Ada Kecerdasan di Wajah Polos Anak-Anak Ketol

oleh

Catatan Perjalanan : Darmawan Masri*

Anak-Ketol-2

Pagi itu, Sabtu 6 Februari 2016, cuaca mendung diselimuti awan gelap di dataran tinggi Gayo. Rinai hujan ringan dan deras sesekali muncul, daerah ini memang diguyur hujan sejak tengah malam itu.

Berangkat dari rumah menunaikan tugas mengajar sebagai seorang pengajar berstatus Guru Tidak Tetap (GTT) di SMAN 1 Takengon. Menumpang, angkutan yang di daerah ini dikenal dengan sebutan labi-labi, HP ku berbunyi petanda ada pesan singkat masuk, ku baca pesan itu ternyata dari seorang senior di LintasGayo.co. “Wan male ku Ketol,” bunyi SMS bang Irwan Fauzi, yang berisi ajakan pergi ke Ketol.

Aku paham apa yang dimaksudnya. Sehari sebelumnya, senior di PWI Aceh, bang Iranda Novandi sudah tiba di Takengon bersama keluarganya. Kedatangannya ke Takengon, adalah dalam rangka pulang kampung sekaligus hendak menyerahkan bantuan ke siswa korban Gempa Gayo, 2 Juli 2013 silam. Dan Kecamatan Ketol, Aceh Tengah adalah wilayah terparah diayak bencana tersebut.

Tak ku balas pesan tadi, karena niat hati hendak menjalankan profesi mengajar. Sesampai di depan Kampus STAIN Gajah Putih, ku hidupkan bell angkutan yang ku tumpangi. Di tengah rinai hujan rintik, aku pun melangkah menuju SMAN 1 Takengon.

Waktu mengajarpun berjalan, tiba-tiba ada informasi yang disiarkan lewat mikrofon sekolah, mengajak semua warga SMAN 1 Takengon untuk dapat mengikuti tabligh akbar dalam rangka memperingati Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Masjid Agung Ruhama Takengon. Semuanya diarahkan mengikuti kegiatan itu, waktu itulah aku menghubungi bang Irwan Fauzi, menanyakan dimana posisinya berada.

anak-Ketol-1“Di Horas Coffee Tan Saril, mau berangkat,” ujarnya singkat. Tanpa pikir panjang aku pun menumpang sebuah becak menuju ke tempat itu. Sampai disana ada beberapa rekan sudah berkumpul, Pimred LintasGayo.co, Bang Khalisuddin, Bang Iranda dan keluarganya, seorang jurnalis perempuan Diana Syahputri dan aktivis HMI Cabang Takengon Feri Yanto. Disitulah disepakti, segera berangkat ke Kampung Serempah, Ketol.

Bantuan yang kami antar adalah hasil lelang buku yang ditulis bang Iranda berjudul Gayo 6,2 SR, berisi catatan tentang gempa Gayo 3 tahun silam. Buku itu diluncurkan tepat pada walimatul milad Tabloid LintasGAYO ke-2, 8 Januari 2016 lalu di Halaman GOS Takengon.

Ada 3 mobil yang akan berangkat ke Ketol. Saya menumpang sebuah mobil rental yang dikendari Feri Yanto. Dan segera menjemput rekan-rekan aktivis HMI lainnya. Bang Iranda dan keluarganya  ditemani Diana menumpang satu mobil, bang Khalis dan bang Irwan menumpang sebuah mobil Katana. Mereka berangkat lebih awal.

Ditengah perjalanan hujan deras terus mengguyur bumi Gayo. HP kembali berdering, sebuah pesan singkat masuk. Ternyata dari seorang penyuluh pertanian dan juga petugas pencatat curah hujan di Aceh Tengah. Pesannya berisi prediksi BMKG tentang curah hujan ekstrem terjadi di wilayah Gayo, dengan anomali perubahan iklim. Ku balas pesan tersebut, dan segera membuka tablet untuk meneruskan info tersebut menjadi sebuah berita. Namun, keadaan sinyal tak memungkinkan saat itu, karena kami menempuh jalur Kute Panang menuju Ketol, ku urungkan sejenak menulis berita tentang cuaca.

