Inspirasi Berqurban Seorang Pensiunan Pesuruh Kantor

oleh

Catatan : Fathan Muhammad Taufiq

Pak-GimanMELIHAT lelaki tua ini, sekilas mengingatkanku tentang sosok almarhum Mbah Marijan, juru kunci gunung Merapi yang terkenal itu, ada sedikit kemiripan wajah. Tapi sama sekali tidak ada hubungan antara lelaki tua ini dengan Mbah Marijan, karena keduanya memang tidak saling mengenal.

Aku mulai mengenal lelaki 71 tahun ini pada tahun 1990 yang lalu, saat aku mulai bekerja sebagai pegawai negeri, kebetulan dia adalah pesuruh sekaligus penjaga kantor Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, instansi dimana pertama kali aku ditugaskan.

Namanya cukup sederhana, Giman, sesederhana orangnya, lelaki yang usianya mulai merambat senja ini belum terlihat renta, dia masih kuat mendayung sepeda ontel tuanya untuk mengais rejeki di kebun miliknya yang tidak seberapa luas itu, dia masih kuat menanam ubi, pisang, beberapa jenis sayuran sambil merawat kebun kopinya.

Selama lebih dari 25 tahun aku mengenalnya, hampir semua sisi kehidupannya sudah kuketahui, karena memang dia sering “curhat” padaku, baik di kantor maupun di rumahku, aku sendiri sudang menganggap dia sebagai pamanku sendiri, sehingga aku memanggilnya Pak Lik.

Lalaki tua kelahiran Magetan, jawa Timur tahun 1944 yang lalu itu mulai menapakkan kakinya di bumi Serambi Mekkah pada tahun 1964 yang lalu, saat usianya baru menapak 20 tahun. Dia berangkat bersama puluhan temannya dari tanah Jawa untuk bekerja sebagai buruh kontrak perkebunan karet di daerah Singkil, waktu itu di daerah tersebut memang sangat banyak perusahaan  yang membuka areal perkebunan karet.

Tergiur iming-iming gaji yang lumayan, Giman muda yang hanya tamat Sekolah Rakyat inipun nekat meninggalkan kampung halamannya di daerah Magetan untuk merantau jauh ke ujung pulau Sumatera. Tapi kenyataan tak seindah yang dia bayangkan, sesampainya di perkebunan karet di daerah Singkil yang waktu itu masih merupakan bagian dari kabupaten Aceh Selatan, diapun mulai bekerja sebagai buruh kontrak yang pekerjaannya mengurus tanaman karet yang baru ditanam. Mulai bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 4 sore, Giman hanya digaji sekedar cukup untuk makan sehari-hari, bahkan tidak jarang dia harus berutang ke warung yang ada sekitar tempatnya bekerja, hanya sehkedar untuk mengisi perutnya, karena upah yang dia terima terkadang tidak mencukupi kebutuhannya sehari-hari.

Hanya mampu bertahan selama 3 tahun sebagai buruh di perkebunan karet itu, kebetulan dia mendapat seorang kenalan yang berasal dari daerah gayo Aceh Tengah, yang kemudian mengajaknya untuk “merubah nasib” di Tanoh Gayo. Tanpa fikir panjang lagi, Giman menyambut ajakan kenalannya itu, melalui perjalanan darat dengan kondisi jalan yang sangat sulit selama dua hari dua malam, sampailan Gian di Takengon, yang waktu itu masih merupakan kota kecil yang sepi. Diapun “ditampung” di rumah kenalannya itu untuk membantu pekerjaan di kebunnya, tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian kenalannya itu meninggal dunia akibat penyakit malaria yang “terbawa” dari Singkil.

Pak-Giman-1Sepeninggal temannya itu, Giman seperti “anak ayam kehilanhan induknya”, tak tau kemana harus mengadukan nasibnya. Tapi Giman bukanlah sosok yan g mudah putus asa, dia mulai menjalani pekerjaan serabutan mulai dari mencari kayu bakar di hutan untuk di jula, bekerja di kebun orang yang membutuhkan tenaganya, dan pekerjaan “kasar” lainnya, yang penting dia bisa bertahan hidup, karena untuk kembali ke Jawa, dia sudah merasa malu. “Petualangan” Giman, sebatang kara mencari sesuap nasi, akhirnya mulai menemukan titik terang, sebuah keluarga keturunan Jawa yang sudah lama tinggal turun temurun di Tanah Gayo, kemudian “menampungnya” sebagai “anak angkat”.

Melihat sosok Giman yang rajin itu, akhirnya  pada tahun 1969 dia dijodohkan dengan salah seorang anak dari orang tua angkatnya itu, dan mulailah Giman merasakan pahit getirnya kehidupan rumah tangga yang nyaris tanpa “modal” itu, beruntung mertuanya memberikan sepetak tanah untuk membangun rumah kecil bersama isterinya.

