Antara Dakwah dan Fiqh Sosial dalam Adat

oleh

[Opini]

Oleh Nur Lela*

KETERTARIKAN saya mengambil tema ‘Keterkaitan Dakwah Dan Fiqh Sosial Dalam Kehidupan berawal dari tugas yang diberikan oleh dosen pengasuh Mata Kuliah Teknik Penulisan Salman Yoga S. Beliau memberi tugas kepada agar seluruh mahasiswa/i lebih tertarik dalam menulis serta mengembangkan bakat yang dimiliki.

Tema ini saya kutip dari buku Fiqh Sosial karya Buhori Muslim, M. Ag dan Jailani, M. Ag. Kaitan Dakwah dan Fiqh Sosial dalam Kehidupan dan menjelaskan tentang hukum-hukum Islam sesuai syariat, dan ini menjadi menambah ilmu saya, serta untuk anda yang ingin membaca. Dakwah Islam dan perubahan sosial saling mempengaruhi satu sama lain. Dengan dakwah terjadilah perubahan sosial dari suatu masyarakat, begitu pula sebaliknya. Perubahan sosial ikut juga menentukan arah dakwah.

Kehidupan sosial manusia pastilah merujuk pada tatanan, untuk mengharmoniskan kehidupan dan menjaganya agar tidak lepas kendali, sehingga hubungan sosial tidak kontra produktif teteapi semakin memunculkan makna kebahagian dan kemakmuran. Umat Islam merujuk tatanan syari’at dalam pola hubungan sosial, baik dengan sesama muslim maupun non muslim. Disinilah peranan dakwah sebagai upaya mngkomunikasikan pemahaman fiqih sosial kepada setiap manusia.

Landasan dakwah tentu saja mengacu kepada informasi wahyu khususnya al-Qur’an dan Sunnah, diyakini memuat redaksi-redaksi yang sifatnya elastis mengingat bahwa watak dan budaya sosial yang terus mengalami perubahan. Asas-asas hukum Islam menurut Ali al-Says ada tiga yaitu ‘adam al-haraj (tidak memberatkan), qillah al-takalif (sedikit beban) dan al-tadarruj fi al-tasyri’ (berangsur-angsur). Kemudian al-Says mencontohkan ada tujuh konsep tentang keringanan hukum.

Pertama, (al-isqat) yaitu menggugurkan ibadah ketika uzur seperti naik haji ketika aman. Kedua, (al-naqs) mengurangi kewajiban seperti mengqashar shalat etika musafir.

Ketiga (al-ibdal) seperti menggantikan wudhu dengan tayamum.

Keempat (al-taqdim) seperti menjama’ shalat di Arafah.

Kelima (al-ta;khir) seperti menjama’ shalat di Muzdhalifah.

Keenam (al-taghyir) seperti merubah tata cara shalat ketika taku. Ketujuh (al-tarkhlis), seperti memakan bangkai ketika darurat.

Pendapat al-Says ini menarik untuk diulas mengingat pemahaman asas hukum hubungan sosial selalu diartikan secara tekstual yang kadang-kadang terlalu jauh dari kehidupan, dengan kata lain mengambil praktek-praktek sosial dengan membuat atribut-atribut keislaman belum dapat dijamin bahwa praktek yang dimaksud sudah sesuai dengan ajaran Islam. Sebaliknya praktek yang tidak membuat atribut keislaman tetapi asas-asas yang digunakan masih tetap berada dalam koridor lebih tepat  dan diklaim sebagai hukum Islam.

Seperti yang dikatakan Fadhil Lubis dalarn  bahwa “minyak unta yang bercap babi jauh lebih baik dari pada minyak babi bercap minvak unta, yang mengidentifikasikan bahwa asas hukum (hukum islam) tidak mesti dilafazkan asalkan dalarn prakteknya tidak menyimpang dari asas-asas yang telah ditetapkan. Asas yang dibangun dalam hukum Islam adalah kemudahan, keadilan dan rahmat serta kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Selanjutnya hukurn ini mampu memenuhi kebutuhan, menuntaskan segala problem yang menimpa dengan cara pemecahan yang paling adil dan bermaslahat. Selain itu, memiliki asas yang sangat kuat dan sekaligus dapat rnewujudkan tujuan hukum tanpa ada kesulitan dan kesukaran.

Asas hukum hubungan sosial ini seharusnya dipahami secara dinarnis sesuai dengan perkembangan kehidupan sosial itu sendiri. Pada masa Umar, fiqh mengalami perkembangan yang disebabkan kejelian dalam mengungkap nilai-nilai filosofis nash yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Menurut Abd aI-Wahhab Khallaf hukum sejalan dengan kemaslahatan manusia dengan alasan bahwa syari’ (Allah) banyak menyebutkan ‘illat (ta’lil al-nas) dalam hukum-hukumnya untuk kemaslahatan manusia. Bukti lain menunjukkan bahwa ada tidaknya ketetapan hukum berlaku berdasarkan ada tidaknya “illat. Justru itu Allah Swt mensyariatkan sebagai hukum dan kemudian menggantikan dengan yang lain yang lebih sesuai.

