[Folklor] Misteri Tan Saran Bidin

oleh
Tensaran Bidin (Foto : LintasGayo | Muna Ardi)

Catatan : Darmawan Masri*

Tensaran Bidin (Foto : LintasGayo | Muna Ardi)
Tensaran Bidin (Foto : LintasGayo | Muna Ardi)

Tan Saran Bidin saat ini ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun luar daerah. Berada di Kabupaten Bener Meriah air terjun indah nan asri ini, memang memanjakan mata bagi siapa yang melihatnya, sungguh indah ciptaan Allah SWT.

Ada sebuah folklor (cerita rakyat) yang berkembang di Tan Saran Bidin. Menurut, yang diceritakan oleh Drs. Al Adyan AR, kepada LintasGayo.co beberapa waktu lalu, Tan Saran Bidin di masyarakat Kenawat Redelong dihuni oleh seekor denung (Anguilla marmorata) besar.

Sangking besarnya, urang Gayo menamainya bukan lagi denung melainkan Kala Muning atau Kemuning.

“Saya diceritakan dulu oleh Samah aman Doman Reje Setie Kenawat Redelong dan Bona aman Rebiah sekira tahun 70-an. Saat itu saya masih berusia remaja, mereka berdua kakek saya,” kata Al Adyan AR.

Kenapa cerita denung kul tersebut muncul, Al Adyan mengatakan bahwa dulu di seputaran Tan Saran Bidin merupakan tempat gembala kerbau (peruweren) urang Kenawat Redelong yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan kawasan Blang Jingki.

“Jadi, daerah itu merupakan tempat peruweren kami, baik urang Blang Ara dan Kenawat Redelong,” ujarnya.

Saat mengembala kerbau, Al Adyan bersama sang kakek pernah mendengar suara dengungan air jatuh dari kejauhan. Al Adyan muda bertanya kepada sang kakek, suara apa itu. Kakeknya menjawab, suara Tan Saran Bidin.

Penasaran dengan suara air terjun tersebut, Al Adyan meminta kepada kakeknya untuk melihat kesana. Namun, kakeknya malah melarang dan berkata, disitu ada penghuninya, seekor kalamuning yang sangat besar.

“Awan (kakek-red) saya bilang, lokasi itu berpenghuni (mejin-Gayo : red), tidak ada satupun orang yang berani kesana, apalagi diwaktu-waktu tertentu,” kenang Al Adyan.

Diceritakan lagi, sang kakek juga pernah bercerita bahwa sosok kalamuning akan menampakkan dirinya saat waktu-waktu tertentu, seperti atas lo timang (pukul 12.00 siang), serlah (hujan gerimis disertai panas) dan waktu langit nge ilang  waktu senye lao (menjelang magrib).

Cerita rakyat tersebut selalu terkenang dalam benak Al Adyan, selaku orang yang sudah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, tentu cerita rakyat seperti itu tak mudah dia terima.

Hingga akhirnya terjadi sebuah insiden maut beberapa waktu lalu, dua orang dikabarkan meninggal dunia saat sedang melakoni foto pre wedding. Naas keduanya terperosok hingga akhirnya meninggal dunia.

Waktu itu Al Adyan mengingat betul apa yang diceritakan oleh kakeknya dulu. Mengingat lagi waktu kejadian kurang lebih pukul 11.30 Wib, disaat matahari hendak berada tepat diatas kepala kita.

Waktu itu tak hanya cerita dari sang kakek yang diingat Al Adyan, tetapi juga sebuah syair didong yang pernah didendangkan oleh Aris, ceh Teruna Jaya Toweren.

//Aku jema penyair//Diriku mulo ku sindir//nti dediang ku karang tingir//

“Syair ini yang saya ingat, penyair menyindir dirinya sendiri dulu, tapi ada satu bait yang menyatakan bahwa kita jangan main di dekat jurang, sangat berbahaya,” kata Al Adyan.

Dia menyadari bahwa cerita rakyat tersebut tak selalu benar adanya. Semua kejadian yang terjadi, sepenuhnya mutlak kuasa Allah SWT. Namun, dengan tidak mengabaikan manat ni urang tue jemen, tak ada salahnya semua yang hendak berkunjung ke Tan Saran Bidin, juga memperhatikan kearifan lokalnya.

“Alam akan bersahabat dengan kita, jika kita menjaganya,” tandas Sekretaris Dinas Syari’at Islam Kabupaten Bener Meriah ini.

Bercerita tentang folklor (cerita rakyat) seorang peneliti ahli manusia prasejarah austronesia, Prof. Dr. Truman Simanjuntak, saat berkunjung ke Loyang Mendale melihat penelitian yang tengah dilakukan oleh Ketut Wiradnyana dari Balai Arkeologi Medan beberapa waktu lalu mengatakan bahwa cerita turun-temurun atau cerita rakyat (folkor) yang terjadi disuatu daerah sangat menginspirasi dunia penelitian.

“Folklor merupakan indikator pengetahuan, jadi itu adalah awal pertumbuhan ilmu pengetahuan. Artinya folklor yang diceritakan oleh para leluhur kita sudah menunjukkan akar budayanya. Saya menganggap itu sebuah intelektual, karena bisa menurunkan cerita dari generasi-generasi berikutnya,” kata Hari sapaan akrab Truman Simanjuntak.

Dalam dunia penelitian arkeologi, kata hari, folklor dijadikan data awal sebelum dilakukan penelitian, dan kalaupun tidak terbukti hal itu tidak akan menjadi masalah.

“Tidak selalu folklor itu benar, setelah diuji melalui penelitian ilmiah. Namun begitu, tidak akan menjadi masalah. Itu sangat menginspirasi kita sekarang pada dunia penelitian,” demikian Prof. ‘Hari’ Truman Simanjuntak. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.