[Cerpen] Menikahlah Selagi Aku Masih Hidup

oleh
Ilustrasi Lelaki Gayo

Mahlizar Safdi

Ilustrasi Lelaki Gayo
Ilustrasi Lelaki Gayo

JADI begini, mumpung lagi single boleh lah kita sedikit bercerita tentang calon istri atau calon tunangan.

Sebagai orang yang sudah berumur, kata-kata sopan dan halus untuk menyebut orang yang sudah tua. Padahal menurutku, aku masih sangat muda. Malah seperti baru usia 17 tahunan. Maka sebagai seorang ibu, menueurt Ine sudah waktunya bagiku untuk menikah. Begitu juga dengan Awan yang sudah berumur hampir satu abad, Awan selalu menanyakan kapan akan menimang cucu baru. Aku dipanggil untuk dinasehati, sebuah pertemuan setara dengan 4 SKS. Singkat cerita, beginilah kisahnya.

Dimulai dari Ine, di kediamannya yang tepat berada di depan tower atau menara sebuah stasiun TV nasional. Di sebuah desa yang jauh dari kebisingan kendaraan dan dipenuhi pula dengan pepohonan. Mulai dari pohon nangka, kopi, temung dan juga padi.

Dipagi yang cerah itu Ine memanggilku dan mempersilahkan untuk duduk karena ia ingin membicarakan sesuatu,  sambil memangku Aisha kecil yang baru saja ganti popok. Tiba-tiba saja Ine membuka topik pembicaraan dengan diawali pertanyaan tentang kuliah.

“Bagaimana kuliahmu Wien ?”

“Alhamdulillah lancar Ne, ya walau banyak mata kuliah yang tertinggal dan banyak juga yang harus Lizar ulang”

“Kira-kira berapa lama lagi kuliahmu itu Wien ?“

“Wah, mungkin sekitar dua tahun lagi Ne !“

Dengan tanpa merasa bersalah aku katakan saja dua tahun lagi, seolah dua tahun itu waktu yang singkat seperti dua minggu. Begitulah kira-kira mudahnya aku menjawab pertanyaan dari Ine.

“Lah kalau dua tahun lagi kapan kamu nikahnya Wien ?”

Sontak seluruh jiwa dan ragaku terkejut, perut mual, mata terbelalak, jantung berdegup kencang. Dalam keadaan demikian kaki sengaja kugoyang-goyangkan agar tak terlihat bergetar. Ya meski sebenarnya tidak sedramatis itu juga sih.

Akan tetapi pertanyaan Ine bukanlah sesuatu yang kuduga, sehingga aku tidak pernah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan itu. Lain halnya tentang kuliah, aku sudah mulai terbiasa menjawab pertanyaan seperti itu, karena setiap berjumpa dengan sanak saudara selalu saja kuliahku yang dipertanyakan. Dengan iming-iming pekerjaan jika telah mendapat gelar sarjana kelak. Namun kali ini pertanyaan tentang kapan menikah membuatku sedikit terguncang.

“Waduh, itu lebih lama lagi mungkin Ne”, aku berhasil menjawab untuk menepis pertanyaan Ine.

“Kecuali ada orang tua yang rela anaknya aku nikahi sebelum aku menjadi sarjana Ne, tapi jaman sekarang susah mencari calon istri sekaligus calon mertua yang rela anaknya dilamar pemuda yang hanya tamat SMA”, kataku untuk lebih meyakinkan Ine.

Aku mulai berpikir akan terbebas dari pertanyaan ini, kulihat Ine seperti sedang berpikir mengenai jawabanku tadi. Mungkin dia berpikir ada benarnya juga apa yang baru saja kukatakan. Namun semua perkiraanku salah, malah Ine-ngku lebih setuju aku menikah terlebih dulu baru kemudian menyelesaikan kuliah, aku semakin tak berdaya ketika Ine mengatakan hal tersebut.

“Ine lebih suka kalau kamu menikah dulu baru kemudian menyelesaikan kuliah, mungkin dengan keberadaan seorang istri kamu akan lebih giat menyelesaikan kuliah Wien”, Ine terdiam sejenak, kemudian kembali melanjutkan fatwanya.