Setahun setelah menikah, lahirlah anak pertama mereka, Giman semakin merasakan beratnya beban rumah tangganya, karena dia belum juga mendapatkan pekerjaan tetap, karena dia memang hanya mengandalkan tenaganya saja, tapi dia tetap menjalani hidupnya yang “berat” itu dengan tabah. Sampai akhirnya dia mendapatkan sebuah pencerahan.

Seorang pejabat daerah, Ir. Mahreje Saril, yang saat itu menjabat sebagai kepala Dinas Pertanian setempat akhirnya merekrut Giman menjadi pesuruh di kantornya, meski masih dengan status tenaga honorer tidak tetap. Dengan penghasilan yang “tidak pasti” itu, kemudian Giman mulai menjalani kehidupan sebagai orang “kantoran”, ya meski pekerjaanya hanya sekedar sebagai “clening service” sekaligus penjaga kantor.

Beruntung Giman masih menympan selembar ijazah Sekolah Rakyat yang dibawanya dari Jawa seagai “modal” merantau ke Aceh. Dengan modal ijazah itu akhirnya Giman terangkat juga sebagai pegawai negeri dengan golongan I/a, pangkat terendah di jajaran aparatur sipil, namun dia sangat bersyukur bisa jadi pegawai negeri yang punya gaji tetap mekipun sangat kecil.

Hari demi hari dijalaninya sebagai petugas kebersihan, pesuruh dan penjaga kantor, sudah berkali-kali pimpinan di kantor itu berganti, namun Giman tetap etahan di kantor itu, karena dia memang tidak punya skill sama sekali, hanya mengandalkan tenaganya semata. Tapi satu hal yang membuatku salut, adalah kejujuran dan loyalitasnya terhadap pekerjaan. Terkadang dia diserahi tugas untuk menjaga gudang kantor yang berisi puluhan ton pupuk, namun tidak pernah terpikirkan dibenaknya untuk mengambil barang yang diamanahkan kepadanya, padahal kondisi ekonomi keluarganya sangat “memprihatinkan”, tapi dia tetap teguh dengan kejujurannya, bahkan ketika ada “oknum” yang berusaha membujuknya untuk ber”kolaborasi” jahat, dia tetap bergeming dengan pendiriannya.

Satu hal yang membuat orang-orang di kantor menyuakinya, adalah kerajinannya dalam bekerja. Pagi buta dia sudah menyapi dan mengepel lantai kantor, kemudian dengan sepeda ontel tuanya dia mengantarkan surat-surat ke kantor pos atau kantor-kantor lainnya di lingkungan pemerintah kabupaten Aceh Tengah, setelah itu dia memegang cangkul untuk membersihkan lingkungan kantor. Rutinitas seperti itu dijalaninya selama puluhan tahun, sampai akhirnya tiba batas usia pensiunnya pada tahun 2000 yang lalu.

Meski sudah pensiun, tapi hubunganku dengan pak Giman terus berjalan seperti biasa, walaupun sudah tidak pernah lagi ketemu di kantor, tapi dia sering datang ke rumahku terutama pada hari minggu ketika aku libur kerja. Terkadang dia betah seharian di rumahku, bercerita tentang kesulitan hidupnya membiayai dua orang anaknya yang kuliah di Banda Aceh, dan tanpa diminta, akupun sering membantunya semampuku, itulah sebabnya dia begitu dekat denganku maupun keluargaku.

Kini memasuki masa tuanya, Giman masih terus bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarganya, karena meskipun dua anaknya kini sudah meraih gelar sarjana dan sudah bekerja di instansi pemerintah, dia masih punya tanggungan seorang isteri dan dua anaknya yang tidak punya pekerjaan tetap. Sepetak kebun kopi dan sebidang tanah yang dibelinya beberapa tahun lalu, menjadi tumpuan hidup keluarganya.

Saat memasuki hari raya Idul Adha seperti saat  ini, aku jadi selalu ingat sosok lelaki tua ini. Aku kagum dengan semangatnya untuk ikut berqurban ersama kami, padahal aku tau dia bukanlah orang yang “mampu”. Awalnya, setiap kali ada pemotongan hewan Qurban di komplek tempat tinggalku, aku tidak pernah lupa menyisihkan setumpuk daging untuk keluarga pak Giman, karena dari segi ekonomi, keluarga Giman memang layak sebagai penerima daging qurban. Tidak jarang aku mengundang dia untuk menyaksikan pemotongan hewan Qurban di komplek tempat tinggalku. Dan ternyata itu membuatnya hatinya tergerak untuk ikut ikut berqurban, meski dia sadari itu cukup berat baginya.

“Mas, apa aku boleh ikut berqurban berasma warga disini”, tanyanya waktu itu, sekitar lima tahun yang lalu saat dia ku ajak menyaksikan pemotongan hewan qurban pada tahun 2009, aku agak terkejut mendengarnya, tapi aku langsung mengiyakannya,

“Kenapa tidak Pak Lik, semua boleh bergabung disini”, aku mencoba mebesarkan hatinya, dia nampak bersemangat,

“Tapi aku nggak sanggup membayarnya sekaligus mas, apa boleh aku mencicilnya setiap bulan, mas kan tau berapa gaji pensiunku”, aku benar-benar kagum atas niat  mulianya itu, dibalik keterbatasan finasial yang melekat padanya, ternyata dia menyimpan niat luhur untuk bisa berqurban,

“Tentu saja boleh Pak Lik”, sebenarnya aku nggak tega juga melihat dia seperti “memaksakan diri”, tapi aku sangat menghargai spirit berqurban yang begitu tinggi darinya, jarang-jarang ada orang dengan kondisi ekonomi seperi dia punya tekat yang begitu besar untuk bisa berqurban.