Hujan masih tetap mengguyur. Mobil yang kami tumpangi sudah berada di wilayah Ketol, Simpang 4 Rejewali kami mengambil jalan menuju jalur Bah dan Serempah. Keadaan jalan yang lumayan berat harus kami lalui, keadaan jalan licin, aspal rusak menjadi kenikmatan bagi kami, yah apa boleh buat. Feri mengemudi penuh konsentrasi dan kehati-hatian.

Hamparan Sawah Bumi Serempah Ketol Aceh TengahTiba kami di Kampung Kute Gelime, hamparan sawah terbentang disini. Puluhan ibu-ibu telihat berada ditengah sawah. Memegang serulit, memotong padi (Gayo : Munoling). Terlihat hamparan padi sebagian sudah menguning, memang layak untuk dipanen.

Tak jauh dari Kute Gelime kami melalui sebuah jembatan berangka baja, hingga kami tiba di Kampung Bah, Feri hendak membeli sesuatu, dia menghentikan kenderaan dan menuju ke sebuah kios. Kampung Bah sebenarnya tak asing lagi bagi saya, ini adalah kampung leluhur saya, sebelum mandah ke daerah Pegasing. Menunjuk sebuah rumah tua, yang kata seorang famili merupakan kediaman dari datu banan (ibu dari Kakek). Terasa pulang kampung, walau aku sudah tak mengetahui mana famili yang tinggal di daerah ini.

Kami pun melanjutkan perjalanan ke Serempah, sekira 4 KM lagi kami sampai, namun menuju ke kemari tak mudah, kami harus melewati ruas jalan sempit, lumpur bercampur bebatuan dan kubangan yang menghiasi perjalanan. Sesekali berjumpa dengan turunan lumayan terjal. Dikejauhan, kami melihat keramaian, ternyata bang Iranda ditemani Camat Ketol, Kepala UPTD Pendidikan Ketol, Reje Serempah, beberapa orang kepala sekolah dan warga setempat.

Buku-gempa-gayo-1Bang Iranda memberi isyarat untuk berhenti. “Tidak bisa masuk ke Serempah, jalan tanjakan dan licin, tunggu disini saja,” ujarnya dan kami mengikuti arahan beliau. Dari tempat yang akhirnya ku ketahui bernama, Ume Tamak. Serempah yang saat ini didiami warga merupakan kampung relokasi, setelah kampung asal amblas hilang ditelan gempa berkekuatan 6,2 SR, 3 tahun silam. Hampir semua warga kehilangan tempat tinggal, beberapa orang dinyatakan tewas tertimbun.

Rencana awal, penyerahan bantuan hasil lelang buku Gayo 6,2 SR berjumlah 14,3 Juta Rupiah, dilakukan di SDN 10 Ketol. Ada 3 SD dan 1 SMP yang direncanakan menerimanya.Sebelumnya, kami bersepakat bantuan tidak diserahkan berbentuk uang tunai, tapi dalam bentuk peralatan sekolah, agar lebih bermanfaat digunakan oleh anak-anak disana.

Usai dilakukan komunikasi antar berbagai pihak, disepakati bantuan diserahkan di sebuah Mersah (Menasah-Red) tue yang ada di daerah itu. Pak Camat, Maimun, ST menghubungi siswa dan guru 4 sekolah yang akan diberikan bantuan, mereka sudah terlebih dahulu berada di SDN 10 Ketol, sebenarnya jaraknya ke Ume Tamak tidak jauh, hanya 2 KM saja.