“Nah untuk kriteria calon istri menurut Ine nih ya! tapi semua terserah sama kamu juga Wien. Kalau bisa jangan cari calon istri yang ada di Takengon ini Wien, sudah jauh-jauh kamu pergi kuliah ke perantauan sana, ya sama saja kalau masih mencari calon istri di sekitaran Aceh Tengah ini. Bukannya mau merendahkan, Ine takut nanti dia kurang pengalaman dan juga kurang wawasan. Boleh saja dari daerah sini, tapi dia harus lulusan kampus luar Aceh Tengah. Biar dia punya banyak  wawasan untuk mendidik anak-anakmu kelak Wien”.

“Dalam hati aku berteriak mati aku mak, anakmu ini belum sarjana Ine minta menantu yang sarjana pula”

“Kemudian yang kedua“, Ine melanjutkan fatwanya

”Ine mau menantu yang baik agamanya, lembut perilakunya, taat kepada kedua orang tua kemudian pintar dunia dan akhirat”

“Nah kalau masalah fisik, Ine serahkan semua sama kamu nakku, tapi kalau boleh Ine sarankan carilah yang cantik”, aku berguman dalam hati

“Sudah sarjana, yang cantik pula”

“Tapi itu tidak wajib, sekali lagi Ine katakan semua terserah sama kamu mau yang seperti apa istrimu itu kelak”. Terdiam sesaat kemudian Ine mulai berbicara lagi.

“Kaukan tau sendiri saudaramu, sepupu-sepupumu mereka semua cantik-cantik dan tampan-tampan seperti kau. Nah kalau dia tidak bisa lebih cantik dari mereka, paling tidak samalah”, Ine berhenti sejenak untuk membersihkan wajah si Aisha kecil yang belepotan oleh biscuit Sunnya.

“Ini juga demi kemaslahatan istrimu kelak, agar istrimu tidak minder dan jadi bahan pembicaraan yang jelek-jelek nantinya”

Dalam keadaan tidak berani membantah perkataan Ine aku terus saja menjawab pertanyaannya dalam hati, yang bila disuarakan bunyinya kira-kira seperti ini;

“Ineee Ineee, sampai saat ini saja anakmu ini masih menjomblo Ine, bagaimana bila persyaratanmu ini harus dipenuhi Inee ?. Bagaimana ini ?”

Kemudian Ine melanjutkan pembicaraan, aku masih tetap bersila dengan kepala menunduk untuk tidak menampakkan air muka, karena Ine-ngku ini sangat ahli membaca raut wajah anak-anaknya. Seolah dia mendengar jeritan suara hatiku, Ine kembali berkata.

“Ine tau memang sulit, kamu berdoa kepada Allah. Minta petunjuk-Nya dengan mendirikan shalat tahajjud, perkuat lagi shalat fardhumu dan sering-seringah berpuasa”

Disela-sela pembicaraan ini Aisha mulai merengek-rengek karena ia sukses menghabiskan biscuitnya di muka. Akupun merasa lega karena kemungkinan besar pembicaraan tentang kapan aku menikah akan segera usai. Benar saja, Ine memerintahkanku untuk membeli  biscuit baru buat Aisha.

“Ingat itu “, kata Ine

“Jangan lalai lagi, semakin cepat akan semakin baik”

Sejak saat itu aku sering memikirkan semua perkataan Ine, aku tau maksudnya pasti baik, namun aku belum siap secara mental. Seiring dengan berhembusnya angin setelah beberapa hari pembahasan tentang wacana pernikahanku benar-benar berakhir. Ine tidak pernah lagi menyinggung masalah itu.

Setelah hampir satu bulan di kota Takengon, saya mulai rindu dengan suasana kota Banda Aceh. Begitupun dengan teman-teman yang sudah sejak dua minggu mereka selalu menanyakan kapan kembali berkumpul bersama. Sejak saat itu mereka tidak ada henti-hentinya terus menggodaku untuk cepat kembali ke Banda Aceh, berbagai cara mereka lakukan.

