Realita Aceh Itu Terbatas, Tapi Imajinasi Rakyatnya Tidak “Aceh 2025” Atau “Aceh Gagal”

oleh

Oleh : Musmarwan Abdullah

PicsArt_1438261681878Bertapa tipisnya sekat pemisah antara menghayal dan berpikir. Ini ibarat sebuah novel yang ditulis di Aceh pada tahun 2015 dengan judul “Aceh 2025”, dengan sebuah novel lain yang ditulis di negeri yang sama pada tahun 2025 dengan judul “Aceh 10 Tahun yang Lalu”, yang mana, titik pijakannya adalah sama. Yakni, hari ini.

Sebuah novel yang berjudul “Aceh 10 Tahun yang Lalu” sudah barang tentu bercerita tentang Aceh di penghujung interval 10 tahun masa yang telah lewat, yang merupakan hasil inspirasi berdasarkan keotentikan data-data yang bersifat benda dan nonbenda. Saya menyebut ini sebagai “hasil kreatifitas daya khayal”.

Dan sebuah novel yang berjudul “Aceh 2025” juga sudah barang pasti bercerita tentang Aceh di penghujung interval waktu yang merentang sepanjang 10 tahun. Yang namun, karena titik pijaknya adalah hari ini, maka ia tentu berbicara tentang masa yang akan datang.

Untuk mencapai inspirasi buat membangun sebuah ilusi tentang masa yang akan datang, itu juga membutuhkan data-data otentik yang telah ada, baik data materi maupun empiri. Nah, data-data inilah yang dikumpulkan, diurai, diacak-acak, diobservasi, diinkubasi, dihitung, dianalisis, lalu diblender dalam matematika berbasis kimia-antropologi sehingga menghasilkan apa yang namanya “Aceh 2025”. Sebuah buku. Bergenre novel. Karya Thayeb Loh Angen. Saya menyebut “Aceh 2025” sebagai “hasil kreatifitas daya pikir dan keberanian mendahului kepastian proses evolusi”.

Novel “Aceh 2025” berkisah tentang betapa majunya Nanggroe Aceh pada sepuluh tahun mendatang. Jika di tahun 2025 kelak ternyata Aceh tak sehebat dalam “Aceh 2025”, apakah Thayeb Loh Angen sebagai pengarang novel itu masuk dalam katagori “pemikir yang tak berhasil” atau khilaf-prediksi alias Sang Penerawang yang gagal? Tidak. Tapi justru Aceh dan segenap elemennyalah yang gagal.

Ganja, Giok dan “Aceh 2025”

Konon, kata orang, ganja Aceh tergolong ganja berkualitas terbaik dunia. Tapi, berpuluh-puluh tahun, bahkan hingga hari ini, realita tentang ganja Aceh begitu terbatas. Para peladang “pemberani” menanam ganja. Ketika cukup umurnya, ganja dipanen. Lalu dikeringkan, digonikan, dijual, dan, kemudian, beredarlah ganja hingga ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, di samping juga sebagian terbanyak beredar di Aceh sendiri.

Kita tidak tahu bagaimana nasib ganja yang beredar di luar negeri. Mungkin menemui jalannya yang lebih mulia di tabung-tabung kaca steril laboratorium-laboratorium hingga berujung di haribaan dedikasi dunia kesehatan yang membantu tersambungnya nyawa-nyawa manusia. Sedang yang beredar di daerah lain di Indonesia, semoga, tidak malah membebani moral keacehan yang lebih mengukuhkan diri sebagai benteng pertama dan terakhir kecusian spiritual islami di Nusantara.

Sedangkan ganja yang beredar di Nanggroe sendiri, sebagian terkecil menjadi bumbu penyedap masakan berbasis daging, namun sebagian terbanyak menjadi bahan campuran rokok, untuk dihisap, terutama oleh para pemuda, yang membuat saraf pikir mereka berada dalam kondisi rehat, rehat dari kondisi sebelumnya yang justru tak pernah lelah, istirahat dari kondisi sebelumnya yang justru tak pernah digunakan untuk bekerja dan berpikir.

Itulah siklus dinamika dari realita ganja Aceh. Belum disinggung risiko hukum yang lebih memenjarakan jiwa-raga dibandingkan kemerdekaan kepulan asap dapur yang diperoleh darinya. Begitu sempit dan terbatas. Samasekali tanpa sentuhan kreatifitas yang membuat ia berdayaguna lebih dari hanya sekedar untuk dihisap dan diracik sebagai bumbu masak untuk mengempuk gulai daging. Seakan-akan Aceh ini hanya dihuni oleh para pemabuk dan pemakan daging.

Giok juga apa bedanya. Capek-capek ramai-ramai rakyat Aceh mengeruk tanah indatunya, menggerogoti tebing alamnya, menyongkel gunung Tuhannya, lalu bongkahan-bongkahan bebatuan itu dipikul dengan beban yang membuat tulang belakang sampai melengkung dan tulang-tulang rusuk berkeratakan, namun ujung-ujungnya sang giok hanya menempel di liontin yang menggantung di antara dua “gunung” perempuan, dan selebihnya berakhir di jemari buduk para lelaki genit setengah edan.

