Pemimpin Yang Cerdas

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Taatilah Allah, taati Rasul dan Ulil Amri (pemimpin) diantara kamu”.

Belajar memilih pemimpin - ilustrasi
ilustrasi

INI adalah kutipan makna dari ayat Allah yang termuat di dalam al-Qur’an, ayat ini memerintahkan manusia untuk mematuhi aturan dari Allah yang difirmankan dalam al-Qur’an dan dilanjutkan dengan perintahan kepatuhan kepada Rasul utusan-Nya yang juga sudah ditulis oleh para pendewan di dalam kitab-kitab hadis. Perintah pelaksanaan yang terdapat dalam kedua kitab ini banyak yang bersifat umum dan universal sehingga harus ada orang yang disebut dengan mujtahid untuk memahaminya dan memberi penjelasan kepada ummat yang tidak mengetahui apa yang maksud perintah yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis tersebut.

Ulil amri yang disebutkan dalam ayat tersebut ditafsirkan oleh ulama dengan pemimpin, mulai dari pemimpin yang mempunyai kewenangan yang dibatasi oleh wilayah sampai kepada kewenangan yang tidak dibatasi oleh wilayah. Pemimpin yang mempunyai kewenangan yang dibatasi oleh wilayah adalah pemimpin suatu daerah atau juga Negara, sedangkan pemimpin yang tidak dibatasi oleh wilayah adalah mereka yang mempunyai kewenangan yang bisa menembus batasan tritorial daerah atau Negara.

Ulil amri yang berkuasa pada waktu setelah wafatnya Rasul adalah pemimpin yang tidak dibatasi oleh Wilayah, ia adalah pemimpin yang pendapat dan perintahnya didengar dan diikuti oleh semua umat Islam dimanapun berada  tidak hanya di Mekkah dan Madinah tetapi juga di seluruh dunia. Mereka yang dikatakan dengan Khalifah atau pemimpin pada masa ini menjadi panutan semua orang dalam masa sepanjang sejarah, diantara alasannya adalah mereka paham dan mengetahui apa yang dimaksudkan oleh Allah di dalam al-Qur’an-Nya dan mereka juga mengetahui dan memahami serta mampu mejelaskan apa yang menjadi kehendak Nabi Muhammad SAW.. Kalaupun mereka tidak mengetahuinya pasti sedikit. Karena kita ketahui disamping mereka adalah orang yang hidup dan bergaul dengan Nabi, mereka juga adalah orang-orang yang cerdas.

Kendati mereka adalah sahabat Nabi dan orang-orang cerdas tentulah tidak sebanding dengan Nabi, karena Nabi adalah utusan Allah yang ma’sum dan mendapat bantuan langsung  dari Allah terhadap hal-hal yang tidak bisa ia jawab. Bukti kecerdasan sahabat juga diakui oleh Nabi dengan mengajak berdiskusi tentang masalah-masalah yang perlu didiskusikan, diantara masalah yang pernah didiskusikan adalah tentang posisi tahanan perang apakah harus dibebaskan atau harud dibunuh. Dan ada juga masalah yang menurut Nabi tidak perlu didiskusikan dan menyerahkannya kepada kecerdasan dan kemampuan intlektual sahabat untuk menyelesaikannya, ini diketahui dari hadis beliau yang menyebut bahwa urusan dunia tidak perlu meminta pendapat dari Beliau, sedangkan urusan agama tetap Beliau yang menjadi rujukan. Demikian juga dengan shahabat yang mendapat pengakuan dari tentang kecerdasannnya, mereka berpegang teguh dengan apa yang ada di dalam al-Qur’an dan hadis untuk selanjutnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari baik sisi ibadah ataupun mu’amalah, tapi masih juga ada masalah yang memerlukan kepada penggunaan akal mereka dalam menyelesaikannya, ada hal yang mereka dapatkan jawabannya dari kedua sumber yang ditinggalkan Rasulullah dan ada juga yang sanggup mereka jawab berdasarkan kecerdasanya sendiri. Namun tidak jarang juga dalam menjawab permasalahan yang muncul mereka harus bertanya kepada sahabat yang lain karena mereka yakin kalau kebenaran atau pengetahuan yang mereka miliki terbatas dan keterbatasannya dapa dipenuhi dengan pendapat sahabat yang lain.

Itulah makna kecerdasan yang dimiliki oleh orang-orang terdahulu ketika mereka memahami dan menerapkan pemahaman ayat di atas  di dalam kehidupan. Nabi dan para sahabat tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah mereka ketahui, sehingga mereka selalu merujuk kepada aturan atau undang-undang yang telah ada, dan juga para sahabat tidak pernah meninggalkan orang-orang yang memiliki kemampuan, karena para sahabat sangat sadar kalau mereka memiliki keahlian yang sangat terbatas dan keterbatasan dapat ditutupi dengan keahlian yang dimiliki oleh sahabat yang lain.

Kecerdasan yang dicontohkan oleh para pemimpin yang diakui oleh Nabi ini sering ditinggalkan oleh para pemimpin sekarang. Pemimpin hari ini memahami makna kepemimpinan yang harus diikuti sebagaimana difirmankan dalam “ayat” adalah kecerdasan individual, yang selalu menjadi rujukan bagi semua orang. Banyak para tekhnokrat yang dipilih menjadi pemimpin membangun wilayah bukan dengan ilmu ketekhnokratannya, banyak para pemimpin yang memiliki ilmu agama yang tinggi berlagak sebagai orang yang serba tau, demikian juga dengan politikus yang mengangap semua hal dalam kepemimpinan adalah masalah politik. Anggapan diri para pemimpin yang seperti ini secara tidak langsung diaminkan oleh semua orang.

Jarang para pemimpin yang menganggap kalau mereka yang tidak terpilih menjadi pemimpin adalah orang yang cerdas dan bahkan lebih cerdas dari dirinya, bahkan banyak para pemimpin yang menganggap dosen yang mengajar dan meneliti di Perguruan Tinggi hanya sebagai orang yang mencari makan, sama halnya dengan mereka yang berprofesi dagang, petani, nelayan yang juga mencari makan. Padahal Guru dan dosen yang bekerja di lembaga pendidikan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi adalah orang yang mempersiapkan manusia untuk menjadi manusia (memanusiakan manusia) dan juga membangun alam untuk kesejahteraan manusia. Tapi pendapat mereka tidak pernah pernah diminta. Bentuk pemikiran seperti ini bisa dikatakan dengan bentuk pemikiran yang hanya mengikuti kalau mereka adalah pemimpin yang harus diikuti sesuai dengan makna ayat di atas, tetapi tidak memahami makna ayat seperti yang telah dicontohkan oleh mereka yang kecerdasannya telah diakui oleh Nabi.


[*] Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.