Pelestarian Bahasa Gayo

oleh

Oleh : Yusradi Usman al-Gayoni*

Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa di Nusantara bagian bahasa Melayu Polinesia, dan dikelompokkan dalam bagian Austronesia. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo.”

Orang Gayo sudah mendiami Aceh (ceruk Mendale di Takengon) sejak 7500 tahun yang lalu. Istilah Gayo sendiri merujuk kepada tiga pengertian, yaitu orang (urang) Gayo, bahasa (basa) Gayo, dan tanoh atau tanah (daerah) Gayo. Perkembangan bahasa Gayo tidak terlepas dari persebaran orang Gayo, menjadi beberapa kelompok, yaitu Gayo Lut (Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah), Gayo Deret yang berdomisi di daerah Isaq Linge dan sekitarnya (masih merupakan bagian wilayah Kabupaten Aceh Tengah), Gayo Lukup/Serbejadi (Kabupaten Aceh Timur), Gayo Kalul (Aceh Tamiang), dan Gayo Blang (Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara).

Juga, tersebar di Nagan Raya serta Aceh Barat Daya, termasuk Sibayak Lingga Provinsi Sumatera Utara. Orang Gayo di sana menyebut mereka sebagai orang Gayo yang bersuku Karo. Orang Gayo juga menyebar ke berbagai kabupaten/kota di Aceh, daerah-daerah di Indonesia, dan sampai ke luar negeri. Secara keseluruhan, orang/bahasa Gayo dituturkan sekitar 500.000 orang.

Penamaan suku Gayo, variasi dialek, dan kosakata bahasa Gayo dipengaruhisebaran orang Gayo tadi. Gayo Lokop atau Serbejadi, misalnya, disebut Gayo Lokop atau Gayo Serbejadi, tidak terlepas dari kata Lokop atau Serbejadi(nama daerah di Aceh Timur); Gayo Kalul di Aceh amiang, didasari kata Kalul; Gayo Blang (di Kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tenggara) merujuk kepada Belang Kejeren (artinya, lapangan tempat berkumpulnya kejurun), Gayo Lut di Aceh Tengah dan Bener Meriah bersumber pada kata Lut yang merujuk pada Danau Laut Tawar; Deret berarti di luar (bukan bagian ‘di luar’ dari Gayo Lut). Penamaan tersebut merujuk kepada daerah hunian baru yang mereka diami.

Langkah Pelestarian

Pertama, pelestarian bahasa Gayo adalah penguatan kesadaran masyarakat Gayountuk terus mempelajari, menuturkan, dan mengajarkan bahasa Gayo kepada anakanaknya (generasi muda). Kalau kesadaran pelestarian ini tinggi, keselamatan/berlangsungan bahasa Gayo pun akan terjamin. Sebaliknya, kalau orang Gayo tidak mau lagi berbahasa Gayo, keterancaman kepunahan bahasa Gayo emakin besar.

Dengan demikian, kuncinya orang Gayo, sebagai penutur bahasa Gayo. Kedua, memperbanyak dokumentasi bahasa/kegayoan. perkiraan penulis, literatur Gayo kurang dari 500 judul (sejak tahun 1900-an sampai sekarang). Akibatnya, alih kegayoan terjadi melalui tulisan, tidak sebatas lisan kekeberen— sastra lisan), seperti masa sebelumnya. Ketiga, kebijakan melalui perencanaan dan kebijakan bahasa (language planning and language policy). Legislatif di Gayo (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah) harus membuat Qanun Bahasa Gayo. Eksekutif kemudian menurunkannya dalam bentuk kebijakan berupa muatan lokal bahasa Gayo, mulai dari sekolah dasar (sederajat) sampai erguruan tinggi yang ada di Gayo.

Acuannya adalah Undangundang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa,Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan. Disamping itu, bisa dirujuk Undang-Undang Pemerintah Aceh, Bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang berbunyi “Bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaankewenangan pemerintahAceh, dan pemerintah kabupaten/kota ebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.

Selanjutnya, perguruan tinggi di Gayo perlu membuat Fakultas Ilmu Budaya. Dengan pertimbangan fakta bahwa daerah Gayo merupakan sumber bahasa, sejarah, seni, dan budaya. Apalagi, kalau merujuk temuan arkeolog dari Balai Arkeologi (Balar) Medan yang menyebutkan bahwa orang Gayo sudah mendiami Aceh (ceruk Mendale dan ceruk Ujung Karang) sejak 7500 tahun yang lalu. Besar kemungkinan, sebaran manusia prasejarah di Sumatera juga bermula dari Gayo. Apalagi, dengan ditemukannya kapak lonjong yang berusia 5000 tahun. Temuan kapak lonjong di Mendale itu menguatkan adanya jalur migrasi yang lebih tua dari jalur migrasi di Sulawesi. Demikian sebaran bahasa Melayu Polinesia, ikut dipengaruhi bahasa Gayo.

Hal ini dilihat dari kekerabatan antara bahasa Gayo, Karo, dan bahasa Alas. Secara kuantitatif, terdapat relasi kekerabatan yang erat ketiga bahasa ini (Dardanila : 2015). Berdasarkani persentase kognat (kerabat), tingkat kekerabatan bahasa Karo dan bahasa Alas sebesar 65 %, bahasa Gayo dan bahasa Alas 47 %, dan bahasa Gayo dan bahasa Karo sebesar 37 %.” Sementara itu, waktu pisah bahasa Gayo dengan bahasa Karo adalah 2.298 tahun yang lalu, dan waktu pisah bahasa Gayo dengan bahasa Alas sekitar 1.745 tahun yang lalu.

*Penulis dan peneliti tinggal di Takengon

Telah dimuat di Serambi Indonesia http://aceh.tribunnews.com/2015/07/26/pelestarian-bahasa-gayo/

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.