Penderita Mukedel ‘Kusta’, Haruskah Dikucilkan?

oleh
Jemali dalam kesendirian dalam pengucilan. (LGco_Khalis)

Laporan : Khalisuddin (Blangkejeren)

Jemali dalam kesendirian dalam pengucilan. (LGco_Khalis)
Jemali dalam kesendirian dalam pengucilan. (LGco_Khalis)

SUDAH jatuh tertimpa tangga pula, demikian nasib naas penderita Kusta (Kedel:Gayo-red) seperti dialami seorang warga Kampung Rerebe Kecamatan Tripe Jaya Kabupaten Gayo Lues, Jemali (60).

Dia terpaksa hidup seorang diri di gubuk reot ditengah ladang milik salah seorang familinya. Jemali dipaksa berpisah dari istri, anak dan cucu tercinta sejak puluhan tahun silam, saat dia sedang menikmati hidup bahagia bersama istri dan 2 orang anaknya yang saat itu masih kecil.

“Saya tidak ingat lagi persisnya, berapa lama saya hidup sendiri disini sejak 2 anak saya masih kecil dan kini sudah punya anak,” kata Jemali saat ditemui LintasGayo.co di gubuk ‘pungkucilannya’, Kamis 31 Desember 2015.

Dalam kesendiriannya, Jemali meneruskan sisa hidupnya dengan menderes pohon aren yang pohonnya bisa dijangkau tanpa mesti memanjat. Dia membuat gula aren dan menjualnya kepada masyarakat. “Syukurlah masih ada yang mau membeli gula aren yang saya buat, uangnya saya beli beras,” ungkap Jemali lirih.

Jemali pernah menjalani pengobatan di Sumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Sumatera Utara selama 2 tahun, dan dipulangkan setelah dinyatakan sehat oleh pihak rumah sakit.

Status sosialnya pun serta-merta berubah, semula mulai cerah, namun beberapa waktu kemudian bentuk jari-jarinya berubah, pandangan miring kembali menimpanya, dan lebih parah. Dia terkucil.

Dr. Zulfikar
Dr. Zulfikar

Tak mesti dikucilkan
Penyakit Kusta, menurut dr. Zulfikar yang sehari-hari bekerja sebagai Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Puskesmas Tripe Jaya tidak menular lagi jika sudah menjalani pengobatan intensif setiap harinya selama 6 bulan untuk kategori ringan dan 9 bulan untuk Kusta berat. Karena kumannya sudah mati.

Cuma saja, kata Dokter muda yang masih membujang ini, Kusta atau Kedel dianggap penyakit kutukan oleh masyarakat Gayo. “Harusnya tidak lagi dikucilkan, penderita yang sudah menjalani pengobatan sesuai ketentuan medis penyakitnya sudah sembuh dan tidak menular lagi karena kumannya sudah mati. Justru yang berbahaya adalah TBC,” ungkap Zulfikar.

Ditanya kenapa jari-jari tangan Jemali jadi cacat walau sudah dinyatakan sehat, Zulfikar menjelaskan jika kondisi tersebut dikarenakan reaksi kusta itu sendiri.

“Penderita Kusta yang alami cacat setelah pengobatan intensif bukan karena kuman masih hidup,” tegas Zulfikar.

Untuk menghindari penularan Kusta, penyakit yang disebabkan karena sosio ekonomi ini, dijelaskan Zulfikar dengan menghindari kontak dengan penderita yang belum berobat.

“Jika sudah berobat tidak ada masalah lagi. Dan Kusta tidak mudah menular, butuh 2-5 tahun untuk menular dari si sakit kepada orang sehat, itupun jika mereka berhubungan kontak terus menerus,” ulang dokter ini. Dia juga mengingatkan jika Kusta bukan penyakit keturunan.

Kambing hutan (Gayo ; noang)

Turun Temurun Soal ‘Kedel’
Penyakit ‘Mukedel’ menurut cerita turun-temurun masyarakat Gayo Lues diungkapkan seorang tokoh masyarakat di Blangkejeren, H. Zainuddin Aman Mawar. Ada 4 penyebab.

“Mudekel akibat melanggar pantangan yakni memakan daging kambing hutan (Noang:Gayo-red), ini berlaku untuk Urang Pining dan Rerebe dan seluruh keturunannya,” ungkap Aman Mawar.

Dikisahkan, dulu salah seorang nenek moyang Urang Pining dan Rerebe menderita penyakit Mukedel dan diasingkan ke tengah hutan. Penyakit tersebut seketika sembuh setelah dijilati Noang saat si penderita Kedel tidur. Sejak itu hingga sekarang Urang Pining dan Rerebe pantang makan Noang kalau tidak mau menderita gatal-gatal atau lebih dari itu, kusta.

Sebab lain, dikatakan H. Mawar yang dilahirkan di Uring ini, anggapan masyarakat Kusta itu disebabkan karena keturunan.

Selanjutnya karena termakan sumpah saat menyatakan dirinya benar, namun ternyata salah. “Si polan mukedel akibat makan sumpah, begitu kata orang-orang jika bercerita tentang pendrita Kedel,” ujar H. Aman Mawar.

Dan penyebab terakhir adalah akibat dikirim orang yang sakit hati, seperti santet.

Gubuk pengasingan Jemali. (LGco_Khalis)
Gubuk pengasingan Jemali. (LGco_Khalis)

Kasihan Mereka
Sebenarnya, tidak semua komponen masyarakat Tripe Jaya mengucilkan mantan penderita Kusta seperti Gecik (kepala desa) Rerebe, Sedang serta seorang pemuda setempat, Hasan Bara.

Keduanya berharap ada kebijakan pihak terkait agar mantan penderita Kusta diperlakukan lebih layak seperti manusia umumnya. “Bagaimana upaya tempat mereka seperti kita berbaur dengan masyarakat,” harap Sedang.

Dia berharap upaya penanganan Kusta dilakukan lebih serius dan sesuai fakta lapangan. “Tahun 2006 silam pernah ada program untuk penanganan Kusta namun hanya untuk 5 orang, padahal di lapangan ada 20 orang, ada selisih data, kenapa?” ujarnya bernada tanya.

Jemali dan Hasan Bara (kanan)
Jemali dan Hasan Bara (kanan)

Selain itu, perlu upaya serius untuk membebaskan Tripe Jaya dan Gayo Lues umumnya dari Kusta karena menurutnya masih ada penderita baru di tahun 2015.

Sementara Hasan Bara yang beberapa bulan lalu melakukan pendataan Kusta di Tripe Jaya mengungkapkan jumlahnya mencapai 60 orang.

“Perlu validasi medis untuk data-data yang saya peroleh agar penanganannya tepat, baik medis untuk penderita maupun sosialisasi kepada masyarakat jika yang sudah berobat tidak perlu dikucilkan lagi,” kata Hasan Bara yang mengaku sedang membentuk komunitas peduli Kusta di kabupaten Gayo Lues.[]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.