Gasing Gayo : Kaya Istilah dan Filosofi, Permainan Rakyat Mulai Ditinggalkan

oleh
Perlombaan Gasing pada Festival Gasing Gayo 2011 oleh FORMI Aceh Tengah. (Wein Mutuah)

Catatan : Darmawan Masri*

Perlombaan Gasing pada Festival Gasing Gayo 2011 oleh FORMI Aceh Tengah. (Wein Mutuah)
Perlombaan Gasing pada Festival Gasing Gayo 2011 oleh FORMI Aceh Tengah. (Wein Mutuah)

Bergasing jema rami//taos aging i buli//
I jening urum tetemi//bergegantin ke belewen//

Dong ilet ke muneging//enge edet bergasing//
Tali uyet kin periling//alak nenting i beden//

Sara mi berpaduk//Uah ni kemili i ceruk//
Bergegantin taroh i tumpuk//porak sejuk rasa uren//

Berpaduk kalah menang//Emping telutuk pe gersang//
Gerbak gerbuk iwani girang//jema malang kenyanyan//

Ara mien men gampar//jege jelen reringkel//
Dapur ujung i kawal//Sahan bacar gere puren//

Begitulah penggalan lirik didong berjudul “Gasing” karya Ceh Didong kesehor dengan Kelop Kemara Bujang, Sali Gobal, asal Kampung Kung, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah, yang diciptakan pada tahun 1964.

Gasing, itulah salah satu permainan rakyat yang sudah mendarah daging dalam diri urang Gayo sejak lama. Meski Gasing bukanlah, permainan rakyat tradisional yang hanya dimiliki urang Gayo saja, namun Gasing di Gayo kaya akan istilah dan filosofi yang berbeda dengan daerah lain. Oleh sebabnya, seorang ceh sekaliber Sali Gobal, juga menciptakan lagu tentang permainan edet bergasing di Gayo.

Mengutip Wikipedia, Gasing adalah permainan tradisional Melayu Tua yang hampir ada disemua wilayah Asia Tenggara, dimana setiap wilayah itu mempunyai ciri khas yang berbeda tentang permainan ini. Terlebih di Indonesia hampir diseluruh penjuru nusantara pun memilki tradisi yang berbeda mengenai permainan ini, termasuk nama untuk setiap wilayah di Indonesia pun berbeda. Minsalnya masyarakat Jawa Barat dan DKI Jakarta menyebutnya Gangsing atau Panggal. Masyarakat Lampung menamaninya Pukang, Kalimantan Timur menyebutnya Begasing, Maluku disebut Apiong dan Nusa Tenggara Barat dinamai Maggasing. Nama maggasing atau Aggasing juga dikenal masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sedangkan masyarakat Bolaang Mongondow di daerah Sulawesi Utara mengenal Gasing dengan nama Paki. Orang Jawa Timur menyebut Gasing sebagai kekehan. Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu disebut Gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon. Hanya masyarakat Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Tanjungpinang dan Kepulauan Riau yang menyebut Gasing. (Sumber : Wikipedia). 

Tahun 2011 silam, saya bersama rekan-rekan dari pengurus Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI) Aceh Tengah, berniat membuat perlombaan permainan rakyat. Berdasarkan kesepakatan bersama, sebagai wadah yang berkomitmen menjaga permainan tradisional Gayo tetap terjaga, Gasing, disepakati untuk diperlombakan. Perlombaan itu dikemas dalam Festival Gasing Gayo 2011.

Pertandingan Gasing yang sesuai kesepakatan akan digelar di Kampung Gelelungi, Kecamatan Pegasing, Aceh Tengah. Ini adalah kali pertama Gasing dipertandingkan, sehingga membuat kami kekurangan literatur dalam hal penentuan pemenang, dan tata cara pertandingan yang sesuai. Dua minggu sebelum pertandingan digelar, kami melakukan beberapa survey ke beberapa Kampung di kawasan Pegasing. Tebuk, Uring, dan Gelelungi adalah kampung yang kami kunjungi.

Rezeki menghampiri kami, karena saat itu kebetulan tengah musimnya warga menanam padi (Gayo : Berume), kebiasaan masyarakat di beberapa kampung itu, saat berume dimulai, banyak dikalangan anak-anak dan orang dewasa lainnya membuat Gasing, sehingga tak menyulitkan kami untuk meminta masyarakat setempat membuat gasing dan memainkannya.

