(ARSIP) Merekam Saman, Menyesap Kopi Dangdut di Bekas Kampung Ganja

oleh
Pemain Saman pulang ke kampung Pining (foto: dian)
Pemain Saman pulang ke kampung Pining (foto: dian)

MOBIL Opel Blazer warna abu-abu itu merangkak menyusuri jalanan yang berkelok di antara perbukitan. Sesekali jalan menanjak, di lain waktu mobil melintasi jalan yang menurun. Butuh konsentrasi tinggi melintas di jalur ini. Sebab, jalan yang memuat dua mobil itu dibatasi oleh bukit di sisi kanan dan jurang terjal di sisi kiri.

Jumat siang pekan lalu, mobil yang membawa kru film Dokumenter Layarkaca Multimedia itu menyusuri kawasan perbukitan di Kecamatan Pining, Gayo Lues. Yang dituju adalah Desa Uring, kampung yang selama hidupnya terisolir dan seolah tenggelam di balik bukit. Dari atas bukit, kampung itu samar-samar terlihat di kejauhan, tersuruk di lembah yang kelilingi bukit dan dilintasi aliran sungai Arul Emun.

Berjarak sekitar 23 kilometer dari pusat kota Blangkejren dengan waktu tempuh sekitar 1 jam, Desa Uring nyaris terlupakan. Kalaupun dikenang, barangkali hanya dua hal: ganja, dan gula arennya yang dikenal dengan nama gula uring.

Oleh kru pemburu dokumenter seni dari Layar Kaca Multimedia, Desa Uring dipilih sebagai salah satu lokasi pembuatan film dokumenter tentang Tarian Saman Gayo, tarian tradisional yang kini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia non benda.

Mengapa Desa Uring terpilih? Dalam kacamata Layarkaca Multimedia, desa terpencil itu mewakili orang asli Gayo. Itu sebabnya, kampung ini dijadikan objek riset pertama untuk mengetahui wujud Saman di daerahnya sendiri, Gayo Lues.

Menuruni beberapa tanjakan, akhirnya mobil yang membawa kru film dari Banda Aceh itu tiba di mulut kampung. Di sana, sejumlah orang yang sedang duduk di tangga beton rumah kayu tua beranjak berdiri dan menatap tajam kehadiran “tamu asing” itu.

Dari dalam mobil, Momon, Jamal, Kiki Aulia yang ditemani mahasiswa Gayo Lues Adan, Zul, dan Bobbi turun dan langsung menyalami mereka seraya menyampaikan maksud  kehadiran mereka di kampung Uring.

“Kam ni ari Belang? (kalian dari Belang?),” tanya laki-laki tua yang turut berbaur dengan warga lainnya. Adan mengangguk.”Kune nge simutelong soboh ne? (bagaimana perkembangan kebakaran tadi pagi?),” tanya Bapak itu lagi.

Mereka menanyakan hal itu, lantaran pagi sekitar pukul 03.40, Jum’at, 30 Maret 2012, Jalan Kapten Ma’aris, Kota Belangkejeren, Kecamatan Belang Kejeren, Gayo Lues  baru terbakar. Disitulah sebagian besar Orang Uring yang mencoba merubah hidup di Kota Blangkejeren menjalankan aktifitas berdagang, dan warga disini pula kebanggaan warga desa tersebut.

Namun pertanyaan itu hanya selintas saja, karena beberapa warga yang baru kembali dari kota sudah mengabarkannya terlebih dahulu.

Momon yang menjadi kepala rombongan lantas bercerita tentang maksudnya ke kampung itu.Tak ada hambatan berarti. Warga menyambut ramah dan mempersilakan kru film bekerja.

H Abas Aman Mira, sepuh kampung itu meminta kepada anak muda yang ada disitu mengumpulkan anak-anak  untuk bersaman. Tidak sampai 5 menit, puluhan anak laki-laki sudah berkumpul di bawah sebuah rumah pertemuan. Dan sebagian lagi, mengambil tikar dan membentangkannya persis di bawah depan rumah Adat (pertemuan) tadi. Tujuannya, untuk lapisan anak-anak yang akan menarikan Saman dan mengambil posisi duduk.

Lalu secara spontan anak-anak ditata oleh warga agar duduk berbaris, anak-anak yang kelihatannya baru saja bermain-main di lokasi yang tidak tampak dari jalan utama kampung itu, dengan senang mengambil posisi layaknya orang dewasa bermain tari Saman.

Tangan-tangan kecil itu mulai menari. Tidak serentak memang. Tapi kru Layar Kaca merasa cukup bagus, lantaran mereka anak-anak kecil yang baru berusia di bawah sepuluh tahun, dan mengenal Saman tanpa latihan pula. Jadi kata Momon, mereka hebat, karena mampu memainkan Saman Gayo. “Ini sudah kuat,” kata Momon yang menjadi ketua di perjalanan riset itu.

