Ternyata Ceh Ini Yang Populerkan Didong ‘Tepok Bantal’

oleh
Didong Jalu (Foto Aman Renggali)

Catatan : Darmaan Masri*

Ceh Didong Ali Amran
Ceh Didong Ali Amran

Didong merupakan kesenian Gayo yang sudah mengakar ditengah-tengah masyarakat Gayo. Ceh-ceh didong generasi awal, selalu menciptakan karya dengan nilai bahasa sastra yang cukup tinggi. Sering kali ceh-ceh pada masa itu, baru bisa menerjemahkan arti dan maksud dari sebuah lirik yang disampaikan oleh lawannya berdidong (didong jalu-red) dalam tempo berhari-hari.

Dari beberapa sumber yang diperoleh LintasGayo.co, didong awalnya dipolulerkan oleh Ceh Asin asal Kampung Gelelungi, Pegasing, Aceh Tengah, pada masa itu Ceh Asin tidak terlalu populer dikalangan masyarakat. Tak lama berselang, Ceh To’et dan Sali Gobal membentuk kelop didong. Awalnya mereka berdua masih dalam satu grup (Gayo : Kelop), kemudian menginisiasi pembentukan kelop didong masing-masing, Sali Gobal dengan Kemara Bujang dari Kampung Kung, Pegasing dan Abdul Kadir (Ceh To’et) dengan Siner Pagi dari Kampung Gelelungi.

Keduanyalah yang mempopulerkan didong berbekal ide dari Ceh Asin sebagai Ulu Kudi, dimana sebelumnya didong tidak terlalu dikenal di masyarakat, yang dikenal hanyalah syaer-syaer berupa nasehat dan petuah dalam beragama.

Setelah kedua ceh ini mendirikan kelopnya masing-masing, tak lama kemudian muncul satu kelop lagi yang didirikan oleh M. Basyir dan rekan-rekannya dari Kampung Kute Lintang, Pegasing, bernama Lakiki. Barulah setelah ada tiga kelop, didong mulai dipertandingkan (didong jalu).

“Setelah ada tiga kelop didong, barulah didong mulai di jalu (pertandingkan), setelah itu barulah muncul kelop-kelop dari Kebayakan seperti, Dewantara, Kuala Laut dan Teruna Jaya Toweren.” kata Syukri S Gobal dalam wawancara ekslusif bersama LintasGayo.co bersama salah satu ceh lainnya, Ali Imran, beberapa waktu lalu. (Baca : Jenis ‘Jangin’ Yang Harus Dikuasai Ceh Didong)

Ali Amran menambahkan, menurut rekaman suara dari sebuah wawancara yang direkam oleh seseorang pada era 70-an, dengan pembicara Ceh To’et, Ceh Daman, Ceh Banta, Ceh Lakiki dan lainnya, mengaku bahwa didong baru dimulai setelah zaman kemerdekaan.

“Saya punya rekaman suara mereka, pastinya mereka diwawancara pada tahun 70-an, tepatnya kapan saya tidak ingat. Mereka bilang dalam wawancara itu bahwa, didong dimulai setelah Indonesia merdeka, sebelumnya hanya berupa syaer-syaer saja,” kata Ali Amran, sambil mengingat-ingat isi rekaman bersejarah itu.

Ceh Gobal dan Daman Awali Didong ‘Tepok Bantal’

Dari rekaman tersebut, sambung pelantun Lime Manis Gayo ini, Ceh To’et mengatakan bahwa didong yang awalnya hanya diiringi dengan tupukan tangan mengikuti irama pelantun didong (ceh didong), sedikit terevolusi, setelah Sali Gobal (Kemara) dan Daman (Dewantara) berada di satu panggung dan menginisiasi penggunaan bantal mengiringi lirik-lirik didong yang akan dibawakan.

“To’et bilang merekalah yang mengawali didong diiringi dengan tupukan menggunakan bantal (tepok bantal-red) dan dikalaborasikan dengan tangan (tingkah-red),” kata Ali Amran, sambil menambahkan Sali Gobal merupakan salah satu ceh yang kaya ide, sekaligus pembaharu syair-syair didong yang indah. (Baca : Sali Gobal Pelopor Pembaharu Didong Yang Indah)

Ali Amran berjanji akan memberikan rekaman wawancara yang berisikan sejarah didong tersebut, kepada LintasGayo.co, untuk dituliskan agara generasi muda Gayo saat ini tahu tentang sejarah didong.

“Rekaman ini sangat penting bagi perkembangan didong Gayo dari dulu hingga sekarang, saya akan berikan kepada LintasGayo.co untuk disalinkan serta dituliskan agar generasi saat ini mengerti. Untuk apa saya simpan, yang jelas rekaman yang sudah diubah kedalam format MP3 itu saya simpan baik,” demikian Ali Amran. []

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.