SPRITES; Ledakan Kreativitas dalam Dekapan Harmoni Alam

oleh
Layar Sprites dengan latar langit malam

Oleh : Win Wan Nur

Yoka Sara
Yoka Sara. (taken from www.yokasara.com)

SEPERTI halnya di Gayo, kebudayaan-kebudayaan asli di Indonesia rata-rata memiliki nilai-nilai kebijaksanaan lokal ( local wisdom) yang di antaranya terkait dengan keseimbangan empat unsur Tanah, Air, Udara dan Api.

Sayangnya seperti yang juga terjadi di Gayo, pasca kemerdekaan eksistensi politik (Kewarganegaraan) mengaburkan eksistensi affinitas (esensi kultural) ‘orang Indonesia’. Sehingga banyak local wisdom yang terdapat dalam budaya lokal hilang tak berbekas.

Bali adalah satu daerah yang ‘beruntung’ karena masih bisa mempertahankan nilai-nilai ini. Sebagaimana sering kita lihat dalam pergelaran seni maupun hidup keseharian orang Bali. Dan tidak hanya berhenti di situ, para seniman Bali sejak lama sudah melangkah lebih jauh membawa nilai-nilai lokal tersebut ke tahap kontemporer dengan ciri modernitas tanpa meninggalkan nilai lokal sebagai esensi.

Salah satu contoh dari Kontemporerisasi nilai-nilai lokal ini di dalam seni adalah SPRITES Art & Creative Biennale. Sebuah konsep pertunjukan seni kontemporer dengan konsep Biennale (berlangsung setiap dua tahun sekali).

Adalah Anak Agung Yoka Sara seorang arsitek asal Bali dengan reputasi internasional yang karya-karyanya dikenal dengan keunikan desainnya yang modern tapi tetap mengacu padan nilai-nilai lokal, yang merupakan konseptor dari acara ini.

Sebagai seorang arsitek Yoka Sara dikenal selalu menceburkan dirinya sendiri ke dalam lansekap tempat yang akan dibangun untuk menemukan spirit alam yang ada di tempat itu, sehingga tiap desain yang dia ciptakan memiliki kekhasan dan keunikan sendiri.

Kepada LG.Co, Yoka menceritakan bahwa semua ini berawal dari situasi ketika dia merasa ‘stuck’ dalam berkreativitas. Sang arsitek tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dalam suasana seperti itu Yoka menonton satu program acara BBC yang menayangkan ekspedisi untuk melihat dan memotret ledakan elektrik di batas langit 30 sampai 50 kilometer di atas bumi. Jauh di atas awan.

Layar Sprites dengan latar langit malam
Layar Sprites dengan latar langit malam. (foto: Vifick

Ledakan elektrik ini berbeda dengan petir yang menyambar ke bawah, melainkan menyebar diawali oleh ledakan-ledakan kecil yang kemudian memicu satu ledakan besar inilah yang dalam bahasa Inggris disebut SPRITES.

Usai menonton acara tersebut, sisi kreatif Yoka kembali bergolak dan dia pun menghubungkannya dengan seni dan juga tradisi.

Yoka kemudian merancang satu jenis pertunjukan yang sebagaimana SPRITES bersifat spontan, menyatu dengan spirit alam. Terinspirasi dari aktivitas spiritual di Bali yang memakan waktu sampai berbulan-bulan yang semuanya didasari dengan keikhlasan. Demikian pula Sprites sebagai seni pertunjukan dirancang.

Karena konsepnya yang menyatu dengan alam dan energinya sebagaimana karya-karya arsitekturnya, Yoka pun merancang seni ini untuk menyatu dengan spirit yang ada dalam unsur-unsur yang ada di alam.

Pada pergelaran Sprites pertama pada tahun 2013 silam, tema yang diambil adalah Tanah, venue pertunjukan dipilih sebuah bekas tempat galian di kaki bukit Jimbaran yang menyuguhkan energi tanah yang menyatu dengan gerak dan irama para penampil.

Kali ini pada SPRITES Art & Creative Biennale 2015, tema yang diambil adalah Air, berikutnya Bayu (Angin) dan Agni (Api).

Sesuai dengan temanya, kali ini venue yang dipilih adalah Pantai Sanur di belakang Hotel Griya Santriyan Jimbaran. Sebagaimana SPRITES Art & Creative Biennale 2015, acara kali inipun akan berlangsung selama 3 bulan.

