Syakdiah; Sang Penjahit Kerawang Gayo untuk Presiden Soeharto

oleh
Syakdiah dengan mesin jahit kesayangannya. (LGco_Diana Syahputri)

HIDUP mati orang Gayo dari kopi tidak berlaku untuk keluarga Syakdiah, pengrajin produk bermotif Kerawang Gayo di Bebesen Aceh Tengah.

Usaha ini dirintisnya sejak tahun 1983 setelah belajar intensif dari sang bibi bernama Maimunah yang ilmu menjahit Kerawangnya diturunkan dari sang nenek bernama Hamidah. Di tahun itu juga Syakdiah bergabung bersama koperasi yang diketuai Maimunah dan diberangkatkan oleh Pemerintah Aceh Tengah ke Jakarta untuk mengikuti pameran kerajinan.

Sejak saat itu, Syakdiah yang memulai usaha dari penjualan beras dari sawah mulai memasarkan hasil karyanya ke pasar Pekan di Ronga-Ronga, Lampahan, Simpang Balik dan Pondok Baru yang saat ini wilayahnya masuk dalam Kabupaten Bener Meriah setelah dimekarkan dari Aceh Tengah tahun 2004 silam.

Presiden RI Soeharto denan Upuh Ulen-Ulen di Ketol Aceh Tengah tahun 1983. (foto : LK Ara)
Presiden RI Soeharto denan Upuh Ulen-Ulen di Ketol Aceh Tengah tahun 1983. (foto : LK Ara)

“Dulu kami menggarap sawah milik orang lain, saya ingat sekali menjual beras 3 kaleng untuk modal pertama usaha Kerawang,” kenang Syakdiah saat ditemui di rumahnya, pertengahan April 2016.

Hasil karya Syakdiah dinilai berkualitas oleh Pemerintah Aceh Tengah saat itu dengan Bupati M. Beni Banta Cut. Buktinya, Syakdiah dipercayakan menjahit Opoh Ulen-Ulen untuk diselimutkan kepada Presiden RI Soeharto saat kunjungan ke Gayo Kabupaten Aceh Tengah meresmikan Pabrik Gula Mini (PGM) di Kampung Buter Kecamatan Ketol di tahun 1983.

Sebagai upah, Syakdiah menerima Rp.250.000 dari Bupati Beni Banta Cut. Dan mesin jahit yang dipakai Syakdiah masih produktif hingga saat ini. “Saya masih memakainya hingga sekarang ini,” ujar ibu dari 7 orang anak ini.

Sejak itu, Syakdiah semakin terkenal dan mulai menggantungkan hidup dari usaha jahit Kerawang karena permintaan semakin tinggi.

Saking yakinnya terhadap usaha Kerawang bisa diandalkan, Syakdiah menurunkan ilmunya kepada anak-anaknya sejak dini. “Anak-anak saya semuanya mahir menjahit Kerawang Gayo, perempuan atau laki-laki,” katanya.

Istri Abdullah Poteh, Marlinda Purnomo saat berkunjung ke Alpis, usaha Kerawang Gayo milik keluarga Syakdiah
Istri Abdullah Poteh, Marlinda Purnomo saat berkunjung ke Alpis, usaha Kerawang Gayo milik keluarga Syakdiah

Tidak tanggung-tanggung, anak sulung dan anak keduanya, Rasyidah dan Nirwana memutuskan tidak lagi meneruskan pendidikan setelah lulus dari MTsN. Memilih bekerja bersama ibunya hingga berumah tangga dan membuka usaha sendiri setelah berkeluarga.

Begitu juga dengan 5 orang anaknya yang lain, Mahyar, Syehman, Budiman, Alhuda dan Alfata tidak meneruskan pendidikan ke Perguruan Tinggi, setelah lulus SMEA, SMA dan SMK memilih usaha Kerawang Gayo sebagai gantungan hidup. Bahkan punya diantara mereka sudah punya rumah permanen, kenderaan roda empat hingga roda dua.

“Saya menekankan kepada diri sendiri dan anak-anak saya untuk yakin dan percaya diri dengan usaha Kerawang, dan mereka mengikuti amanah saya,” ungkap istri dari Alm. Sudirman ini.

Syakdiah (paling kanan) saat pameran di Jakarta didampingi Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh tahun 2007
Syakdiah (paling kanan) saat pameran di Jakarta didampingi Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh tahun 2007

Usaha Syakdiah juga telah diikuti oleh puluhan warga Aceh Tengah, tidak kurang dari 28 pengrajin Kerawang Gayo sudah membuka usaha yang tersebar di sejumlah tempat di Aceh Tengah, ada yang usaha utama ada juga yang sampingan. Dan pekerjaan yang diterima Syakdiah sering diserahkan kepada ke 28 pengrajin tersebut.

Dari tahun ke tahun permintaan kian meningkat dan dengan beragam produk, bukan hanya pakaian, tapi juga dompet, tas, peci dan lain-lain. Konsumen juga mulai mencari produk yang berkualitas dan tidak hanya melihat keindahan motif tapi model dan kekuatan bahan. Karena di Takengon termasuk Syakdiah belum memiliki peralatan merakit tas, dompet dan lain sebagainya, terpaksa harus bekerjasama dengan pengrajin di Aceh Utara.

Syakdiah dan kawan-kawan menjahit Kerawangnya hingga produk setengah jadi. Lalu dikirimkan ke Aceh Utara untuk dijadikan sebagai barang jadi. “Kita belum punya peralatan dan tenaga ahlinya, terpaksa kita kirimkan ke Aceh Utara,” demikian dikatan perempuan kelahiran Bebesen, 1 Juli 1964 ini. (Khalis)

Baca juga : Takengon impor Kerawang Gayo dari Acut

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.