Namun hingga hari ini, bahkan mungkin sampai kelak gunung-gunung dipahat serata lembah, belum bakal ada sebuah masjid pun sempat dibangun yang dinding dan lantainya tersusun dari batu giok sebagai paduan mahakarya alam dan kreatifitas inspirasi kelas dunia dari manusia yang hidup di persada yang tanahnya berlapis batu giok ini.

Realita kematerian dan emiri Aceh masih begitu purba, masih sebagaimana Tuhan menurunkannya lima milyar tahun yang lalu bersama proses penciptaan keseluruhan semesta ini. Tuhan menciptakan alam, lalu takdir evolusi menyorongkan kepala kita muncul satu-persatu di atas daratan penghujung sebuah pulau sebagai sisa-sisa tanah yang masih luput dari invasi bahari dan amuk gelombang ini. Kita menyebut ini sebagai Aceh.

Lalu, karena hidup mewajibkan kita untuk survive, kita pun berburu tokek (memotong elemen sikhlus ketergantungan dalam system rantai makanan mereka), berburu landak (merusak system keseimbangan ekologi), berburu barang-barang antik (menghilangkan kekeramatan antropologis berbasis bukti sejarah), menggali emas (membreidel hutan sembari meracuni lingkungan dengan merkuri), menyongkel giok (merusak tatanan tekstur alam).

Namun semua itu kita sebut: “Sumber Ekonomi Baru”. Atau dengan kata lain, kita gagal menolong diri-sendiri dengan sumber-sumber ekonomi kreatif yang tidak mengharuskan kita menyumpal mulut anak-anak kita tanpa harus melukai tanah persada warisan Indatu. Artinya, kita gagal menyentuh segala yang ada dengan kreatifitas dan keberanian berinspirasi. Namun dalam dunia kesusatraan, Thayeb Loh Angen dengan “Aceh 2025”nya nekat mendobrak “realita keacehan” dengan kenakalan inspirasi hasil kreatifitas khayali.

Aceh adalah Fakta, dan Novel adalah Fiksi

Mari sejenak kita menapaki lantai dingin di ruang-ruang sepi perpustakaan. Dan kita pun menelisik buku-buku yang berjejer di segenap rak. Jika ada yang berbicara tentang Aceh, itu nyaris pasti bukan melalui novel.

Sebagai sebuah genre sastra, novel adalah karya fiksi. Sedangkan Aceh, dengan segenap entitas sebagai sebuah negeri, dia adalah nyata. Lalu bagaimanakah mempertanggungjawabkan kalimat ini: “Jika ada yang berbicara tentang Aceh, itu nyaris pasti bukan melalui novel.” Karena, bukankah Aceh itu realita?

Novel memang tidak memuat narasi sebagai sebuah peristiwa yang dapat diklaim sebagai buah tangan yang mengandung data-data otentik. Bahkan data-data otentik sendiri akan menjadi bias dan imajiner dalam kunyahan geraham kesustraan. Tetapi data dan materi tidak selamanya berdiri-sendiri secara utuh sebagai realita indrawi. Dia akan selalu tergantung pada rekayasa sentuhan imajinasi manusia.

Sebagai contoh bahwa kenyataan tak ada apa-apanya tanpa sentuhan imajinasi adalah kisah tentang sebongkah campuran mineral padat, di mana, kendati ia berwarna lumut yang memiliki campuran kimia alamiah dengan struktur kristal tertentu, toh, orang menyebutnya sebagai batu. Dan walau bagaimana, itu tetap batu. Namun bangsa yang memiliki daya khayal yang sedikit “nakal” telah menyebutnya sebagai “giok”. Kemudian, saat sang giok semakin dibungkus dengan fantasi dan keajaiban imajinasi, lalu terbangunlah ilusi keindahan. Yang akhirnya, si batu gunung yang betul-betul hanya sekedar batu gunung itu benar-benar menggelinding di arus perebutan harga yang berjuta-juta bahkan ratusan juta.

Sebagai karya fiksi yang panjang, novel menyediakan ruang yang hampir tak terbatas untuk merekam imajinasi penulisnya. Imajinasi setiap orang terbentuk dari pergumulan pikiran, perasaan, fenomena non indrawi, dan gejala-gejala empiris di lingkungan kehidupannya. Dan seorang yang merekam imajinasinya, tanpa sadar ia telah merekam sebagian besar cita-cita, kegagalan, derita dan kegalauan negerinya.

Lalu kita kembali ke kalimat, “Jika ada yang berbicara tentang Aceh, itu nyaris pasti bukan melalui novel.” Artinya, kita memiliki sangat sedikit catatan tentang data-data empiris yang telah mengalami proses blender dan permentasi liar gaya berpikir bebas ala imajinasi. Semua yang bersifat data dan realita cendrung kita gunakan untuk membantu tindakan-tindakan empirisme lainnya yang akan menuai hasil pasti sebagai fakta lanjutan. Kita acap lupa, imajinasi, yang dalam hal ini adalah daya khayal, mampu merevolusionerkan segala kekakuan hasil warisan berabad-abad.