Tai Chi Master
Tai Chi Master. (foto: Vifick)

Terinspirasi dari upacara kegamaan Bali yang dipandu oleh seorang Pedanda (pendeta tinggi) yang bertindak layaknya seorang Skenografer (desainer tata artistik panggung) yang menjadi pusat dari semua aktifitas spiritual dalam upacara.  Maka kali ini Yoka pun menghadirkan konsep Skenografi, yang dibagi ke dalam Sembilan momen, di mana momen terakhir akan ditutup oleh Yoka sendiri sebagai Skenografernya.

Moment #1 bertajuk “Dentum & Serpih”, dirangkai oleh Skenografer Ridwan Rudianto, seorang video maker lulusan Toronto yang berada di balik video musik Superman is Dead, Punk Hari ini yang controversial itu, menghadirkan fenomena itu.

Acara diawali dengan mengenang Engeline, bocah korban kekerasan yang menghembuskan nafas terakhirnya di Sanur, tidak jauh dari venue acara ini. Suasana haru pun hadir melalui tampilan videografi yang muncul di layar.

Pertunjukan dilanjutkan dengan aliran ritme yang mengalun lambat, lembut dan anggun berasal dari gerakan Tai Chi yang ditampilkan oleh para Tai Chi master berusia lanjut, semua ini dihadirkan menyatu akrab dengan sensasi visual yang membuat kita seolah sedang menyaksikan aliran air yang begitu tenang dan lembut.

Ridwan Rudianto
Ridwan Rudianto. (taken from ww.facebook.com/SpritesBali)

Setelah itu, tiba giliran Edo Wulia, drummer yang sebelumnya pernah berkolaborasi dengan para seniman Gayo yang berdomisili di Bali, seperti Baihakki Lingga dan Subhan Mertarosa dalam acara Symphaty For Gayo dua tahun silam yang dipilih oleh Ridwan untuk memainkan instrumen drum.

Ketika Edo memainkan drumnya, permainannya terasa begitu mengalir, tapi nuansanya berbeda dengan yang dihadirkan oleh gerakan Tai Chi. Di sini emosi yang hadir terasa lebih kompleks. Suara yang keluar dari instrumen musik khas barat yang dimainkan oleh Edo Wulia ini terkadang terdengar seperti suara gemericik air pancuran, berubah menjadi suara lembut rintik hujan, kadang bergemuruh seperti suara air terjun, terkadang keluar seperti deburan ombak yang sedang mengamuk di tengah badai. Kita yang menyaksikan seolah seperti melihat spirit alias ruh dari air itu sendiri yang merasuki Edo dan menampilkan berbagai sisi emosinya, mulai dari sisi lembut yang menghanyutkan sampai gejolak sisi kemarahan yang menakutkan.

Getaran yang sama terasa pula ketika Dadang Sh. Pranoto, gitaris band ‘Dialog Dini Hari’ dan juga ‘Navicula’ menampilkan permainannya. Air dengan ragam gejolak emosinya seolah mengalir dari petikan jarinya keluar melalui suara gitar elektriknya dengan begitu berjiwa. Ketika kemudian Edo Wulia secara spontan mengiringi dengan suara Drum, suara dari kedua instrumen musik yang berbeda ini langsung menyatu.

Dalam wawancara dengan LG.co seusai pertunjukan baik Dadang maupun Edo, keduanya mengaku sama sekali belum pernah bertemu, apalagi sampai berlatih bersama. Semua langsung berpadu secara harmonis pada saat itu juga.

Gerakan Tai Chi, suara Drum Edo lengkingan gitar Dadang, layaknya seperti ledakan-ledakan kecil dalam SPRITES yang bersama-sama mendukung ledakan besar yang diciptakan oleh Ridwan yang merupakan Skenografer melalui efek-efek cahaya dan videografi pada layar-layar yang terpancang di atas air di bawah cerahnya langit malam pada saat bulan mati,  yang menjadi sajian utama SPRITES Art & Creative Biennale 2015.

Ini mana keta Oros Opat, sawahen kam renyel ku Siah si opat
Siah Bediri, Siah Gembera
Siah Gemite, Siah Kutup
Si munamat pintu bumi

Nur Katun namamu bumi
Abdussalam namamu air
Nur Salin namamu api
Rahim Tungel namamu angin….

Satu saat entah kapan, semoga Gayo bisa melahirkan seorang seniman seperti Anak Agung Yoka Sara yang mampu menghadirkan ruh budaya Gayo untuk diterjemahkan ke dalam sebuah pertunjukan seni kontemporer dengan kualitas seperti ini.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.