Keben-Beranang, Lumbung Padi Urang Gayo

oleh
Keben di Kampuhg Nosar Lut Tawar.(LGco_Khalis)

Khalisuddin dan Salman Yoga S

Keben di Kampuhg Nosar Lut Tawar.(LGco_Khalis)
Keben di Kampuhg Nosar Lut Tawar.(LGco_Khalis)

KEBEN atau Beranang, sebutan untuk lumbung padi bagi masyarakat Gayo yang ada di Kampung Hakim Kecamatan Lut Tawar Aceh Tengah masih dipakai sebagaimana fungsinya. Seperti dikatakan Muhammad Aman Adi, beberapa waktu silam.

Dia masih memakai Keben untuk menyimpan padi hasil panen sawahnya yang ada di Kenawat Lut, satu Keben mampu menampung 1 hingga 2 kunce padi. Namun, karena hasil panen tidak banyak lagi karena luas sawah sudah berkurang, maka Keben juga digunakan untuk menyimpan barang-barang lain.

Warga Kampung Hakim, Aman Adi di Kebennya. (LGco_Khalis)
Warga Kampung Hakim, Aman Adi di Kebennya. (LGco_Khalis)

Dalam Keben, keluarga Aman Adi yang berisrtikan Asiyah juga menyimpan tikar, alat pecah belah dan perlengkapan lainnya selain padi.

Untuk sejumlah Keben lain disekitar rumahnya, juga kondisinya sama, masih berfungsi sebagai lumbung padi serta penyimpanan barang-barang lainnya yang dipakai diwaktu-waktu tertentu saja.

Keben-keben yang ada di Kampung Hakim tersebut kondisi bangunannya masih kokoh, tak lapuk dimakan waktu. Dibangun sangat rapi dengan konstruksi kayu.

Di Aceh Tengah masih terdapat Keben umumnya di kampung-kampung tua diseputar danau Lut Tawar dan Kecamatan Linge. Di kampung lainnya sudah langka seperti di Pegasing dan kawasan lainnya. Di Linge, Keben berbentuk bulat yang dilengkapi atap. Bagi masyarakat Gayo.

Menurut Kepala Mukim Lut Tawar, Tgk. Haikal Sadiq, Wujud Keben sebenarnya adalah yang berbentuk bulat seperti yang ada di kawasan Linge, terbuat dari kulit kayu. Diera modern, masyarakat Gayo merubah bentuk dan bahan bangunan Keben dengan papan seperti yang masih ada di Kampung Hakim, Nosar, Toweren dan kampung lainnya.

Pendapat Haikal Sadiq, sebenarnya disebut Keben adalah yang berbentuk bulat masih banyak terdapat di kampung-kampung pedalaman Linge, dan yang ada sekarang disebut Beranang.

Masyarakat Gayo tradisional menjadikan Keben sebagai simbol kekayaan dan keberlangsungan hidup. Karena selain fungsi menyimpan hasil panen padi, juga kerap dijadikan sebagai tempat menyimpan barang-barang lainnya. Sehingga bagi orang yang tidak memiliki Keben dianggap tidak mempunyai keterjaminan hidup.

Letak Keben secara umum diposisikan tidak jauh dari rumah sang pemilik. Bahkan sebagian besar letaknya berdampingan untuk menghindari pencurian dan hal lain yang tidak diinginkan. Pada kampung-kampung tertentu letaknya justru agak berjauhan dengan pemukiman, tetapi lokasi Keben sendiri diposisikan secara kolektif dalam satu wilayah yang dilindungi dan diawasi oleh masyarakat sendiri.

Keben atau Beranang di Kampung Hakim Takengon. (LGco_Khalis)
Keben atau Beranang di Kampung Hakim Takengon. (LGco_Khalis)

Struktur bangunan Keben dalam budaya Gayo hanya ada dua. Pertama berbentuk rumah empat persegi dengan ukuran 4×4 dan 4×5 Meter sampai ukuran terbesar 5×6 Meter.  Bangunannya menyerupai rumah tinggal, namun hanya ada satu pintu yang sekaligus berfungsi sebagai jendela.

Susunan papan dan balok tiang secara keseluruhan tidak menggunakan paku besi, tetapi menggunakan paku kayu. Jadi secara keseluruhan bangunan Keben menyatu dan menyambung satu sama lain. Dalam masyarakat Gayo pembangunan sistem bangunan Keben disebut dengan “murasuk”. Sementara lantai Keben sendiri tidak merapat ke tanah. Bangunannya ditopang oleh 4 sampai 6 kaki atau lebih.

Bentuk bangunan seperti ini disebut juga dengan “peratasen”. Hal tersebut dimaksudkaan agar papan lantai dan padi yang berada di dalamnya tidak mengalami pembusukan dan menjauhkannya dari hama.

Bentuk bangunan kedua Keben adalah lingkaran dengan bahan kulit kayu. Keben bentuk ini hanya ada di kampung-kampung pinggiran, bahkan terkesan tidak terlalu populer. Ukurannya bisa mencapai lima kali rentangan tangan orang dewasa. Ini berarti setiap bangunan Keben yang berbentuk lingkaran membutuhkan kulit kayu yang panjang tanpa terputus-putus. Hal ini mengindikasikan juga bahwa setiap satu Keben berbentuk lingkaran membutuhkan pohon kayu yang sangat besar, dan itu bisa dipastikan usianya ratusan tahun.

Selain fungsi di atas, eksistensi Keben juga telah menjadi icon dan objek folklor dalam masyarakat Gayo. Contohnya Keben dalam cerita Atu Belah yang berfungsi sebagai kandang atau tempat penyimpanan belalang. Selain itu para orang tua tempoe doeloe kerap menakut-nakuti dan memberi hukuman kepada anaknya dengan ancaman akan dimasukkan ke dalam Keben. Serta masih banyak lagi cerita rakyat lainnya terkait dengan Keben.

Kepunahan Keben dalam budaya Gayo terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah menyempitnya lahan sawah sehingga berimbas pada produksi padi. Kedua terjadinya perluasan lahan pemukiman sehingga masyarakat memilih menyimpan padinya di kilang-kilang padi yang menyediakan jasa untuk itu. Faktor lainnya adalah modrenisasi dan efektifitas pola pertanian pasca panen.[]

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.