Kuat versi Momon memang masuk akal. Kehadiran spontan kru ke kampung Uring memang terencana, tetapi tidak sepengetahuan siapapun, termasuk orang kampung. Mengumpulkan anak-anak untuk memainkan  Saman tidak perlu waktu lama, cukup 3 menit, mereka berkumpul dan bermain Saman.

Tentu saja, aktifitas pengambilan gambar berjalan lancar. Karena waktu bekerja masyarakat Uring sudah selesai, tinggal berkumpul di kampung saja. Dan Anak-anak kampung itu memang sedang bermain.

Untuk mengambil gambar mereka tidak sulit. Anak-anak yang sedang bermain itu langsung beranjak ke lokasi. Mereka terlihat antusias ketika diminta menarikan Saman. Rupanya, terselip rasa bangga bagi mereka bila bersaman. Mereka ingin seperti abang-abang mereka yang bermain Saman dipuji orang. Begitulah anak-anak Uring itu menyambut pengambilan gambar Tari Saman. Mereka mencintai Saman, sama halnya anak-anak lainnya di Gayo Lues.

***

Bagi masyarakat Gayo, Kampung Uring dikenal punya ciri khas tersendiri. Mereka bicara blak-blakan apa adanya. Anak-anak menggantung ketepel di leher, dan sebagian lagi menaruh karet gelang di lengannya. Ini dia pemandangan sehari-hari di kampung “Uring” itu. Hebatnya, kalau kesitu, tak perlu kuatir, sepanjang jalan sudah beraspal.

Perkampungan itu berada di bawah jalan raya di kaki gunung Kemal–atau masyarakat menyebutnya bukit Kemal–yang dihuni 160 kepala keluarga. Kalau ditatap dari jauh persis miniatur perkampungan saja. Sebagian besar aktifitas masyarakat Kampung Uring rata-rata petani, malah tidak ada penghuni yang dihuni pegawai negeri swasta layaknya perkampungan lainnya di Provinsi Aceh.

Jangan bertanya merek handphone pada masyarakat Uring. Sebab, mereka tidak menggunakan HP lantaran selain tidak ada sinyal, juga ketersediaan listrik yang terbatas. Suplai listrik cuma cukup untuk memenuhi kebutuhan penerangan rumah saja, lantaran listrik masih menggunakan tenaga surya.

Petani kampung ini kebanyakan memilih menanam Sere, kemiri, dan Polang (bahan baku untuk membuat gula aren). Di kampung inipun yang terkenal adalah Gula Uring, karena keaslian campuran gula. Itu pula gula yang dipertahankan masyarakat Uring sebagai Gula Aren terbaik di Aceh.

Uring pernah dikenal sebagai kampung ganja, persis seperti sebuah kampung di depannya yang bernama Pining. Dulu, mereka menanam ganja persis seperti orang berkebun sayur-mayur. Bahkan, menurut warga setempat, walau tidak ditanam pun, ganja tumbuh dengan sendirinya di lembah kawasan itu.

Ganja mulai menghilang dari kampung itu sejak beberapa tahun lalu, ketika harga Sere melambung di pasaran. Masyarakat Uring pun mengganti ganja dengan tanaman Sere. Maklum, ketika itu, kesulitan pemasaran dan resiko berhadapan dengan penegak hukum membuat harga ganja melorot drastis.

Ketika ganja masih berjaya di Uring, jangan kaget jika anda dijamu dengan sayur bening pucuk ganja sebagai teman nasi di kala makan siang atau makan malam. Dimasak bersama dengan labu jipang, sayur ganja disajikan bersama dengan sambal terasi bercampur empan (sejenis bijian kecil yang pedas dan kebas).

Tak hanya itu, dulu Uring juga dikenal dengan Kopi Dangdut. Ini adalah sebutan khusus untuk kopi yang bercampur biji ganja. Tak sulit menemukan kopi jenis ini. Cukup singgah di warung, lalu katakan,”kopi dangdut, boh (kopi dangdut, ya).” Dalam sekejap, kopi dangdut yang melenakan itu tersaji di hadapan anda.

Meskipun ganja sudah berganti tanaman Sere, untuk uurusan kopi dangdut ini, masih gampang ditemui. Darimana bahan bakunya? “Masih ada ganja yang tumbuh liar di sini,” kata seorang pemilik warung.

Tak terasa, malam menjelang. Kabut mulai turun sejajar dengan jalan. Sebelum memacu mobil kembali ke Blangkejren, tak lupa kami menyempatkan diri menyesap secangkir Kopi Dangdut.

Sore itu, bagi kami, Uning adalah perpaduan indahnya Saman dan kelezatan secangkir Kopi Dangdut. (The Atjeh Post)

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.