Andalkan Guru Honorer, SMPN 26 Takengon Mendidik Ditengah Keterisoliran

oleh

Catatan Serta Lia Gali*

SMP N 26 TakengonSMPN 26 Takengon yang dibangun 10 tahun lali di Kampung Jamat, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, merupakan salah satu sarana pendidikan yang tengah berjuang mendidik anak negeri ini ditengah keterisoliran.

Berbagai kendala mulai dari kurangnya infrastruktur, tenaga pengajar dan keperluan lainnya yang dibutuhkan dalam menunjang pendidikan, sangat terbatas.

Jika sekolah lain, sudah menggunakan komputer dalam menunjang mutu pendidikan, di sekolah ini tak tersedia satu pun perangkat canggih itu untuk kebutuhan siswa, komputer hanya tersedia untuk keperluan administrasi sekolah. Padahal pendidikan zaman modern menuntut seorang siswa bisa mengopersikan komputer.

Tertinggal dan terisolir. Yah, kata-kata itulah yang patut di cap bagi SMPN 26 Takengon. Sekolah ini dipimpin, Ruslan, S.Pd.I yang sudah menjabat selama dua tahun. Dedikasinya membangun pendidikan di daerah terpencil itu tak perlu diragukan. Karena memang, dia merupakan putra asli Jamat, yang lahir dan besar di daerah ini. Tentu, tanggungjawabnya mendidik generasi nya di kampung halaman sangat diharapkan warga setempat.

Menurut keterangannya, beberapa waktu lalu, SMPN 26 Takengon memiliki tenaga pengajar sebanyak 11 orang, tiga diantaranya berstatus PNS sedangkan sisanya delapan orang lagi berstatus honorer. “Tahun ajaran ini ada sebanyak 54 siswa belajar mulai dari kelas VII hingga XI, sedangkan tenaga pengajar sebagian besar guru honorer, jika tanpa mereka sekolah ini pasti tutup,” kata Ruslan.

Dia mengatakan, jika dibanding dengan sekolah jenjang yang sama, SMPN 26 Takengon jauh tertinggal. Kekurangan buku, sarana pendidikan lainnya berupa kantor dewan guru. “Kantor dewan guru terpaksa numpang di ruang laboratorium, sehingga lab tak bisa digunakan siswa, karena memang peralatan lab pun tak ada,” ujarnya.

Kekurangan buku pelajaran dan buku-buku penunjang lainnya, menjadikan pengatahuan siswa serba terbatas. Mereka hanya menyerap apa yang disampaikan oleh guru.

Ditanya, persoalan guru di sekolah yang dipimpinnya itu, Ruslan terlihat sedih. Air mata yang hendak jatuh ditahannya sekuat tenaga. Dengan sedikit terbata-bata, dia berujar dalam bahasa Gayo (ike geru ku peren kin pekekit niate, gere ku peren nyata e lagu noya).

Ternyata, sekolah ini sejak berdirinya sudah memiliki guru tetap berstatus PNS. Namun, akibat jauhnya rentang kendali dari pusat kota Takengon, dan minimnya infrastruktur dan komunikasi di daerah ini, menjadikan guru-guru yang dinyatakan lulus PNS dan ditempatkan di sekolah ini, tak tahan dengan kondisi. Mereka meminta dipindahkan ke kota, usai melaksanakan Prajabatan.

SMPN 26 TakengonBoleh dikatakan, sekolah terpencil ini hanya dijadikan orang-orang yang tamak menjadi PNS sebagai jembatan saja. Saya menilai, mereka mengingkari sumpah jabatannya, bersedia ditempatkan dimana saja dan dalam kurun waktu tertentu tidak meminta pindah. Selaku putra daerah ini, saya merasa sedih.

Seolah para pemimpin negeri ini, lupa akan tanah bersejarah bagi Urang Gayo, sering dikatakan Asal Linge Awal Serule baik dalam bincang-bincang politik, maupun menunjukkan jati dirinya sebagai orang Gayo. Tapi kenyataannya, daerah Linge tetap saja terisolir, tanpa merasakan bagaimana nikmatnya kemerdekaan.

Beralih ke keterangan kepala sekolah tadi, kekurangan guru merupakan hal fatal dalam sebuah instansi pendidikan. “Makanya kami menerima guru-guru berstatus honorer, walau gaji mereka kecil, mereka ikhlas mengajar. Kami berharap mereka diangkat menjadi PNS, karena mereka merupakan putra-putri daerah ini. Tentu saja meminta pindah setelah menjadi PNS pantang mereka utarakan, mereka besar dan lahir disini,” harap Ruslan.

Dikatakan, mereka (guru honorer) dengan suka rela mengabdi di tanah kelahirannya. Resah, gelisah bercampur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan menjadikan pendidikan di tanah kelahirannya sejajar dengan sekolah lain di negeri ini.

Sebagai putra daerah, saya menuliskan ini agar semua orang tau kondisi tanah kelahiran saya. Kami ingin menjerit, tapi tak perna di dengar. Jeritan yang paling keras adalah saat kami tak lagi mampu bersuara, berharap keajaiban dan keterbukaan pemimpin negeri ini membuka akses ke kampung kami. Waulahualam…!

*Kontributor LintasGayo.co, Putra Asli Jamat.

Editor : Darmawan Masri

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.