Sekali lagi, Jika di tahun 2025 kelak ternyata Aceh tak sehebat dalam “Aceh 2025”, itu bukan Thayeb Loh Angen yang gagal, tapi orang-orang Aceh dan Pemerintahan Acehlah yang gagal.

Aceh, Negeri Tanpa Catatan Sejarah Perasaan

Orang Aceh, dari zaman ke zaman, adalah pemikir berat dan teramat serius. Terbukti, dalam kontek kenusantaraan, banyak kearifan hasil buah pikir manusia yang mendiami tanah persudutan di paling ujung pulau Sumatera ini menjadi rujukan dalam skala keindonesiaan. Begitu juga dalam menulis; kita adalah penulis-penulis yang amat serius dan “memikir”.

Syukur, generasi masa itu masih mau mencatat, sehigga kita tahu tanggal-tanggal perang dimulai dan tanggal-tanggal tentang hari-hari yang agung saat kita menyilang tangan di tengkuk, menyerah, takluk dan patuh pada sang pemenang. Syukur, generasi masa itu masih mau mencatat, sehigga kita tahu tanggal-tanggal saat di mana kekuasaan diperebutkan, saat fitnah strata sosial diledakkan, dan saat agama dikapling-kapling dalam rivalitas doktrin dan dogma.

Saat itu, baik saat sejarah sedang berlangsung maupun saat sejarah sedang ditulis, perasaan menjadi anak tiri. Terabaikan. Terlunta-lunta. Luput dari peta prioritas pencatatan. Luput dari ranah eksistensi diri kita sebagai manusia. Seakan-akan perasaan telah dikutuk hanya sebagai konsekwensi binal dan cengeng dari dinamika keseharian manusia yang tak perlu diberi atensi sedikit pun. Seakan-akan bukan perasaan yang mengawali segala debut kolosal ledakan sejarah-sejarah bangsa ini.

Padahal, saat tanah kita ditapaki orang dengan “hana kom-hana saleum” dan dengan gaya invasi yang angkuh, hati kita terasa sakit, marwah kita sebagai sang pemilik merasa dihinakan, kita merasa kepala kita sebagai perangkat paling agung yang hanya boleh disentuh oleh orangtua sendiri dan guru mengaji, diinjak-injak. Saat itulah perangkat berpikir kita mulai menggeliat, merancang-rancang taktik perlawanan, mengatur-atur strategi pembalasan dan pengusiran.

Namun yang kita catat tetap yang terakhir, yakni ketika semuanya telah meledak sebagai perang. Kita mengabaikan hal-hal kecil sebelumnya seperti, misalnya, “Subuh itu aku melihat pantai tidak sebening biasanya dengan riak-riak yang santun menjilati pepasiran dan sepoi bayu yang hanya menebar aroma laut. Aku melihat sebuah kapal asing terpacang di sana, dan sejumlah sampan kecil yang lalu-lalang mengantar penghuni kapal ke darat. Pantai sudah penuh dengan orang-orang yang siaga dengan pedang di tangan.

“Dari balik perdu pandan berduri tempat aku mengintip, aku dengan jelas dapat mengidentifikasi wajah mereka sebagai wajah-wajah yang bukan wajah orang-orang negeriku. Dan tanpa bisa lagi membuang hajat sebagai rutinitas pagiku di balik pandan berduri itu, aku bergegas lari ke rumah kepala desa. Sampai di sana, sambil menggedor pintu, aku berseru, ‘Abu! Abu! Kafir Belanda sudah mendarat! Kafir Belanda sudah mendarat!’”

Kita acap mengabaikan detil deskripsi fisiologis dalam dunia pencatatan (kendati si pencatat itu adalah saksi sejarah itu sendiri), seakan reaksi insaniah (dalam persentuhannya dengan segala fenomena di luar dirinya) tidak termasuk perihal manusiawi dalam kehidupan kita, di mana, hal ini, pada akhirnya akan membentuk pola keyakinan umum bahwa, yang namanya mencatat adalah mencatat kesimpulan-kesimpulan dan, yang namanya membaca adalah membaca urutan-urutan peristiwa. Padahal berawal dari detil penggambaran tingkah laku, sisi manusiawi dipancing untuk muncul. Lalu terbentuklah rasa. Maka dari rasa, saraf pikir diajak untuk berdenyut. Yang kita tahu, kita berpikir dan bertindak. Kita lupa bahwa keduanya berawal dari rasa.

Dan novel adalah sebuah genre sastra yang memberi kita ruang bebas dan konprehensif untuk menumpahkan segala rasa yang telah terpenjara selama 400 tahun. Thayeb Loh Angen dan “Aceh 2025” telah memulainya. Yakni dalam wujud rasa yang mengkristal hingga berbentuk cita-cita. Sekali lagi, “Aceh 2025” tak pernah gagal. Jika novel itu gagal, maka Acehlah yang gagal. *** (Kembang Tanjong, 5 Februari 2015)

Sumber : infosastra.com/2015/02/15.

Musmarwan Abdullah adalah salah seorang sastrawan Aceh tinggal di Pidi

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.