkanmu dari api kebencian. Jangan terlalu melayani perasaan. Yang kita sendiri, tersiksa karena nya”, ujar Arkan yang mulai tampak tenang.

“Apa separah itu diriku?”, Ayse menyandarkan tubuhnya di korsi. Dan kembali mendongakkan kepalanya pada langit. Sepertinya ia mulai menyadari. Sifatnya yang begitu sangat membenci hujan. Arkan hanya diam. Ayse pun diam. Arkan ingin membiarkan Ayse, memikirkan dan merenungkan sikapnya selama ini, ia begitu faham sifat Ayse. Ia begitu sangat mengerti bagaimana cara menghadapi dan memperlakukan gadis yang ada di sebelahnya. Gadis yang begitu ia cintai, gadis yang ia relakan dipacari temannya. Tapi ia masih ingin berusaha menghibur Ayse. Ia mencoba menahan amarahnya. Ia begitu mencintai Ayse, walau cintanya pernah ditolak. Tapi ia masih begitu setia menghibur Ayse, dan berada di sisinya.

Ayse adalah wanita terpelajar, tapi cinta membuatnya begitu kehilangan dirinya. Pengkhianatan antara kekasih dan sahabatnya. Membuatnya begitu rapuh. Siapa yang hatinya tidak hancur dua orang yang sangat penting bagi hidupnya, bahkan sudah menjadi bagian hidupnya dengan mudah mengkhianatinya.

Tapi yang membuat Arkan begitu bingung, mengapa hujan yang  menjadi sasaran. Apa wanita begitu sensitif, sampai-sampai hujan yang berupa anugerah dibenci.
Ayse tampak mulai membuka percakapan

“Arkan? aku selalu berfikir, bahwa aku adalah Aisya Amira Chairin. Sampai kapanpun, aku adalah Aisya. Yang biasa dipanggil Ayse tapi sekarang aku seperti bukan diriku. Aku ini benar-benar sudah melampaui batas. Dua  tahun sudah aku bermusuhan dengan hujan apa aku masih pantas, bernafas. Selama ini aku mengangap aku tetap diriku, aku tetap teguh pada keyakinanku bahwa aku adalah aku. Tanpa aku ketahui aku yang bagaimana. Hatiku begitu keras. Bagaimana aku akan menjadi aku, bila diriku tidak berdamai dengan hatiku. Aku adalah Ayse yang buruk kan”.

“Ketahuilah, terkadang kita suka, membenci suatu hal tanpa mengetahui baik buruknya. Kita suka khilaf dan lupa diri. Kita selalu menganggap diri kita yang paling benar dan paling tahu. Tanpa kita ketahui benar dan tahu yang bagaimana kita yakini sekarang? Keegoisan tetap keegoisan. Dan perasaan bisa merusak pembenaran. Hati nuranilah yang mengetahui kebenaran. Hati yang jujur tidak boleh kalah dengan keegoisan. Tapi yang penting engkau telah berdamai dengan hujan. Yang lebih penting lagi kau telah berdamai dengan dirimu”, jelas Arkan tenang.

“Sampai hari ini rasa sakit itu, terus menggerogoti hatiku, sampai aku menjadi pembenci, nikmat Tuhan pun kubenci sampai hari ini, aku begitu bodoh dan sangat  tolol. Dimanakah kepantasanku sebagai makluk Tuhan? Bahkan lebih dari itu. Tapi ketahuilah mulai hari ini pula aku telah berdamai dengan nikmat Tuhan”, Ayse pun kembali tersenyum sambil menatap Arkan.

“Aku bahagia melihatmu seperti ini, kau Aisya Amira Chairin. Yang kukenal, yang dulu sampai sekarang telah mencuri hatiku”, jawab Arkan sambil menatap Ayse dalam.

Wajah Ayse tampak kemerah-merahan, ia memalingkan wajahnya dengan cekatan dari hadapan Arkan. Yang takut telihat begitu tersimpul malu.

“Kebencian membuatku buta akan cinta yang dihadapanku, aku begitu mengabaikan kebahagian yang sesusungguhnya.

“Jadi Ayse, kau?, tanya Arkan dengan penuh kebinggungan. Ayse hanya tersenyum. [SY]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.