Hukum memiliki hubungan dengan hukum-hukum fisik yang diasumsikan harus tidak berubah itu, menghadapi tantangan perubahan sosial yang menuntut kemampuan adaptasi dirinya. Sering kali benturan perubahan sosial itu sehingga mempengaruhi konsep-konsep dan lembaga-lembaga hukum yang karena nya menimbulkan kebutuhan akan filsafat hukum Islam. Adanya asumsi yang seperti ini bahwa hukum tidak boleh berubah. Pada prinsipnya mengingkari akan asas-asas hukum itu sendiri dan implikasinya harus dibayar dengan mahal karena akan dianggap statis dan tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan social.

Menurut Lili Rasyidi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat, Sosiological Jurisprudence lebih mengarah kepada kenyataan dari pada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Pada dasarnya pernyataan ini tidak bertentangan dengan asas hukum Islam dalam konteks hubungan sosial. Mengingat hukum Islam berjalan secara dinamis dengan perkembangan kehidupan sosial. Lili Rasyidi dalam bukunya Hukum Sebagai Suatu Sistem mengutip pernyataan hakim Cardozo (hakim terkemuka di Amerika) bahwa komponen-komponen eksternal seperti logika, sejarah, adat istiadat, pedoman perilaku yang benar memiliki andil yang besar dalam pengembangan hukum, justru itu dalam hal pengembangan masyarakat maka peranan hukum tidak bias di abaikan.

Sebagai perbandingan tidak jauh berbeda dari apa yang dinyatakan Cordozo di atas, maka pakar hukum Indonesia Mochtar Kusumaatmadja menegaskan (pengadopsian adat istiadat setempat sebagai hukum khusus dalam konteks keindonesian) bahwa secara praktek ketentuan-ketentuan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sudah dapat dikategorikan mengandung unsur hukum yaitu ketentuan hukum, namun sifatnya tidak tertulis.

Dalam konteks ini Mochtar memberikan dua contoh yaitu ketentuan hukum  yang mengatur hubungan perdata dan dagang yang sebenarnya sudah berlaku dalam kenyataan kehidupan masyarakat. Begitu juga rnasalah wawasan nasional tentang persamaan hak antara pria dan wanita bahkwa adanya ketentuan kewajiban anak memelihara orang tuanva dan harta tidak dibagi habis merupakan ketentuan hukum yang sudah berlaku di masyarakat. Banyak ketentuan-ketentuan hukun yang mengatur hubungan perdata dan dagang sebenarnya sudah berlaku dalam kenyataan kehidupan masyarakat walaupun tidak ada undang-undang atau hukum tertulis.

Asas-asas hukum perdata seperti pacta sunt servanda (perjanjian yang  diadakan harus ditaati) atau bone fides (itikad baik) dan lain-lain merupakan konsep hukum perdata seperti asas kebebasan berkontrak (perjanjian yang diadakan antara dua pihak mengikat mereka seperti undang-undang) sudah cukup dikenal dan dipergunakan. Begitu pula asas-asas bahwa perjanjian harus diadakan atas kemauan yang bebas dengan itikad baik. Perjanjian atau kontrak perdata tidak boleh bertentangan dengan hukum dan undang-undang serta ketertiban umum.

Dalam Islam perilaku yang dapat diiberikan sanksi bilamana tindakan yang dilakukan benar-benar dapat merugikan pihak lain seperti kejahatan-kejahatan pidana terhadap jiwa, harta, kehormatan, akal, agama, kepentingan umum. Sanksi terhadap tindakan-tindakan diatas tidak mesti dipahami secara tekstual dan dapat dialihkan ke bentuk lain selama tidak berbenturan terhadap asas-asas yang telah ditetapkan. Menurut Abdurrahman I Doi, bahwa prinsip pengadilan dalam Islam ialah lebih mengutamakan urusan masyarakat dari pada urusan perorangan bukan sebaliknya. Oleh karena itu setiap tindakan kriminal yang mengganggu kedamaian dan ketentraman masyarakat dapat diklaim sebagai kejahatan terhadap Allah sang pencipta. Dengan demikian, tidak ada hak dan wewenang untuk menindak perilaku seseorang yang sama sekali tidak menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Statemen Abdurrahman ini mengindikasikan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang selama tidak merugikan orang lain atau masyarakat tidak ada delik hukum untuk menjeratnya. Meskipun dalam statemen ini Abdurrahman tidak menyebutkan bidang pelanggaran apa yang beliau maksud, namun dapat dipahami bahwa yang dimaksudkan adalah ibadah yaitu ibadah yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan orang banyak.

Pemahaman terhadap asas-asas hukum inilah yang menurut Fazlur Rahman membuat kemajuan dakwah Islam dan Fiqh pada masa Al-Khulafa Al-Rasyidin dan didukung oleh perilaku kaum muslimin yang telah terjalin secara religious karena telah diatur oleh Fiqh Islam sehingga perilaku tersebut telah membudayadalam kehidupan mereka sehari-hari. Adapun dari segi sosial maka hukum islam mengatur hak-hak dan kebebasan manusia sebagai mana mengatur hak-hak sosial dan Negara sekaligus.[]

Nur-Lela*Nurlela, lahir 3 Mei 1991. Alumnus Jurusan Broadcasting Teknik Penyiaran Radio dan Televisi, saat ini tercata sebagai mahasiswi semester akhir Jurusan  Komunikasi Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.