Pendidikan Berbasis Budaya (bag.2)

oleh

Kulturalisme dan Implementasinya dalam Pendidikan

Salman Yoga S

Salman-YogaSALAH satu piranti dalam pendidikan berbasis budaya dan kaitannya dengan pendidikan moral adalah pengajaran aspek seni murni (beausx art) dan sastra9. Peran bidang non eksak sebagai pembentuk kebudayaan dan nalar dalam masyarakat sesungguhnya telah teruji keberadaannya dalam sejarah dunia sepanjang abad.

Pandangan filosofi klasik yang menjadi wacana publik para ahli pendidikan adalah, bahwa pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia. Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses pendidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-psikologis, yang di dalamnya sudah termasuk unsur-unsur yang berkaitan dengan faktor estetika. Aspek psikologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan “penuaan”.

Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis manusia melalaui pendidikan dicoba “didewasakan”, didasarkan, dan “di-insan kamil-kan”. Proses pendewasaan dan pendewasaan dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai dua elemen yang berpretensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berkebudayaan dan berkeadaban10.

Terkait dengan hal tersebut serta hubungannya dengan kebutuhan untuk menemukan konsep baru dalam menata masyarakat Indonesia yang majemuk diantaranya telah mengilhami sebuah organisasi Perhimpunan Indonesia Baru dan Asosiasi Antropologi untuk menggelar sebuah seminar yang bertajuk Menuju Indonesia Baru: Dari Masyarakat Mejemuk ke Masyarakat Multikultural di Yogyakarta pada pertengan Agustus 2001 yang lalu.

Dalam petemuan ilmiah tersebut para peserta sepakat bahwa landasan budaya dalam pendidikan harus dikaji dan dikembangkan kembali. Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Parsudi Suparlan dalam makalahnya menjelaskan bahwa konsep budaya (multikultural) adalah konsep yang mampu menjawab tantangan dan perubahan zaman.

Alasannya, multikulturalisme adalah sebuah idiologi yang megagungkan perbedaan budaya, atau sebuaah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujutnya pluralisme budaya sebagai suatu corak kehidupan masyarakat. Pendidikan budaya akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan, termasuk perbedaan ke-suku bangsaan dalam masyarakat yang multikultural11.

Bukan saja pada tataran konsep bermasyarakat, tetapi juga sebagai bahan ajar dan materi ajar dalam penanaman nilai budaya melalui pendidikan. Sehingga secara substansi setiap suku bangsa akan mempunyai embrio untuk terus lahir dan hidup, serta menjadi kepribadian bangsa yang majemuk.

Dengan kata lain, bangunan Indonesia baru yang diharapkan lahir dari rehim reformasi adalah “masyarakat multikultural Indonesia”, atau masyarakat Indonesia beridiologi multikultural yang bercirikan: rela dan sadar mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan12.

Berpijak pada prinsip multikultural ini, masyarakat Indonesia hakekatnya  mengakui dan menerima sebuah konstruk kebudayaan yang berlaku umum atau bercorak seperti sebuah mosaik. Di dalam sebuah mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujutnya masyarakat yang lebih besar.

Prinsip ini sebenarnya telah menjadi acuan bagi pendiri bangsa Indoensia (founding father’s) dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudyaan nasional, sebagaimana yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 23 UUD 1945 yang berbuyi; “kebudayaan bangsa Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah.

Konsep dasar pendidikan multikultural mengandung pesan kultural dan kemanusiaan, pada tingkat lokal maupun global. Berikut ini adalah nilai-nilai inti dan tujuan yang ada dalam konsep pendidikan multikultural. Menurut C.I. Bennet, seperti dikutip H.A.R. Tilar ada empat macam nilai inti dan enam macam tujuan dari pendidikan.

Empat nilai-nilai inti (core values) yang terkandung dalam pendidikan multikultural adalah: (1) apresiasi adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat; (2) pengakuan terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia; (3) pengembangan tanggungjawab masyarakat dunia; (4) pengembangan tanggungjawab manusia terhadap planet bumi.

Sedangkan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan multikultural adalah: (1) mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari masyarakat; (2) memperkuat kesadaran budaya yang hidup dalam masyarakat; (3) memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup dalam masyarakat; (4) membasmi rasisme, seksisme dan berbagai jenis perasangka; (5) mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi; dan (6) mengembangkan keterampilan aksi sosial13.

Kategorisasi atas konsep dasar pendidikan multikultural seperti yang telah diformulakan oleh C.I. Bennet cukup menarik karena memuat rangkaian nilai dan tujuan pendidikan yang sangat komprehensif. Karena ia sanggup menggiring setiap orang untuk bersedia mengakui budaya dan hak asasi orang lain. Pendidikan yang berwawasan seperti ini lebih jauh ternyata dapat dipakai sebagai “pisau analisis” (tool of analysis) untuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam setiap aksi sosial kemanusiaan, tidak hanya terhadap diri manusia, tetapi juga lingkungan dan alam.

Konsep Bennet ini menarik dan patut menjadi bahan kajian bagi kita semua, tidak saja karena ia lebih mengarah kepada keterlibatan budaya sebagai ruang dan metode pendidikan, tetapi juga pada materi pengajaran dari unsur kearifan lokal (culture value) budaya itu sendiri.

Ia juga melebihi dari sekedar pengajaran dan penanaman tentang nilai budi pekerti dengan pendekatan evocation, inculcation, reasoning, value clarification value analysis, moral awareness, comitment approach  dan union approach.  Tetapi juga mengandung misi pelestarian dan menanamkan kecintaan kepada budaya sendiri, memupuk kesadaran pluralitas dan eksistensi multikurtur bangsa.

Hal yang terakhir inilah yang menjadi penting ketika kita melihat adanya peluang dalam memanfaatkan sistem otonomi pendidikan dan otonomi pemerintahan daerah, dengan merumuskan adanya kurikulum lokal yang berlaku pada lembaga-lembaga pendidikan pada daerah dimaksud.

Implementasinya kemudian tentu akan lebih dari sekedar prose transfer nilai budaya kepada anak didik, tetapi lebih jauh lagi akan berimplikasi pula pada pelestarian sisi fosisif dari budaya itu sendiri. Mempertahankan keberlangsungan dan identitas budaya etnik tertentu. Karena dalam khasanah autput pendidikan masa depan, pluralis dan multikultur dari pendidikan itu sendiri akan mejadi nilai lebih dibanding pendidikan tanpa unsur budaya.

Seperti kata Nadjamuddin Ramly dalam “Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan”, bahwa secara makro pendidikan memiliki hubungan timbal balik dengan masysrakat atau budaya masyarakatnya. Buadaya masyarakat yang kuat dan dinamis akan menghasilkan pendidikan yang maju dan berkualitas tinggi. Sebaliknya budaya masyarakat yang lemah dan statis akan menghasilkan pendidikan yang rendah kualitasnya.bersambung…

Pendidikan Berbasis Budaya (Bag.1)


9. Emile Durkheim, Pendidikan Moral Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Erlangga, 1990) h. 194.

10. H.A.Malik Fajar, Kembali Kejiwa Pendidikan, h.VII.

11. Zubeidi, Pendidikan Berbasis, h. 60-61.

12. Ibid.

13. Herry Sucipto, Lili Hermawan, Pendidikan Multikultural untuk Kemajuan Bangsa, dalam Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan (Jakarta: Grafindo, 2005) h. xvi.


 

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.