Sebualn berlalu sejak perbincangan itu, kulihat pak Giman datang ke rumahku dengan sepeda ontelnya, seperti biasa aku dan isteriku menyambutnya dengan ramah. Aku sempat terkejut ketika dia menyodorkan uang 200 ribu rupiah padaku,

“Mas, tolong ini di pegangkan, nanti kalo sudah cukup, aku kepingin ikut qurban bersama mas disini”, aku empat menitikkan air mata, saking terharunya, kulihat sorot matanya yang tulus menyiratkan keinginan yang kuat untuk ikut berqurban,

“Baiklah Pak Lik, tapi kalo sewaktu-waktu Pak lik butuh uang ini, silahkan pak Lik ambil lagi”, kulihat Pak Gimen menggeleng,

“Tidak mas, ini memang sudah saya niatkan”, jawabnya yang membuat dadaku bergemuruh menahan rasa haruku.

Dan bulan-bulan selanjutnya, pak Giman secara rutin “menyetorkan” uang dua ratus ribu rupiah padaku, padahal aku tau persis, gaji pensiunnya sebagai pegawai negeri dengan pangkat terakhir II/a itu tidaklah seberapa dibanding kebutuhan sehari-harinya.

Setahun sudah, pak Giman “menabungkan” uangnya di tempatku, sampai akhirnya terwujud “mimpinya” ikut berqurban pada tahun 2010 yang lalu bersama kelompok di komplek tempat tinggalku,.Ada raut kebahagiaan diwajahnya, ketika namanya disebut pada saat penyembelihan hewan qurban, ada titik air mata bahgia menetes dari matanya, aku jadi ikut terharu.

Awalnya aku mengira kalo itu qurban pertama dan terakhirnya, tapi dugaanku meleset, karena sebulan setelah qurban pertamanya, pak Giman kembali mulai “meyetorkan” sebagian gaji pensiunnya untuk qurban pada tahun berikutnya, aku semakin kagum dengan semangat berqurbannya, sementara di sekitarku masih banyak orang-orang yang lebih mampu tapi masih enggan untuk berqurban. Dan tanpa terasa, tahun ini adalah tahun ke lima Pak Giman berqurban untuk dirinya dan keluarganya, dan sepertinya tidak ada tanda-tanda dia untuk “berhenti”.

Usai pemotongan hewan qurban, Kamis kemarin kucoba melontarkan pertanyaan “konyol” pada lelaki tua itu,

“Pak Lik kan sudah lima kali ikut Qurban disini, apa Pak Lik masih ingin ikut lagi tahun depan?”, kulihat tidak ada perubahan pada mimik wajahnya yang lugu itu, dia hanya tersenyum,

“Mas, selama Allah masih memberikan umur padaku, Insya Allah saya tidak akan berhenti, lagian saya kan sudah tua, sementara bekal ibadahku masih sangat kurang, lha kalo saya berhenti berqurban, berarti jatah pahalaku akan berkurang”, aku bergidik mendengar jawaban yang diluar dugaanku itu, tapi aku masih mencoba “memancing”nya,

“Lho, memangnya apa sekarang kebutuhan Pak Lik sudah berkurang?”

“Walah mas, kalo di ikuti kebutuhan ya nggak pernah ada cukupnya to, tapi aku sudah merasakan mas, selama ikut qurban ini, hidupku jadi sangat tenag dan aku nggak pernah merasakan kesusahan gara-gara menyisihkan gajiku untuk qurban”, jawaban tidak terduga lagi, aku semakin merinding mendengarnya.

Aku merasa mendapatkan pelajaran  berharga dari sosok lelaki tua yang sederhana ini, jawaba-jawaban spontan atas pertanyaanku itu, semakin membuatku kagum terhadap sosok bersahaja ini. Dibalik keedrhanaan hidupnya, ternyata pak Giman adalah sosok inspiratif yang begitu menyadari posisinya sebagai hamba yang harus selalu mensyukuri nikmat yang diberikan olehNya.

Dibalik keterbatasan ekonomi keluarganya, dia masih mampu menyisihkan sebagian rejekinya untuk memenuhi perintahNya. Kalo dia itu seorang kyai atau ulama, mungkin aku nggak perlu heran dengan falsafah hidupnya, tapi Pak Giman hanyalah sosok “awam” yang pengetahuan agamanya terbatas, tapi pemahamanan tentang agamanya begitu luar biasa, sesuah sosok “langka” yang pantas menjadi “guru” bagi kita semua.

*Warga Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.