Politik Spanduk

oleh

Catatan : Sri Wahyuni

SriSPANDUK dan baliho mulai ramai di pasang di seantero dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Di tiap lokasi strategis, di tikungan patah, di ujung jembatan, diatas bangunan bangunan, bahkan bagi para calon yang tidak (mau) faham aturan memasang spanduk atau balihonya di batang pohon.

Spanduk atau baliho yang mulai muncul seperti jamur di musim hujan ini berisikan gambar kandidat, ada yang sepasang ada yang sendiri. Ada yang dengan tegas menyatakan diri sebagai calon bupati, namun ada juga yang sepertinya kebingungan karena menabalkan keduanya, sebagai bakal calon bupati sekaligus bakal calon wakil bupati.

Sekali lagi keragaman tampilan baliho atau spanduk yang makin ramai ini menandakan pula warna-warni demokrasi dan keragaman para kontestannya.

Kalau di opini yang lalu (baca : Bener Meriah; Inget-inget Sebelem Kona) saya bicara soal pentingnya sikap hati hati, kali ini saya ingin mengajak pembaca merenung renung, apa yang tersirat di balik spanduk/baliho yang kian marak di jalan jalan kampung kita. Dan apa iya kita butuh spanduk/baliho sebanyak itu?

Kehadiran banyaknya spanduk/baliho merupakan sebuah hal yang wajar mengingat agenda Pilkada 2017 semakin dekat. Dalam teknis kampanye pemasangan alat pengenal jati diri melalui spanduk/baliho adalah cara yang paling umum dilakukan. Para kandidat mencoba melakukan sebuah langkah awal memberi tahu kalayak bahwa dirinya akan ikut sebagai kontestan melalui pemasangan alat alat peraga ini.

Para pemilih juga akan mulai mengetahui siapa siapa saja yang akan mencalonkan diri salah satunya ya melalui pemasangan baliho. Kalau ada isu mengenai pencalonan seseorang, biasanya akan ada pertanyaan, oh ya, apa benar si Polan akan nyalon, kok gambar (spanduk/balihonya)  tidak ada? !

Kemudian kemunculan spanduk/baliho sepanjang jalan ini juga kadang kadang menjadi perbincangan tersendiri masyarakat, soal warna yang dipilih, cara spanduk/baliho dipasang, bagaimana ekspresi si calon, mirip atau tidak dengan aslinya, soal pemilihan busana dan tata gaya, itupun tak lepas dari kritikan dan apresiasi warga. Kalau seorang calon kelihatan sangat serius alias tidak pakai senyum maka warga akan berkata, bagaimana kita mau pilih, balihonya saja tidak pakai senyum, atau kalau ada kandidat yang menunjukkan wajah ramah dihiasi senyum dikulum, maka warga juga bisa jadi akan komentar, “ah bapak tu senyum senyum aja kerjanya, apa ia nanti kalau sudah terpilih dia tetap akannsenyum pada kita”?

Masyarakat juga biasanya akan menghitung hitung, barang siapa kandidat yang paling banyak memasang spanduk maka dia termasuk kandidat yang kuat, pencitraan seperti ini saya kira yang menjadi sebab makin menjamurnya pemasangan baliho yang cenderung ke perang spanduk/baliho semata, tak lebih.

Lalu apakah dalam politik marketing pemasangan alat alat kampanye di ruang publik berbentuk spanduk/baliho merupakan satu satunya cara memperkenalkan kandidat? Atau ini adalah cara yang paling mudah, karena bisa jadi masyarakat tidak terlalu peduli soal apa makna di balik berbagai jargon yang di tulis besar besar pada spanduk/baliho tersebut.

Masyarakat dengan kondisi apatis dan tak terlalu peduli visi dan misi barang kali melihat semua jargon bermkana sama, pilih saya maka anda akan terlantar, atau pilih saya maka saya dan kelurga saya akan sejahtera, atau pilih saya karena saya adalah saudara sekmapung anda, berbagai terjemahan warga atas apa yang ditulis dalam spanduk/baliho seharusnya menjadi medan juang yang sebenarnya, seharusnya diruang tafsiran itulah sebuah pendidikan politik bekerja.

Jangan biarkan warga memahami politik sebegitu hina dannrendahnya, situasi ini tidak akan pernah berubah selama politik spanduk terus mendominasi.

Sudah saatnya para kandidat melakukan pencerdasan, antara lain soal hak dan kewajiban warga dalam pemilu, mengapa anda harus memilih saya, apa manfaat yang akan masyarakat dapatkan, apa kelebihan saya dengan kandidat lain, apa yang akan saya dan pasangan saya lakukan apabila saya sudah duduk, yang terakhir didik juga masyarakat soal bagaimana melakukan kontrol pada kinerja pemerintah, dan sebaiknya visi dan misi para kandidat di segel oleh pengadilan negri setempat agar memiliki kekuatan hukum dan dapat dituntut apabila tidak mampu dilaksanakan.

Sudah saatnya juga perang spanduk/baliho dikurangi, karena rakyat sebenarnya akan lebih cerdas kalau para kandidat membagi bagikan selebaran yang berisikan informasi lengkap tentang kandidat, visi, misi dan program kerja 5 tahunannya.

Dinegara negara maju, kampanye dilakukan dengan cara efektif dan efisien, tidak ada spanduk/baliho yang terkesan jor joran, tak ada pawai keliling kota yang menimbulkan banyak persoalan susulan, yang ada adalah forum foru  dialog dan debat, di siarkan di TV, di radio, dimedia cetak.

Masyarakat benar benar dilayani oleh mass media secara istimewa, karena pada saat sebelum pemilihanlah rakyat dapat melakukan upaya pencarian data sebanyak banyaknya mengenai siapa si calon.

Media kita belum cukup maksimal melakukan upaya tracking kandidat, sehingga masyarakat dengan sendirinya akan mengalami keterbatasan memahami para kandidat secara mendalam. Saya kira rakyat tak butuh ribuan spanduk/baliho, rakyat butuh pencerdasan, kefahaman soal siapakah orang yang nanti akan mereka beri kepercayaan untuk memimpin mereka 5 tahun kedepan, demikian, wallahua’lam bissawab.[]

*Pengamat politik, warga Bener Meriah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.