Sembari menunggu kedatangan siswa-siswa itu, yang ada dalam pikiran saya adalah, kepolosan mereka. Disitu pasti ada kecerdasan yang tersimpan, hanya saja bagaimana cara mengasahnya. Kampung ini bisa dikatakan salah satu kampung terisolir.

Anak-anak KetolSatu persatu siswa itu datang, kebanyakan mereka berjalan kaki, sebagian ada yang diantar menggenderai sepeda motor dan sebuah mobil. Disitu mulai ku perhatikan satu persatu pola tingkah mereka. Keinginan kuat dalam menuntut ilmu, tak menjadi kendala dengan segala kekurangannya. Sebagian sepatu yang mereka kenakan basah dan bercampur lumpur, percikan lumpur juga mengenai seragam mereka. Ada siswa yang memilih melepas sepatunya, dan menggunakan telapak kaki saja, tanpa alas apapun.

Perasaan sedih dan haru terlintas dalam hati, sebagai seorang pendidik ada getaran kemanusian muncul. Air mata ingin tumpah, namun ku tahan sekuat tenaga. Sesekali ku sapa anak-anak itu, menanyakan namanya, kelas berapa, udah bisa baca dan nulis apa belum, udah bisa berhitung apa belum. Ada yang menjawab sudah, banyak juga yang menjawabnya belum.

Mendengar jawaban itu, pikiran berandai kemana-mana, anak itu menjawab polos. Dalam aura wajahnya ada terpancar kecerdasan. Saya belum peroleh data terkait jumlah guru yang mengajar di sekolah-sekolah terpencil itu. Jadi saya urungkan menjudge kemana, apa mereka kekurangan guru. Tapi, bisa saja ini benar jika data itu sudah aku dapatkan, kualifikasi pendidikan guru juga menjadi andai-andai saya. Tapi, apa bole buat lagi-lagi kelemahan data akan hal itu, mengurungkan itu semua.

Feri mempersilahkan anak-anak itu memasuki Mersah, dipersilahkan duduk, dengan pakaian yang mereka kenakan dalam keadaan basah dan kotor terkena lumpur. Masih ada beberapa anak lagi yang harus ditunggu, sebelum acara penyerahan bantuan dimulai. Aku meminta waktu, untuk membuat sebuah permainan ala kadarnya.

Permainan yang ku peroleh untuk membuat pelajaran matematika menjadi menyenangkan, tidak lagi menakutkan. Permainan ini aku adopsi saat masih menjadi mahasiswa di FKIP Unsyiah, jurusan Pendidikan Matematika beberapa tahun silam. Ada seorang dosen senior yang merupakan pendiri jurusan Pendidikan Matematika di Kampus Jantung Hate Ureung Aceh tersebut. Namanya Hasan Munir, keahlian aljabar dan geometrinya tak diragukan lagi, dan beliau merupakan putra asli Gayo. Ku buka tablet, mencari instrumen yang akan ku mainkan menghibur anak-anak itu.

Wallahu A'lam BishawabDengan bekal seadanya ditambah kondisi badan yang kurang fit, niat menghibur anak-anak itu mulai kulakukan. Ku buka angka-angka yang ku foto dari 7 kartu yang sudah tersimpan lama dalam folder galery tablet, isinya hanya angka-angka. Sebuah permainan kecil, menebak angka yang telebih dahulu disimpan oleh anak yang saya tunjuk. Awalnya anak-anak itu merasa canggung dengan permainan ini. Saya alihkan ke siswa SMP, permainan saya ubah, saya ingin mengetahui tanggal lahirnya lewat instrumen ini, tampak dia bersemangat, satu demi satu dari 7 kartu berisi angka-angka yang sudah terlebih dahulu saya susun berdasarkan karakteristik angka itu kemudian diolah dengan menggunakan barisan dan deret aritmetika, agar dengan mudah saya menebak angka yang disimpan oleh objek yang saya uji.