Setelah melihat cara pembuatan gasing, dan melihat permainan tersebut secara langsung, saya langsung mencatat tata pola permainan yang kemudian kami jadiakan sebagai petunjuk teknis dalam perlombaan gasing.

Dan setelah melalukan beberapa wawancara dengan beberapa warga, ternyata di Gayo permainan ini mempunyai arti tersendiri dan penamaannya pun sangatlah banyak, mulai dari cara membuat sampai menjadi Gasing, hingga memainkannya pun mempunyai banyak nama (istilah). Hasil wawancara ini, mendapatkan banyak hal yang pada prinsipnya harus dicatat, agar generasi muda Gayo ke depan tidak kehilangan tentang filosofi arti dan makna dari permainan Gasing itu sendiri.

Dahulu Urang Gayo biasa memainkan Gasing dalam waktu tertentu dan yang paling sering dilakukan adalah pada saat berume dimulai. Saat itu, semua warga yang memiliki sawah akan mencari kayu yang akan dijadikan sebagai tonggak pagar (Gayo : Tersik), yang dijadikan warga sebagai pelindung lahan tempat menyemai bibit padi (Gayo : Penyemen). Sisa dari tersik-tersik itu dibuat menjadi Gasing.

Tersik tidaklah sepenuhanya dibuat menjadi Gasing, karena setelah proses berume selesai tersik dapat kembali digunakan untuk hal lain. Kembali ke Gasing, Urang Gayo menyebut kayu yang akan dibuat Gasing sebagai Aging. (taos aging i buli). Dalam bahasa Gayo sering dikenal dengan istilahIke Tersik gere tentu tos kin Gasing, tapi ke Aging nge pasti tos kin Gasing”.  Saat ini kata-kata Anging sudah jarang didengar oleh kalangan muda Gayo.

Setelah Aging ada maka barulah proses pembuatan Gasing dimulai dengan membuat “Turun, Ulu dan Gasing”. Ketiga istilah itu juga saat ini sudah jarang didengar. Turun adalah Aging yang telah diolah sudah berbentuk runcing, tetapi lingkaran Gasing belum dibuat. Setelah turun kemudian membuat Ulu atau kepala Gasing, dan barulah menjadi Gasing yang sebenarnya.

Bagi Urang Gayo makna permainan Gasing adalah kebalikan dari makna hidup manusia sesungguhnya, karena dalam permainan Gasing yang dijadikan sebagai alat untuk memutarkan tubuhnya adalah bagian kepala (Gayo : Ulu), berbeda dengan proses kehidupan manusia dimana kepala yang menyimpan otak dan organ-organ lainnya dijadikan manusia untuk berfikir.

Setelah proses pembuatan Gasing selesai, barulah permainan Gasing dimulai. Ada dua kelompok yang akan bertanding dalam satu pertandingan. Sebelum pertandingan dimulai, maka terlebih dahulu kedua kelompok ini akan melakukan pengundian. Pengundian dalam bergasing dalam masyarakat Gayo, dikenal dengan istilah Adu Mess. 

Adu Mess dalam permainan Gasing Gayo. (Wein Mutuah)
Adu Mess dalam permainan Gasing Gayo. (Wein Mutuah)

Dalam Adu Mess ini, biasanya setiap kelompok akan menyiapkan Gasing lain (Gayo : Emping). Adu Mess bertujuan untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemukul (Gayo : Pangka) dan Penahan (Gayo : Peneging). Adu Mess dilakukan dengan cara, kedua kelompok akan mengadu gasingnya, dengan memutar sekaligus (Pemutar Gasing di Gayo biasanya terbuat dari akar sebuah kayu atau Tetemi). Siapa yang paling lama berputar, maka dia dinyatakan sebagai pemangka terlebih dahulu, selanjutnya yang duluan berhenti akan menjadi peneging.  

Setelah itu jenis pukulan pemangka pun dalam permainan Gasing Gayo dibedakan menjadi tiga kategori, yang pertama Tibuk, Panci, dan Timung. Pukulan-pukulan yang dipakai sesuai dengan perjanjian antara kedua belah pihak yang akan memainkan pertandingan Gasing.

