Memaknai Puasa dengan Perubahan dan Kejujuran

oleh

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)
Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)

Dalam surat Al-Baqarah ayat 183 secara tengas Allah menyebutkan :

Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu mudah-mudahan kamu bertaqwa

Banyak orang yang bisa menghafal ayat ini, baik karena mengaji ditempat pengajian, karena mengaji sendiri atau juga karena banyak penceramah dan media mengulang-ulang membacanya ketika bulan Ramadhan datang, tidak salah juga bila dikatakan kalau ayat ini merupakan ayat yang paling banyak diketahui makna, tafsir dan hikmahnya oleh kaum muslimin. Tulisan ini juga ingin mengemukakan tentang apa yang telah diketahui oleh pembaca sebelum melihat tulisan ini, namun ada sedikit perbedaan sehingga menambah pengetahuan bagi pembaca.

Allah memberi kepada semua orang beriman apabila mengikuti perintah-Nya untuk berpuasa yaitu “takwa”, dari itu kita semua bisa mengetahui kalau takwa merupakan pengabdian tertinggi yang akan dicapai oleh seorang mukmin dan dalam kontek ayat ini adalah dengan berpuasa. Kalau kita boleh bertanya sekaligus menjawab pertanyaan “kenapa harus melalui puasa Allah berharap akan ketakwaan dari seorang mukmin ?” tentu karena kewajiban yang ada dalam ayat ini berbeda dengan kewajiban yang ada pada ayat yang lain. Dalam ayat perintah bukan untuk melakukan perbuatan tetapi perintah untuk tidak melakukan perbuatan, kalau dalam ayat lain seperti shalat kita melakukan perbuatan sebagaimana yang telah ditentukan bacaan dan gerakannya, perintah berzakat memerintahkan kita untuk mengelauarkan harta dengan jenis, kadar dan aul yang jelas demikian juga dengan haji kita diperintah untuk menunaikannya dengan tempat dan waktu yang telah ditentukan. Dan semua orang terbiasa mantaati perintah dan selanjutnya melaksanakannya.

Tapi orang tidak terbiasa dengan kepatuhan kepada larangan bukan kepada perintah. Dalam bulan puasa tidak ada yang wajib untuk dilakukan kecuali kewajiban-kewajiban yang biasa dilakukan sebelum dan sesudah bulan puasa, sehingga ulama juga berbeda dalam memaknai bula puasa itu sendiri. Ada ulama yang memahami bulan puasa dengan berpuasa sebulan penuh dengan tidak boleh lebih dan tidak boleh kuranga bentuk yang berbeda antara siang dan malam, karena Allah menyebutnya dengan “syahru ramadhan” bukan “Ayyamu ramadhan” tapi ada juga yang memahaminya dengan berpuasa itu pada siang hari ramadhan dan malam tidak berpuasa. Tapi yang jelas kedua pemdapat tersebut mengakui adanya perbedaan antara malam di bulan ramadhan dengan malam diluar bulan ramadhan, kalau malam di bulan ramadhan diberi keistimewaan dengan melipat gandakan pahala semua amalam yang baik.

Bila dilihat dari aspek lain Allah tidak menghendaki manusia itu hidup tidak berubah dan tidak punya harapan, karena itu Allah memanggil manusia itu dengan sebutan mukmin untuk melaksakan puasa dengan harapan bisa berubah menjadi muttaqin. Kepatuhan yang selalu bersifat perintah hendaknya berubah kepada kepatuhan yang bersifat larangan, dari terbiasa berbuat untuk diri sendiri kepada berbuat untuk orang lain. Perubahan lain yang dapat kita ketahui dari pausa yang dilakukan adalah perubahan fisik dan perubahan mental, perubahan fisik yang dimaksud adalah dari keterbiasaan memenuhi kebutuhan fisik dengan makan dan minum kepada menhan diri dan membatasi makan dan minum, kalau di luar bualan puasa seorang mukmin yang tidak memiliki makanan diperintahkan untuk mencari makanan dan kalau merasa lapar seorang mukmin dianjurkan untuk makan bahkan kalau ia tidak makan maka digolongkan kepada orang yang merusak kesehatannya. Tetapi di bulan puasa ketika makanan tersedia banyakpun dilarang untuk memakannya dalam rentang waktu sejak dari terbit paja sampai pada terbenam matahari.

Sedangkan perubahan mental yang diharapakan utamanya adalah kejujuran, kejujuran terhadap diri sendiri, bahwa ketika kita melakukan puasa tidak ada orang yang tau selain dari diri kita sendiri dan apabila kita tidak puasa kita juga dapat menyembunyikannya kepada orang lain. Kejujuran kepada orang lain, ini juga diperlukan sama dengan kejujuran pada diri sendiri, karena orang lain tidak tau kalau kita tidak puasa dan orang-orang tetap percaya kalaupun kita berbohong, karena kepercayaan orang terhadap kita bukan disebabkan karena kita berpuasa tetapi lebih disebabkan karena bulan puasa. Dan lebih tinggi lagi adalah kejujuran kepada Allah yang telah mewajibkan puasa, kejujuran ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang betul-betul percaya kepada Allah dan mereka yang tidan pasti tidak mau melaksakan puasa. Kerena itulah Allah memanggil orang-orang yang puasa itu dengan sebutan amanu (mukmin)


[*] Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.