Melihat Gayo Dalam Pusaran Kekuatan Geopolitik

oleh

*Kosasih Ali Abubakar

Sebagai suku minoritas, tentunya kita harus mempunyai sebuah strategi khusus untuk bisa menjaga eksistensi suku ini di Aceh, bila tidak tentu kita akan menjadi lebih minoritas lagi atau ada kemungkinan tidak menjadi tuan rumah di rumah sendiri, lenyap dari Aceh, bahkan dari bumi ini”.

Pernyataan di atas tentunya sebuah pandangan ekstrim yang terlihat mengada-ada dan terlihat begitu SARA, namun hal itulah yang sepertinya perlu diwaspadai dan dipikirkan dengan baik sebagai salah satu bentuk kekayaan dan keberagaman dari ciptaan Allah ini.

Baru-baru ini, seluruh mata memandang kepada sebuah suku Rohingya, suku yang diusir karena tidak diakui sebagai warga negara Bangladesh atau warga negara Myanmar. Saudara kita dari Aceh dengan tangan terbuka menolong suku tersebut, bahkan Pemerintah RI menjamin keberadaan mereka selama setahun sebelum mereka ditempatkan kembali di negara-negara ketiga setelah mencapai kesepakatan dengan UNHCR.

Di Timur Tengah, ada sebuah suku yang bernama suku Kurdi, suku yang berjumlah hampir 30 juta jiwa, tersebar di berbagai negara. Namun mereka selalu menjadi minoritas di negara-negara tersebut serta selalu berada dalam posisi tertekan dari penguasa setempat. Sampai saat ini bisa kita lihat perjuangan mereka untuk tetap eksis di Turki, Irak, Iran dan Suriah. Sebuah suku yang berjumlah hampir 30 juta lebih, akan tetapi tidak mempunyai sebuah negara sebagai identitas dirinya.

Suku Yahudi, saat ini telah mempunyai identitas dirinya sendiri dengan berdirinya negara Israel dengan segala kontrofersinya. Sebuah suku yang telah menjalani perjalanan panjang, dari suku yang tertindas hingga saat ini dikenal sebagai suku yang berhasil membangun peradaban baru dengan menguasai ilmu pengetahuan, keuangan dan mengontrol negara adi kuasa dibalik segala keburukan yang mereka lakukan terhadap peradaban saat ini.

Bagaimana dengan suku Gayo? Hingga saat ini penduduk Gayo hanya sejumlah 12,37% dari total seluruh penduduk Aceh sejumlah 4,45 juta jiwa, itupun acuannya seluruh penduduk yang tinggal di dataran tinggi Gayo yang sudah bercampur baur dengan suku lainnya, kami masih belum menemukan data sesungguhnya dari penduduk asli Gayo. Dengan jumlah 12,37% dari total penduduk Aceh berhasil menguasai 27% daerah Aceh.

Melongok masa lalu, bila kita mengingat kepada cerita Batak 27, bagaimana penduduk Gayo waktu itu terancam dengan ratusan orang Batak yang nonmuslim yang mencari penghidupan baru di dataran tinggi Gayo. Hal ini menyebabkan seluruh penduduk Gayo bersatu padu melakukan taktik perang atau tipu muslihat untuk mengalahkan orang-orang Batak itu  hingga berhasil dikalahkan dan tinggal berjumlah 27 orang saja. Ke 27 orang batak tersebut ditahan dan diislamkan untuk kemudian membangun negerinya sendiri dan berketurunan terus menerus dengan sebutan Cik Bebesan.

Sekali lagi, ternyata para leluhur kita telah memberikan gambaran potensi konflik yang terjadi di masa lalu untuk dijadikan sebagai pelajaran di masa mendatang, seperti juga halnya dengan cerita Sengeda dan Gajah Putihnya atau cerita tentang Asal Mula Kerajaan Linge. Cerita ini, sekali lagi memberikan sebuah bayangan kepada penduduk Gayo tentang potensi kemampuan dan kelemahan dari karakter penduduk Gayo itu sendiri.

Secara geografis, daerah dataran tinggi Gayo menjadi amat penting bagi setiap mereka yang ingin menguasai Aceh secara keseluruhan. Selain daerahnya yang begitu indah dan subur, juga daerahnya yang berbukit-bukit yang masih dipenuhi oleh hutan belantara. Dataran tinggi Gayo juga berada di tengah-tengah Aceh yang memungkin melakukan terobosan jalan-jalan baru untuk menuju daerah sekitar Aceh lainnya baik barat, timur, utara maupun selatan.