Ujian pertama berhasil saya tebak. Anak-anak itu tampak bersemangat, ada perasaan malu di anak yang duduk disebelah anak itu, saya tau dia ingin di tes juga, kemudian saya menyuruhnya menyimpang angka dari 1 hingga 127, yang kemudian akan saya tebak. Ujian kedua ini pun berhasil, begitu seterusnya. Di sudut kiri, terdengar permintaan dari Bang Khalis, katanya pak Reje ingin dites juga. Tantangan mengetes reje pun terbayarkan, sang Reje menyimpan angka 63 dan berhasil saya tebak.

Bang Khalis kemudian menyuruh saya mengajarkan cara permainan itu kepada anak-anak, saya pun mengiyakan, tapi saya yakin anak di tingkat SD belum terlalu peham dengan penjelasan saya, maka saya fokus menjelaskan ke siswa SMP. Mendengarkan penjelasan secara matematisnya, tampak tak terlalu sulit bagi mereka memahami penjelasan saya. Penjelasan berupa ciri-ciri bilangan asli, karakter bilangan dan barisan dan deret lewat aritmetikanya mereka lahap semua. Disitu saya berkesimpulan, bahwa ada kecerdasan yang terpancar di wajah polos anak-anak itu.

Saya pun kemudian mengajak mereka setelah mereka menamatkan pendidikannya di SMP untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya di SMAN 1 Takengon. Ada yang tampak sumingrah dengan ajak itu, tentu dengan tes dan seleksi terlebih dahulu. Mereka pasti mampu melewati tes di sekolah tertua itu.

Usai permainan itu, acara penyerahan bantuan dimulai. Tapi saya masih ingin menuliskan kecerdasan di wajah polos anak-anak itu. Ditengah beban berat, baik perekonomian keluarga yang kurang memadai, fasilitas pendidikan yang bisa saya pastikan terbatas, dan juga kekurangan tenaga pengajar, ada harapan asa dan cita dalam wajah mereka.

Seolah mereka menantang dunia, untuk bisa sekolah setinggi-tingginya. Hanya berbekal ilmu, kecerdasan itu harus mereka asah. Harapan dan cita mereka, ada pada pemegang kebijakan negeri ini, yang hendaknya tulus memajukan pendidikan di wilayah terluar dari bumi Reje Linge ini. Karena dengan pendidikan lah, suatu negeri dapat terangkat, lewat SDM yang mumpunilah sebuah daerah akan lebih maju.

Jangan biarkan, kecerdasan mereka terkubur dengan keinginan serakah kita. Lihatlah, pendidikan di daerah terluar negeri ini, yang selalu termarginalkan oleh akses, tenaga pengajar dan fasilitas pendukung kemajuan pendidikan. Kecuali, hanya orang buta hati dan buta mata saja yang tak mau melihatnya. Miris, sedih bercampur menjadi satu, pendidikan sebagai tonggak kemajuan daerah seolah terabaikan oleh birahi kemegahan dunia, tanpa peduli dan berlaku adil.

Liriklah mereka di wilayah terluar negeri ini. Jangan hanya duduk di kursi panas, mendengar dan menerima laporan tentang permasalahan pendidikan yang bisa saja di rekayasa. Teringat juga, saat saya berkunjung ke wilayah Rusip baru-baru ini, pemandangan yang sama juga terlihat.

Semoga pemegang kebijakan di negeri ini mau serius mengurusi pendidikan di daerah termarjinalkan. Kita doakan saja, mereka (pemimpin) terbuka hatinya, lewat sebuah program dan gebrakan untuk mengubah wajah dunia pendidikan negeri ini. Wallahu A’lam Bishawab

*Sekretaris Redaksi LintasGayo.co

Murid SD penerima bantuan alat sekolah hasil lelang buku Gayo 6,2 SR
Murid SD penerima bantuan alat sekolah hasil lelang buku Gayo 6,2 SR

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.