Cicir

Dalam permainan Gasing Gayo, kelompok pemangka yang kemudian memukul Gasing Peneging ternyata tidak boleh berputar dengan ujung dari Gasingnya (Bagian runcing dari Gasing), melainkan Gasing pemangka harus berputar dengan bagian kepalanya. Jika hal tersebut terjadi, maka Gasing pemangka dinamakan Cicir (Berputar dengan bagian ujung Gasing saat memangka), kondisi ini akan mengakibatkan point untuk kelompok pemangka akan berkurang, sedangkan point untuk kelompok peneging akan bertambah. Kondisi ini berbeda dengan Gasing Peneging yang harus memutar gasingnya dengan bagian ujung gasing berada dibawah.

Remong

Kemudian dalam istilah bergasing di Gayo juga dikenal dengan nama Remong. Remong adalah apabila gasing pemangka setelah memukul Gasing peneging ternyata Gasing pemangka keluar dari arena permainan. Maka Gasing pemangka juga akan kehilangan pointnya dan peneging akan bertembah.

Rampas

Dalam permainan Gasing juga dikenal dengan istilah Rampas. Rampas adalah hak bagi gasing peneging untuk mempertahankan dari pukulan gasing pemangka. Kondisi ini biasanya terjadi, saat gasing memangka memukul gasing peneging, yang kemudian gasing peneging masih berputar, maka kesempatan gasing peneging untuk melakukan pertahanan dengan cara memukul-mukul gasingnya dengan tali pemutar gasing, jika gasing pemangka terlebih dahulu berhenti maka akan dinyatakan kalah, begitu juga sebaliknya.

Cara penilaian pemenang pertandingan Gasing dilakukan dengan cara menghitung pukulan pemangka apabila terjadi ketiga hal diatas maka Gasing pemangka dinyatakan kalah dan dimenangkan oleh Gasing peneging, dan sebaliknya apabila Gasing pemangka melaksanakan tugasnya dengan sempurna maka Gasing peneging dinyatakan kalah dari Gasing pemangka. Dan setelah itu giliran Peneging yang menjadi Pemangka.

Sekilar tentang permainan Gasing di Gayo, yang sarat akan makna filosofi. Gasing Gayo yang kaya istilah, saat ini merupakan permainan yang kurang diminati oleh anak-anak. Padahal, permainan rakyat ini telah lama mengakar di dalam diri urang Gayo.

Gasing juga memiliki filosofi dalam kehidupan masyarakat Gayo, gasing pemangka yang berputar dengan kepala menandakan bahwa kehidupan ini tidak akan selalu berada diatas, ada kala hidup seseorang akan berada di bawah.

Gasing juga dijadikan sebagai nama kampung kecamatan di Aceh Tengah. Dari cerita yang dituturkan secara turun temurun, dahulu di Kute Lintang pernah terjangkit wabah penyakit kolera yang sulit untuk disembuhkan. Melihat kondisi genting itu, Pemerintahan Reje Pegasing, mengumpulkan sesepuh kampung untuk mengatasi keadaan. Dari hasil kesepakatan, disepakati membuat penawar penyakit (Gayo : Sulih).Setiap warga harus membuat pagar yang berbentuk gasing (Peger Gasing) di depan rumah masing-masing guna menghambat wabah penyakit. Nama peger gasing lah yang kemudian dikenal dengan sebutan Pegasing.

Menurut cerita yang berkembang secara turun-temurun, Kampung Kute Lintang adalah sebuah kampung tua (Gayo : Kampung tue) yang pertama kali di huni, setelah migrasi dari Kecamatan Bebesen ratusan tahun silam. Dari kampung inilah kemudian masyarakatnya menyebar ke Gelelungi, dan kampung-kampung tue lainnya di Kecamatan Pegasing. Masyarakat Pegasing juga kemudian menyebar ke Kecamatan Silih Nara. Saat ini, Kampung Kute Lintang telah memekarkan beberapa kampung seperti Kampung Kayukul, dan Kampung Pegasing. Sedangkan Kampung Belang Bebangka dan Jurusen merupakan pemekaran dari Kampung Kayukul yang dulunya juga merupakan wilayah Kampung Kute Lintang.

*Sekretaris Redaksi LintasGayo.co dan Sekretaris FORMI Aceh Tengah

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.