Salah satu kegagalan Gerakan Aceh Merdeka dalam melakukan perjuangannya ketika masa konflik yang lalu adalah ketidakberhasilan menguasai sepenuhnya penduduk Gayo dan dataran tingginya, karena adanya perbedaan budaya antara Aceh dan Gayo yang sulit untuk disatukan, seperti bahasa sebagai contoh utama.

Sedangkan kedekatan dengan Pemerintah RI waktu itu adalah mengerti tentang keberagaman suku Gayo dan menghormati adat istiadat suku Gayo. Seperti adanya budaya akulturasi antara suku Gayo dengan suku lainnya yang ada di dataran tinggi Gayo, seperti halnya cerita Batak 27 yang di atas. Tidak hanya suku Batak, pada akhirnya suku Gayo juga berakulutrasi dengan suku Aceh, suku Padang, suku Jawa, suku Sunda dan lain sebagainya.

Pemerintah RI pada waktu itu mengerti jika penduduk Gayo pada dasarnya adalah penduduk yang terbuka selama mereka mengikuti adat istiadat suku Gayo ketika berada di dataran tinggi Gayo. Karena yang selalu dipertahankan dalam setiap perubahan pada suku Gayo adalah adat istiadat dan bahasa Gayo, tanpa itu semua tentunya Gayo akan punah.

Pada masa lalu, bila dilihat dari cerita Batak 27, para tokoh Gayo telah berhasil mempertahankan daerah kekuasaannya dari suku lain yang mencoba memerangi mereka. Selanjutnya pada masa konflik para tokoh Gayo berhasil menyelamatkan suku minoritas ini dengan meminimalisir daerah dataran tinggi Gayo sebagai daerah konflik yang sifatnya langsung, mencegah terjadinya korban jiwa yang lebih besar lagi.

Akan tetapi, zaman saat ini telah berubah, para tokoh Gayo tentunya harus melihat jauh ke depan dan potensi masa sekarang untuk memajukan penduduk Gayo. Melihat potensi Gayo tidak lagi hanya sekedar dari sisi geopolitik, akan tetapi juga dari sisi potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia pendukung yang dibutuhkan untuk tetap menjadikan penduduk Gayo sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.

Bukan berarti kita menghilangkan kekuatan penduduk Gayo dari sisi geopolitik, karena kekuatan geopolitik suku Gayo merupakan kekuatan paling dasar suku ini, bila ini hilang maka kekhasan dan kekuatan suku Gayo akan hilang sekaligus sebagai sikap waspada terhadap setiap perubahan yang akan terjadi kelak.

Ada baiknya kita menjadikan kekuatan geopolitik kita sebagai daya tawar terhadap kekuatan lain, dalam artian apapun yang dilakukan di dataran tinggi Gayo maka keuntungan terbesar adalah bagi masyarakat Gayo. Ketika mereka ingin melakukan ekplorasi terhadap dataran tinggi Gayo, maka mereka harus mampu untuk menggunakan sumber daya manusia Gayo.

Sebagai contoh, ketika dataran tinggi Gayo sudah berhasil menghilangkan permasalahan akses dan infrastruktur, maka hal itu tentunya akan lebih memberikan kesempatan untuk lebih mengeksplorasi semua potensi yang ada di dataran tinggi Gayo. Maka persatuan orang Gayo dan sumber daya manusia menjadi amat penting disini. Bila orang Gayo terpecah belah dan secara kualitas tertinggal maka penduduk Gayo tidak akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, ini tentunya sudah mulai dipersiapkan dari sekarang oleh para tokoh Gayo saat ini.

Ketika Allah SWT menciptakan manusia bersuku-suku , tentunya mempunyai maksud dan tujuan, untuk saling mengenal, bukan berarti kita merasa rendah diri dengan keberadaan suku kita ini. Suku kita ini juga telah berhasil hadir hingga saat ini dengan budaya dan bahasanya, segala perbaikan dari kekurangan tentunya perlu dilakukan, tapi nilai-nilai yang sudah baik tidak juga ditinggalkan.[]

 *Pemerhati Pendidikan dan Kebudayaan, bekerja di Pusat Penelitian Kebijakan dan Kebudayaan, Kemdikbud

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.