Antara Sunnah dan Bid’ah

oleh

Oleh : Joel Buloh*

Jul-BulohSunnah dan Bid’ah adalah dua buah kata yang selalu diperbincangkan dalam Islam, bahkan sering terjadi hujjah menghujjah untuk mempertahankan apa yang dilakukan itu tergolong dalam kategori Sunnah, dan dijauhi dari kategori Bid’ah.

Sunnah adalah segala yang datang dari Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) yang bisa dijadikan dasar penetapan hukum syara’, (Ushul Fiqh).

“Sesungguhnya telah saya tinggalkan untuk mu dua perkara, sekali-kali kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang padanya, yakni kitabullah dan sunnah RasulI”, (Hadits).

Sunnah itu sesuatu yang telah terdapat didalam Al Quran dan Al Hadits tentang bagaimana cara melakukan suatu ibadah. Karena Rasulullah SAW telah menegaskan, siapa pun yang berpegang dengan Al Quran dan Hadits, yaitu memahami isi kandungan, penafsiran, tujuan dan maksud dari Al Quran dan Al Hadits maka ia tergolong orang-orang yang terpetunjuk.

Namun untuk memahami isi kandungan Al Quran dan Al Hadits secara langsung tanpa proses pendidikan agama dan perantaraan para Ulama, itu sangat sulit dan hampir dikatakan mustahil, kecuali mereka yang telah Allah anugerahkan ilham kepadanya.

Dalam penjelasan para Imam Mazhab pun kadang terjadi perbedaan, baik perbedaan itu terjadi antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, atau pun perbedaan yang terjadi dalam satu mazhab, sehingga adanya pendapat kuat atau pendapat lemah, pendapat sahih atau muqabil sahih, pendapat adhhar atau muqabil adhhar, dan lainnya.

Orang-orang yang mengikuti sunnah dikatakan ahlisunnah, pengertian ahlisunnah secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan jalan para sahabatnya dalam hal aqidah, amaliyah (fiqh), dan hakikat (tasawuf dan akhlaq). Sedangkan definisi ahlisunnah secara khusus adalah golongan yang mempunyai I’tiqad/keyakinan yang searah dengan keyakinan Asy’ariyah dan Maturidiyah.

Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Namun penamaan nama ahlisunnah pada golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan pemberian nama bagian dengan menggunakan namanya kulli dalam pengertian secara umum.

“Pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan Sahabat kecuali golongan Ahlisunnah wal Jama’ah, …., (Syaikh Al Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq).

Ahlisunnah wal Jama’ah merupakan golongan yang senantiasa mengikuti tindakan Rasul, Khulafaurrasyidin, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan segenap ulama Salaf As Shalihin.

“Ikutilah tindakan Ku dan tindakan para Khulafaurrasyidin setelah wafat Ku”, (Hadits).

Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW (not: ini terlepas dari pemahaman baik atau pun buruk menurut pandangan kita).

“Semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya”, (Syaikh Zaruq, Iddah Al Marid).

Dari Ummul mukminin ummu Abdillah Aisyah R.a berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”, (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”.

Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alasan bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.

“Paling bagusnya perkataan adalah kitab Allah dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”, (H. R Muslim). Sedangkan Imam Bayhaqi menambahkan “setiap perkara sesat dimasukkan dalam neraka”.

Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam menggolongkan perkara bid’ah menjadi lima hukum, yaitu: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah makruh, dan bid’ah mubah.

“Perkara baru yang tidak sesuai dengan kitab Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk bid’ah yang terpuji”, (Imam Syafi’i).

Meninjau Kembali Amalan Kita

Dalam kehidupan ini, banyak amalan yang kita lakukan, yang semuanya amalan itu adalah untuk mendapat keridhaan Allah, mulai amalan ibadah wajib sampai dengan amalan ibadah sunat, namun semua amalan-amalan ibadah tersebut yang kita lakukan tidak terlepas dari petunjuk-petunjuk yang kita dapat bersumber dari Al quran dan As Sunnah.