Contohnya si Jidadbro, dia selalu saja bercerita tentang bagaimana “adek pake helm” datang dan pergi saat dia dan teman-teman yang lainnya sedang duduk di meja nomor 1 dek mie rukoh, karena dia tau. Mereka juga tau.

Aku selalu memperhatikan dia pake helm dan selalu tak berkutik kala bertemu pandang. Pernah sekali ketika aku baru saja menanyakan kedatangannya kepada kasir kita (kasir versi bang Mus yang sedang pegang jenggot) dan ketika berbalik dia tepat berada di hadapanku dengan anggunnya menebar senyum terindahnya untuk kemudian membuatku semakin membisu. Saat itu teman-teman semeja mulai bersorak-sorai dengan ketidak berdayaanku. Nah aku rindu suasana suasana seperti itu. Begitupun  juga mereka, mereka sangat merindukan kehadiranku yang terkenal sebagai penghangat suasana sekaligus untuk membuat suasana 4 orang menjadi seakan-akan 10 orang. Terimakasih klinik tong fang. Terimakasih teman, kalian selalu ada dalam ceritaku.

Sekarang giliran Awan. Nah beberapa hari sebelum kepulanganku ke Banda Aceh sempat mampir untuk menjenguk Awan. Meski ingatannya sudah sangat sulit, namun ia tidak lupa menanyakan juga tentang kapan aku menikah, namun kali ini aku hadapi dengan santai.

Ningko nge ke ara tenelen?”

Tenelen hana Wan ?”

Yaah ke tenelen kin kumpu-ngku, cumen enti arap nge kin tene pelin, teirennye kerje ! wan tengah morip aku ni”. Aku terdiam sejenak, kemudin mengiyakan dengan enggan permintaan Awan. Tapi akhirnya aku jawab juga.

Aku gere siep ilen Wan

Gere siep hanahé kin ningko? umah nge ara, empuspé nge ara. Sanahé len si kurang?

Mendengar si Awan berbicara seperti itu akupun terdiam tak punya jawaban untuk yang satu ini, ingin rasanya mengatakan kepada Awan kalau aku harus menyelesaikan kuliah  terlebih dulu, tapi kemudian aku teringat kata-kata Awan.

Wan tengah morip aku ni, kerje renye ko Wien”, yang artinya kurang lebih ”semasa aku masih hidup, kau nikahlah terus Wien”. Mendengar kata-kata seperi ini akupun tak membantah lagi, permintaan Awan seolah-olah adalah permintaan terakhirnya.

Begitulah kira-kira cerita singkatku ketika sedang berada di tanah kelahiran selama sebulan lebih, diwaktu itu pula banyak sekali gosip beredar kalau aku memang benar-benar akan menikah di Takengon, kemudian ada juga yang bilang kalau aku pulang ke kampung halaman untuk dijodohkan. Malah yang lebih ekstrim lagi, ada yang menganggap kalau aku ini sebenarnya sudah punya anak di Takengon, sampai-sampai aku harus mengklarifikasinya di status facebook dan kepada semua orang yang menanyakan kebenarannya.

Nah sepenggal kisah ini berdasarkan kisah nyata yang telah diracik dengan banyak sekali bumbu kata-kata yang hancur.[SY]

 

*Dikurasi dari naskah dan judul semula “kapan kamu menikah weeeen ?”.

Mahlizar-Safdi.Mahlizar Safdi, lahir di Wih Nareh Takengon Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Mahlizar tercatat sebagai anggota kehormatan di Teater Rongsokan UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pernah meraih juara pertama lomba baca puisi Peksimida di Bireuen pada tahun 2014, juga pernah berperan dalam film pendek yang berjudul “Polem Ibrahim” dan pemeran dalam film serial pendek Malaysia berjudul “Kitab Cinta”. Mahlizar Safdi saat ini tinggal di Takengen mengelola sebuah cafee dengan menu utama Kopi Gayo.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.