Namun kadang kita dalam memahami Al Quran dan As Sunnah secara langsung itu tidak mampu, maka dapat mempelajari maksud dan tujuan yang termaktub didalamnya dengan belajar kitab-kitab para Imam Mazhab yang disyarahkan oleh para Ulama-ulama pengikut Mazhab yang mu’tabar.

Artinya setiap amaliah yang kita kerjakan itu harus mempunyai referensi yang jelas, paling tidak bagaimana ibadah itu kita lakukan sesuai dengan tata cara dan anjuran yang telah termaktub, sehingga seolah-olah kita bukan mengadakan sesuatu yang baru.

Para Ulama semisal Imam Nawawi, Rafi’i, Syibran Malasi, Ibnu Hajar, Syaikh Muhammad bin Hajj dan lainnya yang mu’tabar, mereka telah memutala’ah sedemikian rupa tentang suatu perkara yang terdapat dalam pembahasan Imam Mazhab, sehingga timbullah Ijma’ dan Qias.

Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi SAW terhadap suatu hukum syar’i”, (Muhammad bin Shaleh, Prinsip Ilmu Usul Fiqh).

Qias adalah “Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya”, (Muhammad bin Shaleh, Prinsip Ilmu Usul Fiqh).

Dalam hal Qias ini memiliki syarat-syarat, yaitu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, hukum asalnya tetap dengan Nash atau Ijma’, pada hukum asalnya terdapat sebab yang diketahui, sebabnya mencakup makna yang sesuai dengan maknanya, sebabnya tersebut ada pada cabang sebagaimana sebab tersebut juga ada dalam asal.

Ketika suatu amaliah yang kita kerjakan berdasarkan Qias, maka kita tidak boleh lagi mengqiaskan diatas qias, karena bertentangan dengan syarat dalam qias.

Saat terjadi perbedaan cara mengerjakan suatu ibadah dikalangan umat, yang perbedaan itu memicu kepada konflik dan perpecahan, maka kita harus kembali kepada sunnah, yaitu sesuai dengan Al Quran, Hadits, Ijma’, atau pun Qias. Bila masalah tersebut telah dijelaskan didalam kitab-kitab Imam Mazhab tentang kedua perbedaan tersebut bisa dikerjakan, maka secara bersama-sama dengan metode musyawarah mengambil model amaliah yang afdhaliyah (berdasarkan pendapat kuat) dan meninggalkan pendapat lemah.

Kalau perbedaan yang memicu konflik tentang suatu masalah yang kira-kira masalah tersebut tidak terdapat penjelasan didalam kitab yang mu’tabar, maka lebih baik kita tinjau kembali, apakah amaliah itu perlu kita pertahankan atau kita tinggalkan. Karena tujuan dari suatu amaliah adalah mendapat ridah Allah, mendapat manfaat bagi kita sendiri atau bagi orang lain.

“Paling bagusnya perkataan adalah kitab Allah dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”, (H. R Muslim).

Suatu amalan dalam beribadah, bagaimanakah kita kerjakan amalan tersebut? Apakah kita akan melakukan amalan tersebut sesuai kata teungku? Atau kita kerjakan amalan itu sesuai pemahaman kitab-kitab Imam Mazhab yang disampaikan oleh teungku-teungku?.

“Islam muncul dalam keadaan terasing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan”, (H. R Muslim).

Mari sama-sama kita mengoreksi kembali tentang amaliah kita, semoga setiap amaliah yang kita kerjakan benar-benar termaktub dalam kitab-kitab ulama yang mu’tabar tentang tata cara dan metode melakukannya, sehingga amalan kita itu benar-benar mampu kita pertanggung jawabkan sesuai referensi yang kita dapat. Dan semoga amalan-amalan itu tidak termasuk didalam katagori yang telah Rasulullah SAW sampaikan, yaitu sesuatu yang baru yang tidak bersumber dari kitab Al Quran, Sunnah, Ijma’, dan Atsar Sahabat. Karena sesuatu yang baru seperti itu digolongkan dalam bid’ah, na’uzubillahi min zalik. Wallahu A’lamu Bishawab.

*Guru MTsN Kutamakmur

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.